Terdapat kekhawatiran terhadap keamanan vaksinasi COVID-19 pada pasien hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya. Isu ini terutama berkaitan dengan dilaporkannya beberapa kasus trombosis yang diinduksi vaksin COVID-19 berbasis vektor adenovirus dan mRNA. Perhatian utama pada pasien hemofilia adalah risiko perdarahan dan hematoma akibat injeksi intramuskular.
Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan bagian penting dalam penanganan pandemi COVID-19. Pencegahan dapat dilakukan melalui protokol kesehatan yang ketat dan program vaksinasi COVID-19. Vaksinasi bertujuan menstimulasi sistem imun tubuh untuk memproduksi antibodi yang dapat melawan infeksi SARS-CoV-2.
Akan tetapi, masih terdapat beberapa kekhawatiran mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan vaksinasi COVID-19 pada pasien dengan penyakit komorbid, termasuk hemofilia atau kelainan perdarahan lainnya. Beberapa kasus mengenai gangguan pembekuan darah pasca vaksinasi COVID-19 telah dilaporkan sehingga beberapa asosiasi telah mengeluarkan rekomendasi terkait vaksinasi COVID-19 pada pasien hemofilia dan gangguan perdarahan lain, seperti immune thrombocytopenic purpura (ITP).[1,2]
Konsensus Vaksinasi COVID-19 pada Hemofilia dan Gangguan Perdarahan Lain
Vaksin COVID-19 yang telah disetujui penggunaannya telah melalui uji klinis yang dilakukan pada ratusan juta orang di seluruh dunia dan terbukti efektif dan aman. Tidak terdapat adanya efek samping serius selain kasus anafilaksis yang sangat jarang terjadi. Manfaat vaksin COVID-19 masih lebih besar daripada risiko efek sampingnya, sehingga pemberian vaksin COVID-19 tetap dianjurkan untuk pasien hemofilia.
Hemofilia dan kelainan perdarahan juga bukan merupakan suatu kontraindikasi pemberian vaksin COVID-19. Vaksin tetap perlu diberikan karena penderita hemofilia dan gangguan perdarahan tetap memiliki risiko morbiditas dan mortalitas akibat infeksi SARS-CoV-2.[3-5]
Namun, apabila pasien hemofilia mengalami gangguan atau sebuah penyakit, mereka umumnya membutuhkan perawatan dan manajemen yang sangat kompleks. Hal ini lah yang menjadi dasar pertimbangan perlunya perhatian khusus terkait pemberian vaksin COVID-19 pada pasien hemofilia.
Terkait pemberian vaksin COVID-19 Sinovac, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) menganjurkan agar pasien dengan gangguan darah, seperti hemofilia, berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu sebelum vaksinasi dilakukan, untuk menentukan kelayakan vaksin.[6]
Pasien yang Mendapat Terapi Antikoagulan
World Federation of Hemophilia dalam pedoman vaksinasi COVID-19 untuk penderita kelainan perdarahan mengemukakan bahwa pasien yang mendapat terapi antikoagulan perlu diperiksa waktu protrombinnya dalam jangka waktu 72 hari sebelum vaksinasi. Bila hasil pemeriksaan stabil, maka pasien dapat menerima vaksin COVID-19 secara intramuskular.
Pada pasien hemofilia sedang hingga berat, penyuntikan vaksin diberikan setelah injeksi profilaksis faktor pembekuan, yaitu faktor VIII (FVIII) dan faktor IX (FIX) diberikan. Pasien dengan kadar awal FVIII atau FIX di atas 10% tidak memerlukan perhatian hemostatik khusus. Anjuran yang sama dikeluarkan oleh Haematology Society of Australia and New Zealand dan asosiasi hematologi dari Jerman.[3-5]
Pasien dalam pengobatan untuk kondisi keganasan hematologi perlu divaksinasi sebelum tindakan kemoterapi atau terapi seluler. Pada pasien yang mendapatkan terapi emicizumab, vaksinasi dapat diberikan secara intramuskular tanpa perlu tindakan pencegahan hemostatik dan tanpa diberikan dosis FVIII. Selain itu, pasien dengan riwayat alergi pada konsentrat faktor pembekuan yang mengandung polyethylene glycol (PEG) perlu lebih dulu berkonsultasi kepada dokter sebelum divaksinasi.[3-5]
Teknis Pemberian Vaksin COVID-19
Pasien dengan gangguan perdarahan seperti hemofilia atau yang mendapat terapi antiplatelet atau antikoagulan, atau yang dalam kondisi trombositopenia memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami perdarahan pada lokasi penyuntikan. Alasan ini membuat pasien hemofilia umumnya dianjurkan untuk mendapatkan vaksin melalui rute subkutan. Namun, pemberian vaksin COVID-19 pada penderita hemofilia dan kelainan perdarahan lainnya tetap diberikan secara intramuskular, dengan menggunakan jarum ukuran terkecil.
Sebelum injeksi, dapat diberikan kompres dingin pada lokasi penyuntikan selama 5 menit. Setelah injeksi, penekanan pada lokasi injeksi perlu dilakukan selama kurang lebih 10 menit untuk mengurangi perdarahan dan pembengkakan. Tiga puluh menit setelah vaksinasi, dapat dilakukan observasi dengan inspeksi dan palpasi pada lokasi penyuntikan untuk melihat ada tidaknya hematoma.
Pasien juga perlu diobservasi hingga 4 jam setelah vaksinasi untuk memastikan ada tidaknya delayed hematoma. Aktivitas berat terutama yang menggunakan sisi lengan lokasi penyuntikan sebaiknya dihindari karena terdapat risiko perdarahan otot. Pasien perlu diedukasi mengenai efek yang mungkin timbul, seperti nyeri pada lengan yang dapat terasa hingga 2 hari setelah vaksinasi.[3,4]
Risiko Efek Samping Vaksin COVID-19 pada Penderita Hemofilia
Pemberian vaksin COVID-19 tetap direkomendasikan untuk penderita hemofilia dan kelainan perdarahan lainnya. Manfaat vaksin COVID-19 dilaporkan melebihi risiko yang mungkin ditimbulkan. Pasien hemofilia atau kelainan perdarahan lainnya mendapatkan dua dosis vaksin COVID-19 seperti pada masyarakat umumnya, kecuali bila terjadi efek samping serius setelah vaksin dosis pertama. Efek samping seperti hematoma bukan merupakan kontraindikasi untuk melanjutkan vaksin dosis kedua.
Pada kondisi di mana efek samping pasca vaksin, seperti reaksi alergi, hematoma, dan nyeri yang memberat disertai bengkak pada lengan terjadi, maka pasien perlu segera berkonsultasi dengan dokter.[3,4,7,8]
Kesimpulan
Pemberian vaksinasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah dan memutuskan rantai penyebaran COVID-19. Seperti pada masyarakat umumnya, pemberian vaksin COVID-19 juga direkomendasikan pada penderita hemofilia dan kelainan perdarahan lainnya. Beberapa poin penting dalam pedoman yang telah ditetapkan oleh World Federation of Hemophilia dilakukan sebagai upaya mengurangi risiko efek samping yang dapat timbul. Sebelum vaksinasi, pastikan bahwa terapi hemofilia telah diberikan dan faktor pembekuan darah dalam kadar yang adekuat.
Penyuntikan dengan jarum ukuran terkecil, pemberian kompres es pada lokasi penyuntikan, penekanan lokasi injeksi, observasi hematoma, perlu dilakukan saat vaksinasi. Hingga saat ini, belum terdapat banyak penelitian dan panduan yang menjelaskan mengenai risiko dan efek samping yang dapat terjadi berkaitan dengan vaksin COVID-19 pada penderita kelainan perdarahan.
Akan tetapi, pada kondisi pandemi seperti saat ini, pemberian vaksin COVID-19 memiliki keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan risiko yang mungkin timbul, sehingga vaksin tetap direkomendasikan untuk penderita kelainan perdarahan.
Masih perlu dilakukan studi-studi di masa mendatang untuk mempelajari lebih lanjut mengenai efek vaksin COVID-19 pada penderita hemofilia dan kelainan perdarahan, hal ini dimaksudkan agar dapat meminimalkan komplikasi dan efek yang timbul pada penderita hemofilia.[3,4,6,8]