Mayoritas perokok dewasa mulai merokok sejak usia muda. Hal ini menjadi dasar perlunya upaya menghentikan kebiasaan merokok atau smoking cessation strategy yang ditujukan pada perokok remaja atau adolesens.
Sebuah studi mengenai perokok adolesens (didefinisikan oleh WHO sebagai anak usia 10-19 tahun) di Amerika menemukan bahwa vareniklin sebagai terapi pengganti nikotin dapat ditoleransi dengan baik, namun tidak meningkatkan tingkat abstinence atau berhenti merokok di akhir terapi. Temuan tersebut mendukung literatur-literatur sebelumnya mengenai intervensi berhenti merokok pada adolesens yang secara umum menghasilkan tingkat abstinence rendah.[1-3]
Di seluruh dunia, rokok adalah penyebab tersering kematian yang dapat dicegah. Mayoritas perokok dewasa mulai merokok sebelum usia 21 tahun. Data menunjukkan 8% siswa SMA adalah perokok. Hampir semua perokok adolesens terus merokok hingga dewasa, yang mengakibatkan turunnya angka harapan hidup setidaknya 10 tahun dibandingkan non-perokok.[1,2,4]
Semakin muda usia seseorang ketika berhenti merokok, semakin besar manfaat kesehatan yang didapatkan. Manfaat jangka panjang lain dari berhenti merokok adalah biaya perawatan kesehatan yang lebih rendah. Karena itu, diperlukan langkah efektif untuk membantu menghentikan kebiasaan merokok pada adolesens.[4,5]
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Upaya Berhenti Merokok pada Perokok Remaja
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan upaya berhenti merokok adolesens, di antaranya kondisi kesehatan mental, kebiasaan merokok pada teman sebaya atau anggota keluarga, tingkat stres, dan konsumsi alkohol serta obat-obatan terlarang. Faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan dalam memilih strategi terbaik untuk membantu adolesens berhenti merokok.[5]
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perokok adolesens ingin berhenti dan mencoba berhenti dengan kemampuan sendiri, namun kebanyakan tidak berhasil. Setiap tahunnya, hanya 4 persen perokok usia 12 hingga 19 tahun yang sukses berhenti merokok. Mayoritas individu bahkan relaps dalam 2 hari setelah berhenti.[6]
Perbedaan Upaya Berhenti Merokok pada Remaja dan Orang Dewasa
Apapun alasan adolesens memulai kebiasaan merokok, adiksi terhadap nikotin muncul dengan cepat. Rata-rata dibutuhkan 2-3 tahun untuk menjadi perokok rutin dengan adiksi terhadap nikotin. Semakin besar adiksinya, semakin sulit adolesens berhenti merokok.[6]
Berdasarkan penelitian Milton et al., prevalensi kesuksesan berhenti merokok pada remaja lebih kecil dibandingkan pada orang dewasa. Beberapa faktor penyebabnya antara lain:
- Adolesens cenderung meremehkan sifat adiktif nikotin, dan berpikir mereka dapat berhenti merokok kapan saja
- Upaya berhenti merokok pada adolesens umumnya dilakukan tanpa perencanaan
- Adolesens cenderung tidak meminta bantuan atau pendampingan pihak lain dalam upaya berhenti merokok
- Adanya ketergantungan pada rokok untuk mengendalikan suasana hati
- Kurangnya motivasi untuk berhenti
- Pengaruh dari lingkungan sekitar
- Konsumsi marijuana dan alkohol yang meningkat di kalangan anak muda. Kedua zat tersebut dapat mengurangi peluang kesuksesan berhenti merokok[2,6]
Penelitian menunjukkan bahwa adolesens tidak tertarik pada program berhenti merokok untuk dewasa. Selain itu, tidak ada cukup data penelitian mengenai program serupa bagi adolesens.[5,6]
Hal lain yang menghalangi adolesens untuk mengakses program berhenti merokok adalah kurangnya pengetahuan mengenai program tersebut dan kekuatiran apakah program yang ada dapat memahami kebutuhan anak muda.[5,6]
Strategi Berhenti Merokok Untuk Adolesens
Secara garis besar, ada 2 macam strategi berhenti merokok untuk adolesens, yakni intervensi psikososial dan farmakologis. Ada pula intervensi yang masih bersifat eksperimental dan wacana mengenai peran rokok elektrik dalam upaya berhenti merokok.
Intervensi Psikososial
Menurut sebuah review Cochrane mengenai upaya berhenti merokok pada adolesens, intervensi psikososial dengan level of evidence tertinggi adalah konseling individu berupa motivational enhancement therapy dan cognitive behavioral therapy (CBT).[4,5]
Motivational enhancement therapy menolong adolesens untuk mengklarifikasi tujuan dan kepercayaan mereka berkenaan dengan merokok. Kerangka kerja yang paling sering digunakan dalam motivational enhancement therapy adalah 5A (Ask-Advise-Assess-Assist-Arrange).[5]
CBT untuk berhenti merokok mengajarkan adolesens cara-cara mengatasi gejala withdrawal dan mencegah relaps. CBT dapat dilakukan oleh dokter, psikolog, atau tenaga kesehatan lain yang terlatih, dan cukup efektif bagi adolesens.[4,5]
Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis lini pertama untuk menghentikan kebiasaan merokok pada orang dewasa adalah terapi pengganti nikotin atau nicotine replacement therapy (NRT), bupropion, dan vareniklin. Namun, tidak ada cukup data berbasis bukti untuk merekomendasikan intervensi farmakologis tertentu bagi perokok adolesens. Selain itu, hampir semua intervensi farmakologis lini pertama ini tidak tersedia di Indonesia. Hanya vareniklin yang tersedia di Indonesia.[5]
NRT bekerja dengan mengganti nikotin yang didapat dari rokok untuk mengurangi gejala withdrawal terkait berhenti merokok, sehingga membantu individu melawan dorongan untuk merokok.[4]
Produk yang paling sering diresepkan adalah permen karet nikotin dan patch transdermal. Efek samping pada adolesens yang paling sering dilaporkan adalah iritasi mulut dan kulit serta peningkatan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah.[5]
Vareniklin adalah agonis parsial reseptor nikotinik, sedangkan bupropion adalah antagonis reseptor asetilkolin nikotinik yang merupakan inhibitor reuptake dopamin dan norepinefrin. Kedua obat tersebut ditujukan untuk mengurangi craving/keinginan merokok, iritabilitas, dan gejala-gejala depresi.[4]
Intervensi Eksperimental
Beberapa intervensi upaya berhenti merokok pada adolesens yang masih dalam tahap percobaan antara lain:
- program berhenti merokok di sekolah-sekolah
- intervensi berhenti merokok menggunakan pesan teks
- peer mentoring
- intervensi self-help berbasis digital
Saat ini belum ada cukup data mengenai efektivitas intervensi tersebut, sehingga diperlukan kombinasi dengan konseling untuk memberikan hasil maksimal.[5]
Rokok Elektrik
Penggunaan rokok elektrik/e-cigarette sebagai strategi berhenti merokok pada adolesens masih kontroversial. Canadian Pediatric Society menyarankan tenaga kesehatan sebaiknya tidak menyarankan penggunaan e-cigarette sebagai sarana untuk berhenti merokok dan justru mengedukasi adolesens mengenai potensi bahaya rokok elektrik.[5]
Walau demikian, studi tahun 2018 pada 627 orang dewasa muda berusia 18-29 tahun justru menunjukkan potensi e-cigarette sebagai sarana berhenti merokok pada populasi tersebut. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah e-cigarette bisa digunakan sebagai sarana berhenti merokok pada adolesens atau tidak.[7]
Penelitian Terkait Intervensi Farmakologis Strategi Berhenti Merokok
Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa tidak ada efek signifikan intervensi farmakologis, yakni menggunakan nicotine replacement therapy/NRT, bupropion, dan vareniklin, terhadap upaya berhenti merokok pada adolesens.[4]
Sudah ada beberapa studi yang meneliti efek bupropion dan vareniklin pada perokok adolesens. Namun karena sampel penelitian yang sedikit dan data percobaan yang tidak signifikan, rekomendasi penggunaan kedua obat tersebut masih ditentukan oleh opini ahli. Kesulitan merekrut sampel penelitian juga merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menghentikan kebiasaan merokok adolesens.[2,3,5]
Nicotine Replacement Therapy (NRT)
Sebuah studi double blind oleh Scherphof et al. pada 257 adolesens di Belanda meneliti efek NRT pada upaya berhenti merokok dibandingkan dengan plasebo. Perokok adolesens menjalani satu sesi informasi diikuti pemberian NRT atau plasebo selama 6 minggu bagi adolesens yang merokok kurang dari 20 batang per hari, dan 9 minggu bagi mereka yang merokok lebih dari 20 batang per hari.[4]
Sampel yang mendapat NRT lebih banyak melaporkan abstinence pada minggu kedua terapi dibandingkan dengan kontrol (31,9% vs 21,3%), namun tidak ada perbedaan signifikan pada kedua kelompok tersebut di akhir terapi (14,8% vs 13,1%).[4]
Bupropion dan Vareniklin
Gray et al. mengevaluasi efek kombinasi bupropion sustained-release (BSR) dan intervensi psikososial berupa contingency management (CM) dibandingkan dengan 2 kelompok kontrol (BSR+non-CM dan plasebo+non-CM) pada 134 perokok adolesens. Di akhir terapi selama 6 minggu dan follow-up 2 minggu kemudian, kelompok BSR+CM memiliki tingkat abstinence lebih tinggi.[4,8]
Penelitian kedua oleh Gray et al. mengevaluasi efek vareniklin dibandingkan bupropion extended release pada 29 perokok adolesens yang merokok minimal 5 batang/hari. Hasilnya, baik vareniklin maupun bupropion dapat berkontribusi mengurangi jumlah rokok yang dikonsumsi. Hasil tersebut cukup menjanjikan, namun masih memerlukan studi lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan adanya kelompok kontrol.[4,9]
Pada akhir 2019, sebuah studi oleh Gray, Baker, McClure, et al. mengevaluasi keamanan dan efikasi vareniklin pada 157 perokok adolesens yang ingin berhenti, dengan lama terapi 12 minggu. Kombinasi vareniklin dan konseling individu diharapkan dapat lebih meningkatkan abstinence dibandingkan plasebo.[1]
Hasilnya, tidak ada perbedaan pada kedua kelompok dari segi jumlah perokok yang mencapai 7 hari abstinence di akhir terapi (tingkat abstinence 8,9% pada kedua kelompok). Namun, selama terapi, kelompok vareniklin lebih banyak mencapai 7 hari abstinence dibandingkan kontrol (40,3% vs 30%). Kelompok vareniklin juga membutuhkan waktu 20 hari lebih singkat untuk mencapai 7 hari abstinence.[1,3]
Hasil pada sampel menunjukkan tidak ada perbedaan efek samping antara kelompok terapi dan kontrol. Penggunaan vareniklin perlu diwaspadai pada individu dengan gangguan psikiatri. Pada penelitian ini, adolesens dengan riwayat gangguan psikotik, kecenderungan bunuh diri, atau agresi dieksklusi dari percobaan, sehingga keamanan vareniklin pada adolesens dengan gangguan psikiatri belum diketahui pasti.[1,10]
Kesimpulan
Adanya perbedaan antara upaya berhenti merokok pada remaja dan dewasa menimbulkan kebutuhan akan strategi berhenti merokok berbasis bukti yang tepat untuk perokok remaja/adolesens.
Namun, upaya menghentikan kebiasaan merokok pada adolesens memiliki tantangan tersendiri. Tidak banyak perokok adolesens yang menyadari bahwa mereka butuh bantuan atau pendampingan untuk dapat berhenti merokok. Selain itu, data penelitian yang ada mengenai intervensi farmakologis untuk menghentikan kebiasaan merokok pada adolesens tidak sebanyak data penelitian serupa pada perokok dewasa.[3,5]
Perlu dilakukan penelitian dengan sampel perokok adolesens yang lebih besar dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya. Untuk mencapai hal tersebut, perlu dikembangkan strategi untuk menjangkau populasi perokok adolesens agar mau berpartisipasi dalam penelitian, misalnya melalui sarana digital yang mudah diakses.[2]
Studi yang ada menunjukkan bahwa terapi intervensi psikososial memegang peranan paling besar pada upaya berhenti merokok pada perokok adolesens. Terapi farmakologis tidak menunjukkan efek yang signifikan tetapi jika diberikan bersama dengan terapi intervensi psikososial, terbukti dapat mempercepat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 7 hari berhenti merokok dan meningkatkan tingkat 7 hari berhenti merokok setelah terapi.
Penggunaan rokok elektronik/e-cigarette untuk terapi berhenti merokok pada adolesens masih kontroversial dan tidak didukung oleh bukti. Walau e-cigarette dinilai jauh lebih tidak berbahaya dibandingkan rokok tradisional dengan tingkat mortalitas yang lebih rendah, masih dibutuhkan penelitian untuk menilai apakah e-cigarette efektif untuk terapi berhenti merokok pada adolesens atau tidak.
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri