Pemberian terapi antikoagulan pada pasien COVID-19 didasari pada laporan komplikasi dan kejadian tromboemboli. Pada awal pandemi, pemberian antikoagulan secara terapetik maupun profilaksis dipercaya memiliki tempat pada tata laksana COVID-19.
Namun, WHO living guideline tahun 2022 sudah tidak memasukan antikoagulan ke dalam pedoman penatalaksanaan COVID-19. Panduan ini akan terus diperbarui jika bukti baru yang memadai menjamin penggunaannya.[1]
Sebelumnya, koagulopati dan kasus komplikasi stroke telah ditemukan pada infeksi influenza Spanyol pada pandemi tahun 1918 dan outbreak SARS-CoV tahun 2004. Pada infeksi virus lainnya, seperti HIV/AIDS, demam dengue, penyakit virus Ebola, juga dilaporkan memiliki komplikasi trombosis. Sama halnya dengan penyakit virus lainnya, infeksi SARS-CoV-2 juga ditemukan dapat meningkatkan risiko terjadinya trombosis. [2,3]
Patogenesis Hiperkoagulasi COVID-19
Infeksi COVID-19 umumnya berikatan dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) untuk dapat masuk ke sel endotel vaskular. Reseptor ACE2 tidak hanya ditemukan di sel epitel mukosa traktus pernapasan dan jaringan alveolar paru, tetapi bisa ditemukan di jantung, ginjal, saluran pencernaan juga di sel endotel.[2,3]
Virus SARS-CoV-2 akan masuk sel endotel dengan merusak endotelium vaskular yang memiliki efek antitrombogenik. Kerusakan endotel menyebabkan agregasi/adhesi platelet dan lepasnya tissue factor yang memicu pembentukan trombus pada mikrovaskular.[2]
Proses thrombosis ini kemudian memicu pembentukan trombosis lainnya yang menyebabkan trombosis sistemik. Selain itu, infeksi COVID-19 juga ditemukan menginduksi produksi sitokin seperti interferon dan interleukin. Produksi sitokin dalam konsentrasi tinggi akan semakin meningkatkan risiko terjadinya formasi trombus sistemik. Formasi trombus sistemik kemudian akan menyebabkan beberapa komplikasi penyakit sesuai lokasi, seperti trombosis arteri pulmonal, infark serebri, infark miokard, dan trombosis arteri tungkai bawah. [2,3]
Bukti Klinis COVID-19 dan Trombosis
Sebanyak 16-49% kasus severe COVID-19 yang membutuhkan intensive care unit (ICU) ditemukan memiliki komplikasi trombotik, seperti sepsis-induced koagulopati atau koagulopati intravaskuler diseminata (KID) yang ditandai dengan tanda-tanda seperti peningkatan D-dimer, fibrinogen, pemanjangan waktu prothrombin, dan trombositopenia.
Pada otopsi pasien severe COVID-19 yang meninggal, ditemukan kerusakan alveolar difus dan terdapatnya trombus pada pembuluh darah kecil perifer pada kedua paru. Studi insiden Klok et al. melihat kejadian komplikasi trombosis pada pasien severe COVID-19 di ICU. Hasil penelitian melaporkan terdapat 31% kasus komplikasi trombosis, dengan 27% kasus tromboemboli vena dan 3,7% kejadian trombotik arteri.
Risiko kematian mendadak pada pasien COVID-19 juga telah dihubungkan dengan injuri kardiak, miokarditis, infark miokard, dan infark pulmonal, yang umumnya disebabkan oleh trombosis sistemik. Selain itu, pada pasien infark serebri pada usia muda tanpa faktor risiko aterosklerosis telah dihubungkan dengan trombosis akibat SARS-CoV-2 yang menyebabkan kerusakan endovaskular. Dikarenakan insidensi dan risiko terjadinya komplikasi trombosis pada pasien COVID-19 sehingga terapi antikoagulasi telah dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien COVID-19, terutama pada kasus yang membutuhkan ICU.[2,4,5]
Outcome Pemberian Antikoagulan pada Pasien COVID-19
Data-data klinis pemberian antikoagulan pada pasien dengan severe COVID-19 hingga saat ini masih berbeda-beda. Beberapa penelitian menunjukan adanya luaran positif pemberian antikoagulan pada COVID-19. Akan tetapi, tidak semua penelitian menyatakan hal yang serupa.
Pemberian Antikoagulan Meningkatkan Prognosis
Studi kohort retrospektif Tang N et al. membandingkan luaran pasien severe COVID-19 yang diberikan antikoagulan dan tidak. Sebanyak 99 pasien severe COVID-19 diberikan antikoagulan selama 7 hari atau lebih, dengan rincian 94 pasien diberikan heparin bobot molekul rendah (LMWH) berupa enoxaparin 40–60 mg/hari dan 5 pasien diberikan heparin tidak terfraksinasi (UFH atau heparin) 10.000-15.000 U/hari. Sebagai perbandingannya, 350 pasien severe COVID-19 tidak diberikan terapi heparin atau diterapi selama kurang dari 7 hari.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada pengguna heparin dan tidak dalam tingkat mortalitas selama 28 hari (30,3% vs 29,7%, p=0,910). Akan tetapi, tingkat mortalitas 28 hari pada penggunaan heparin dengan skor sepsis-induced coagulopathy (SIC) ≥ 4 lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan heparin (40,0% vs 64,2%, p=0,29). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan antikoagulan dengan mayoritas LWMH memiliki prognosis yang lebih baik pada pasien severe COVID-19.
Studi observasional di rumah sakit Amerika Serikat juga menemukan bahwa tingkat mortalitas pasien COVID-19 yang diberikan antikoagulan lebih rendah dibandingkan yang tidak diberikan (22,5% vs 22,8%). Pada pasien severe COVID-19 yang membutuhkan ventilasi mekanik, mortalitas pasien yang diberikan antikoagulan adalah sebesar 29,1% dan 62,7% pada pasien yang tidak diberikan antikoagulan.[6,7]
Pemberian Antikoagulan Tidak Menurunkan Angka Mortalitas
Sebuah penelitian meta-analisis oleh Lu et al. sebanyak 25 studi observasional masuk ke dalam kriteria inklusi. Penelitian ini melaporkan bahwa antikoagulan tidak mempengaruhi risiko mortalitas pada pasien dengan antikoagulan maupun tanpa antikoagulan. Sehingga berdasarkan penelitian ini, antikoagulan tidak memiliki efek protektif dari kematian terkait COVID-19.[8]
Pemilihan Terapi Antikoagulan
Studi mengenai pemilihan terapi antikoagulan pada pasien COVID-19 masih sangat terbatas. Pemberian antikoagulan dapat diberikan secara terapeutik dan profilaksis sesuai dengan keunggulan masing-masing
Pemberian Antikoagulan Secara Terapeutik
Komplikasi kejadian tromboemboli pada pasien COVID-19 telah dilaporkan pada beberapa studi. Pemberian antikoagulan pada komplikasi kejadian tromboemboli diperlukan sebagai terapi utama. Pemberian UFH atau LMWH (misalnya enoxaparin) dengan dosis penuh disarankan penggunaannya pada pasien dengan komplikasi kejadian tromboemboli.
Pada pasien ICU, pemberian UFH 80 U/kgBB bolus + 18 U/jam infus atau enoxaparin 1 mg/kgBB BID subkutan dapat diberikan. Sedangkan pada pasien Non-ICU, pemberian enoxaparin 1 mg/kgBB BID subkutan lebih disarankan dikarenakan respons antikoagulan yang lebih mudah diprediksi dan tidak diperlukannya pemantauan ketat. Pemilihan terapi antikoagulan juga harus dipertimbangkan berdasarkan fungsi ginjal pada pasien. Apabila terdapat disfungsi ginjal pada pasien, maka pemilihan UFH lebih disarankan penggunaannya dibandingkan LMWH.[9]
Pemberian Antikoagulan Secara Profilaksis
Insiden kejadian tromboemboli yang meningkat pada pasien COVID-19 mengakibatkan diperlukannya tromboprofilaksis. Umumnya LMWH dan UFH memiliki efikasi dan keamanan yang hampir sama sebagai tromboprofilaksis. Studi Minet et al menemukan bahwa pemberian dalteparin 5000 UI subkutan dibandingkan UFH BID subkutan dapat menurunkan insiden emboli paru pada pasien di ICU.[10,11]
Berdasarkan studi kohort Ning T et al, pemberian LMWH pada pasien COVID-19 umumnya lebih sering digunakan sebagai antikoagulan profilaksis dibandingkan UFH. Hal ini dikarenakan pemberian LMWH umumnya memiliki respons antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, tidak memerlukan pemantauan terapi, dan memiliki risiko heparin-induced thrombocytopenia (HIT) yang lebih rendah. Beberapa regimen LMWH berdasarkan studi yang telah diberikan sebagai tromboprofilaksis pada pasien COVID-19 adalah enoxaparin 40–60 mg QD dan nadroparin 2850 IU BID.[6,10-12]
Rekomendasi Pemberian Antikoagulan Pada Pasien COVID-19
Pemberian antikoagulan sebagai tromboprofilaksis pada pasien COVID-19 disarankan oleh hampir seluruh panduan COVID-19. Panduan dari International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH), CHEST, dan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) juga telah memberikan rekomendasi pemberian antikoagulan pada pasien COVID-19.
Rekomendasi ISTH Dalam Pemberian Antikoagulan
Berdasarkan panduan dari International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH), pemberian tromboprofilaksis disarankan pada pasien COVID-19 rawat inap yang sakit akut dan yang sakit kritis untuk pencegahan tromboemboli vena. Pada pasien COVID-19 rawat inap yang sakit akut, pemberian tromboprofilaksis dengan LMWH lebih disarankan penggunaannya dibandingkan UFH.[13]
Dosis antikoagulan tromboprofilaksis standar atau LMWH dosis intermediet disarankan pada pasien rawat inap sakit akut. Pada pasien COVID-19 rawat inap sakit kritis, pemberian tromboprofilaksis (baik LMWH atau UFH) disarankan penggunaannya dengan dosis standar. Pemberian tromboprofilaksis diperpanjang dapat diberikan pada pasien COVID-19 dengan kriteria risiko tromboemboli vena tinggi yang sudah diperkenankan rawat jalan.[13]
Rekomendasi CHEST
Berdasarkan panduan CHEST, tromboprofilaksis pasien COVID-19 rawat inap sakit akut lebih disarankan pemberian LMWH atau fondaparinux dibandingkan UFH dengan dosis standar. Namun, pemilihan LMWH, fondaparinux atau UFH lebih disarankan penggunaannya dibandingkan Direct Oral Anticoagulants (DOAC) misalnya rivaroxaban.[14]
Pada keadaan sakit kritis, tromboprofilaksis dosis standar dengan LMWH lebih disarankan penggunaannya dibandingkan UFH, fondaparinux, atau DOAC. Setelah pasien membaik dan dapat dilakukan rawat jalan, pemberian tromboprofilaksis diperpanjang dapat diberikan pada pasien risiko perdarahan rendah hanya apabila terdapat data yang menunjukkan peningkatan risiko tromboemboli vena dan perdarahan pada pasien rawat jalan.[14]
Rekomendasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Pada pedoman Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI), pemberian tromboprofilaksis juga disarankan penggunaannya pada pasien COVID-19 rawat inap untuk pencegahan tromboemboli vena. Pada pasien COVID-19 derajat ringan, pemberian antikoagulan profilaksis dapat diberikan apabila terdapat peningkatan kadar D-dimer, PT memanjang, jumlah trombosit < 100 x 10⁹/L, dan Fibrinogen < 2,0 g/L.[15,16]
Pada pasien dengan COVID-19 derajat sedang rawat inap, disarankan pemberian tromboprofilaksis. Sebelum pemberian antikoagulan, kontraindikasi obat antikoagulan, seperti riwayat perdarahan sebelumnya, perdarahan aktif, riwayat alergi heparin, heparin-induced thrombocytopenia, jumlah trombosit <25.000/mm³, dan gangguan hati berat, harus diperhatikan. Pemberian profilaksis yang disarankan adalah LMWH 1x0,4 cc subkutan atau UFH 2x5000 unit subkutan.[15,16]
Namun, pemberian antikoagulan harus memperhatikan kontraindikasi obat. Sedangkan pada pasien COVID-19 kondisi kritis yang dirawat di ICU atau post-ICU dan trombosit > 25.000/mm³, direkomendasikan untuk melakukan peningkatan dosis profilaksis. Pemilihan antikoagulan didasarkan pada klirens kreatinin pasien (CrCl) pasien.[15,16]
Apabila pasien memiliki CrCl≥ 30 mL/menit, maka dapat diberikan enoxaparin 2x40 mg/hari subkutan, atau UFH 3x7.500 unit/hari subkutan. Pada pasien dengan CrCl < 30mL/menit, disarankan pemberian UFH 3x7.500/hari subkutan. Perbedaan dosis dapat diberikan apabila pasien obesitas atau berat badan <60 kg. [15,16]
Kesimpulan
Pada pasien COVID-19 dapat meningkatkan risiko terjadinya kejadian tromboemboli, terutama pada derajat berat. Beberapa kejadian komplikasi trombosis, berupa tromboemboli vena maupun arteri telah dilaporkan pada pasien COVID-19. Oleh sebab itu, pemberian tromboprofilaksis disarankan pemberiannya pada pasien COVID-19 untuk pencegahan terjadinya komplikasi trombosis, terutama tromboemboli vena. Beberapa studi juga telah menunjukkan bahwa pemberian tromboprofilaksis pada pasien COVID-19 dapat menurunkan tingkat mortalitas pasien.
Jenis antikoagulan LMWH umumnya lebih disarankan penggunaannya dibandingkan UFH dikarenakan tidak perlunya pemantauan terapi dan respons antikoagulan yang lebih dapat diprediksi. Rekomendasi dari ISTH, CHEST, dan PAPDI juga telah menyarankan penggunaan antikoagulan pada pasien COVID-19 rawat inap. Dosis antikoagulan yang lebih tinggi dapat diberikan pada pasien COVID-19 dengan sakit kritis berat yang dirawat di ICU atau post-ICU.