Saat ini muncul pertanyaan para ahli, apakah vaksinasi COVID-19 dosis keempat (booster kedua) diperlukan? Sejak dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO, penyakit Novel Coronavirus Disease-2019 telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh dunia. Virus SARS-CoV-2 juga telah mengalami berbagai mutasi, sehingga mempengaruhi efikasi obat dan vaksin.[1,2]
Sesuai dengan trias epidemiologi penyakit infeksi, salah satu upaya memutus rantai penularan adalah meningkatkan daya tahan tubuh pejamu. Pemberian vaksin telah terbukti dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas COVID-19. Berbagai penelitian melaporkan bahwa vaksinasi dapat menurunkan infeksi, keparahan penyakit, angka perawatan di rumah sakit, hingga angka kematian akibat COVID-19.[3]
Namun, orang yang telah mendapatkan 2 dosis utama vaksin tampaknya tetap rentan terhadap virus varian, terutama varian delta dan varian omicron. Hal ini menjadi dasar pemikiran perlunya booster vaksinasi untuk mempertahankan atau meningkatkan kekebalan tubuh.[4]
Bukti Ilmiah Penurunan Imunitas Pasca Vaksinasi COVID-19
Beberapa bukti Ilmiah menunjukkan bahwa imunitas pasca vaksinasi COVID-19 tidak bertahan dalam jangka waktu lama. Studi prospektif longitudinal oleh Levin et al., yang melibatkan 4.868 subjek, melaporkan bahwa penurunan titer anti-S IgG terjadi dengan kecepatan konstan yaitu 6 bulan. Penurunan titer neutralizing antibody paling cepat didapatkan pada 70−80 hari pasca vaksinasi, kemudian kecepatannya menurun.[4]
Walaupun studi terdahulu melaporkan penurunan imunitas pasca vaksinasi, tetapi penerapannya tidak sebesar penurunan efikasi vaksinasi COVID-19.[5]
Berbagai faktor diduga terkait dengan kecepatan penurunan imunitas pasca vaksinasi, yaitu jenis kelamin laki-laki, usia, dan komorbiditas. Penelitian Levin et al melaporkan bahwa penurunan IgG dan neutralizing antibody terjadi sebesar 38% dan 42% pada kelompok usia ≥65 tahun, dibandingkan 37% dan 46% pada kelompok usia 18−45 tahun. Pada kelompok laki-laki ≥65 tahun, penurunan kadar IgG dan neutralizing antibody dilaporkan sebesar 37% dan 46%.[4]
Berbeda dengan vaksinasi, kekebalan secara alami pasca terinfeksi COVID-19 dapat dideteksi hingga 8−10 bulan. Hal ini membuat suatu pemikiran bahwa imunitas pasca infeksi alami jauh lebih superior daripada imunitas pasca tervaksinasi dosis penuh.[6,7]
Bukti Ilmiah Terkait Dosis Ketiga Vaksinasi COVID-19 terhadap Varian Omicron
Pada saat penurunan imunitas pasca 2 dosis vaksinasi COVID-19 ditemukan, dunia berhadapan dengan pandemi COVID-19 varian delta (B.1.617.2). Apakah dosis ketiga vaksinasi atau booster pertama memberikan efek yang sama dengan vaksin 2 dosis?
Pertanyaan tersebut masih belum dapat dijawab, mengingat cakupan imunisasi yang tidak merata di seluruh dunia. Pada saat negara maju menyelesaikan booster pertama, muncul varian omicron (B.1.1.529). Oleh karena itu, dilakukan analisis dengan desain kasus-kontrol negativitas tes COVID-19, berdasarkan kunjungan pada unit gawat darurat COVID-19. Analisis ini dikenal dengan penelitian VISION Network.[8]
Penelitian VISION Network di Amerika Serikat
Penelitian VISION network meliputi 241.204 kunjungan unit gawat darurat COVID-19, dengan angka perawatan sebesar 93.408 kasus. Penelitian dilakukan pada 10 negara bagian di Amerika Serikat, pada Agustus 2021 hingga Januari 2022.[8]
Penelitian ini mendapatkan bahwa pasien yang menerima dosis lengkap dan booster memiliki angka kesakitan yang lebih rendah terhadap varian omicron maupun delta. Efikasi booster dilaporkan lebih superior daripada dua dosis vaksinasi.[8]
Penelitian juga melaporkan penurunan efikasi vaksinasi yang seiring waktu pemberian booster dosis pertama. Pada 2 bulan pasca booster, dilaporkan 91% subjek tidak membutuhkan perawatan rumah sakit karena COVID-19. Sedangkan >4 bulan pasca booster, terjadi penurunan hingga 78% subjek yang tidak dirawat.[8]
Insidensi tidak berkunjung ke unit gawat darurat (UGD) pada kelompok 2 bulan pasca booster mencapai 87%, dan pada kelompok 4−5 bulan pasca booster hanya 66%. Walaupun demikian, proporsi kunjungan ke UGD karena COVID-19 masih tetap didominasi oleh pasien yang belum mendapatkan vaksin dengan proporsi 46%, disusul 44% yang telah mendapatkan 2 dosis, dan 10% yang telah mendapatkan 3 dosis.[8]
Oleh karena itu, imunitas pasca booster pertama vaksinasi COVID-19 yang melemah menjadi suatu fenomena yang perlu perhatian ke depan.[8]
Uji Klinis Booster Kedua di Israel
Uji klinis mengenai booster dosis kedua (vaksin dosis keempat) telah dilakukan di Israel pada tahun 2022. Uji ini memberikan booster dosis kedua pada 1.138.681 subjek. Diagnosis COVID-19 lebih rendah didapatkan pada populasi yang telah mendapatkan vaksinasi hingga dosis keempat daripada yang mendapatkan 3 dosis, minimal 12 hari setelah vaksinasi dosis keempat dilakukan (95%IK: 2,0-2,1).[9]
Namun, data yang disajikan tampaknya tidak lengkap, di antaranya apakah kelompok dosis keempat memiliki faktor risiko yang sama dengan kelompok kontrol. Oleh karena itu, mungkin ada beberapa bias dalam hasil penelitian ini.
tidak jelas dari data yang tidak lengkap termasuk dalam penelitian ini jika kelompok dosis 4 memiliki faktor risiko yang sama dengan kelompok kontrol dalam penelitian ini sehingga mungkin ada beberapa bias dalam hasil ini.
Sedangkan secara imunologis, orang yang mendapatkan booster kedua mengalami kenaikan konsentrasi IgG dan neutralizing antibody hingga 9−10 kali lipat dalam 2 minggu pasca penyuntikan. Selain itu, imunitas terhadap isolat varian omikron juga meningkat sebesar 8 kali lipat. Efikasi vaksin terhadap infeksi adalah 30% untuk vaksin Pfizer (BNT162b2) dan 11% untuk vaksin Moderna (mRNA1273). Efikasi ini tidak cukup baik karena <50%.[2]
Durasi penelitian juga tidak cukup lama untuk mengukur apakah ada penurunan tingkat rawat inap atau kematian akibat infeksi COVID-19 setelah dosis keempat. Prevalensi kejadian ikutan pasca imunisasi berupa nyeri pada tempat suntikan dilaporkan pada 80% penerima vaksin Pfizer dan 40% penerima vaksin Moderna. Serupa, durasi penelitian terlalu singkat untuk menentukan risiko jangka lama vaksin.[2]
Aplikasi Dosis Keempat (Booster Kedua) Vaksin COVID-19
Dengan masih menggunakan ketentuan emergency use authorization (EUA) dari FDA, aplikasi booster kedua telah dilakukan di Amerika Serikat. Aplikasi vaksin dosis keempat ini tanpa rekomendasi dari komite penasihat FDA.
CDC merekomendasikan booster kedua pada pasien imunokompromais dan orang dewasa usia ≥50 tahun, yang telah mendapatkan imunisasi COVID-19 hingga dosis ketiga, untuk meningkatkan kekebalan terhadap COVID-19.[10]
Dalam penerapannya, baik pemberian booster secara heterolog maupun homolog dapat meningkatkan kekebalan dengan baik. Efektivitas pemberian booster heterolog (mix and match strategy) mencapai minimal 88,8%. Namun, temuan Menni et al melaporkan bahwa kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) sistemik lebih kerap dijumpai pada penerima vaksinasi heterolog daripada dibandingkan homolog (17,9% vs 13,2%, OR 1,5, 95%IK 1,5-1,6, p<0,0001).[11]
Hingga saat ini, rekomendasi booster kedua untuk populasi lain masih belum didapatkan. Aplikasi booster kedua vaksin COVID-19 masih harus menunggu berbagai studi lebih lanjut dengan hasil yang maksimal.
Kesimpulan
Sejak dinyatakan sebagai pandemi, COVID-19 telah menjadi masalah global dan berbagai cara dilakukan dengan harapan memutus rantai penularan COVID-19. Vaksinasi menjadi salah satu cara memutus rantai penularan dengan meningkatkan daya tahan pejamu terhadap patogen virus SARS-CoV-2.
Berbagai bukti ilmiah telah melaporkan penurunan imunitas pada orang yang telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 dosis kedua, bahkan juga pada yang telah menerima booster dosis pertama. Berbagai bukti ilmiah dari negara yang telah melakukan booster dosis kedua melaporkan bahwa secara imunologis titer anti SARS-CoV-2 akan kembali meningkat sehingga efikasi vaksinasi akan meningkat.
Akan tetapi, hanya mengukur titer antibodi merupakan perkiraan kekebalan yang buruk. Hingga saat ini belum ada randomized controlled trial (RCT) untuk menilai titik akhir yang berguna secara klinis dari pemberian vaksin COVID19 dosis keempat, yaitu peningkatan kasus berat COVID-19, pasien yang memerlukan rawat inap, dan kematian.
Aplikasi booster kedua atau vaksinasi dosis keempat di Amerika Serikat telah dilakukan dengan sasaran awal populasi usia ≥50 tahun dan pasien imunokompromais, untuk menurunkan angka kesakitan akibat COVID-19. Namun, belum ada bukti apakah dosis booster dapat meningkatkan risiko efek samping vaksin yang berat. Di sini, analisis risk and benefit diperlukan untuk memastikan bahwa vaksin booster sebaiknya diberikan pada populasi berisiko gejala berat. Pada mayoritas populasi umum yang pernah terinfeksi COVID-19, vaksin dosis keempat dilaporkan kurang bermanfaat.
Pemberian booster pada kelompok risiko rendah memerlukan pengamatan lebih jauh, apakah vaksin lebih bermanfaat daripada risiko efek samping vaksin yang berat. Oleh karena itu, pemberian dosis keempat vaksin COVID-19 seharusnya menunggu hasil studi lebih lanjut terkait manfaat dan efek jangka panjangnya, dan sebaiknya tidak berdasarkan Emergency Use Authorization (EUA) semata.
Vaksin bivalen untuk varian-varian COVID-19 juga telah mendapatkan EUA di beberapa negara. Namun, studi lebih lanjut mungkin masih diperlukan untuk memastikan efikasi dan keamanannya.