Vitamin C Intravagina untuk Pengobatan dan Pencegahan Bakterial Vaginosis – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Eva Naomi Oretla

Intravaginal Vitamin C for the Treatment and Prevention of Bacterial Vaginosis: A Systematic Review and Meta-analysis

Khaikin Y, Elangainesan P, Winkler E, et al. Obstetrics & Gynecology. 2025. 0(0):1-10. doi:10.1097/AOG.0000000000006092.

studilayak

Abstrak

Tujuan: Untuk mengevaluasi efektivitas vitamin C intravagina dalam pengobatan dan pencegahan bakterial vaginosis dibandingkan dengan kontrol atau antibiotik.

Metode: Sumber data adalah basis data elektronik (MEDLINE, EMBASE, Cumulative Index to Nursing and Allied Health Literature, dan Cochrane Central Register of Controlled Trials), Google Scholar, registri uji klinis, serta literatur abu-abu ditelusuri untuk artikel dalam berbagai bahasa sejak awal hingga Mei 2025.

Metode Pemilihan Studi: Peneliti memasukkan uji klinis acak yang melibatkan partisipan pasien perempuan yang tidak hamil dan menggunakan vitamin C intravagina untuk pengobatan bakterial vaginosis akut atau pencegahan kekambuhan. Penyaringan studi dilakukan menggunakan perangkat lunak Covidence.

Tabulasi, Integrasi, dan Hasil: Risiko bias dinilai menggunakan alat Cochrane Risk of Bias 2.

Luaran primer adalah penyembuhan klinis atau mikrobiologis maupun kekambuhan. Hasil dilaporkan dalam bentuk rasio risiko (risk ratio/RR) dengan interval kepercayaan 95% (CI). Kepastian kesimpulan dinyatakan dengan pendekatan GRADE (Grading of Recommendations Assessment, Development, and Evaluation).

Hasil: Sebanyak 9 uji klinis (n=1.107) disertakan, yang mana 8 di antaranya mengevaluasi pengobatan primer bakterial vaginosis, dengan tindak lanjut maksimum 30 hari. Sebagian besar uji klinis menggunakan dosis vitamin C 250 mg per hari selama 6 hari.

Dari 8 uji klinis tersebut, sebanyak 4 membandingkan vitamin C dengan kontrol (plasebo atau tanpa pengobatan) dan 4 dengan metronidazole. Hanya 1 uji klinis yang membandingkan vitamin C dengan plasebo menilai pencegahan kekambuhan setelah terapi antibiotik.

Hasil terhadap luaran primer menunjukkan proporsi kesembuhan jangka pendek (1–3 minggu) lebih tinggi pada kelompok vitamin C dibandingkan kelompok kontrol (66% vs 42%, RR 1,57, 95% CI 1,03–2,39; bukti dengan kepastian rendah) dan metronidazole (62% vs 52%, RR 1,20, 95% CI 1,03–1,41; bukti dengan kepastian sangat rendah).

Kekambuhan bakterial vaginosis lebih rendah pada kelompok vitamin C dibandingkan kelompok plasebo setelah 6 bulan (16% vs 32%, RR 0,50, 95% CI 0,27–0,93; bukti dengan kepastian rendah).

Kesimpulan: Terapi vitamin C intravagina (250 mg per hari selama minimal 6 hari) dapat meningkatkan kesembuhan bakterial vaginosis dalam jangka pendek dan mungkin mencegah kekambuhan. Meski demikian, uji klinis acak tambahan diperlukan, terutama untuk mengevaluasi kekambuhan setelah lebih dari 1 bulan.

Vitamin C Intravagina untuk Pengobatan dan Pencegahan Bakterial Vaginosis

Ulasan Alomedika

Bakterial vaginosis merupakan penyebab paling umum dari keputihan abnormal pada wanita usia subur. Pengobatan lini pertama adalah antibiotik spektrum luas terhadap anaerob, seperti metronidazole atau clindamycin. Meskipun tingkat kesembuhan awal dapat mencapai 85%, kekambuhan tetap tinggi, lebih dari 50% dalam 6–12 bulan.

Saat ini, terdapat peningkatan minat terhadap strategi pengobatan alternatif  selain antibiotik untuk bakterial vaginosis, yaitu acidifying agents yang dapat digunakan sebagai terapi tunggal pada pasien dengan penyakit refrakter atau saat antibiotik kontraindikasi. Vitamin C intravagina menunjukkan potensi sebagai acidifying agent.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain tinjauan sistematis dan meta analisis terhadap 9 uji klinis acak (randomized controlled trials /RCT) dengan total 1.107 partisipan, yang diperoleh dari berbagai basis data internasional dan diseleksi menggunakan perangkat lunak Covidence. Uji klinis yang melibatkan partisipan yang sedang hamil dikecualikan dalam penelitian ini.

Peneliti kemudian menilai tingkat kesembuhan atau kekambuhan bakterial vaginosis berdasarkan hasil pengobatan jangka pendek (1–3 minggu) dan jangka panjang (lebih dari 1 bulan) menggunakan kriteria klinis (Amsel criteria) atau mikrobiologis (Nugent score). Seluruh studi yang disertakan menjalani penilaian risiko bias menggunakan alat Cochrane Risk of Bias 2 untuk menentukan kualitas metodologis bukti yang tersedia.

Analisis statistik dalam metode penelitian ini dilakukan menggunakan model random-effects, yang mampu memperhitungkan heterogenitas antara studi yang terpilih tanpa menghilangkan variasi antar studi dalam meta-analisis. Model random-effects sangat tepat digunakan untuk menganalisa beberapa studi penelitian yang memiliki metode dan desain penelitian yang bervariasi.

Tinjauan sistematis dalam penelitian ini juga telah mengikuti pedoman PRISMA dan terdaftar di PROSPERO, sehingga menunjukkan transparansi dan akuntabilitas proses penelitian. Penggunaan berbagai basis data internasional dalam berbagai bahasa meningkatkan cakupan pencarian literatur dan membantu mengurangi risiko publication bias.

Ulasan Hasil Penelitian

Dari 9 uji klinis acak yang dianalisis, sebanyak 8 di antaranya mengevaluasi vitamin C intravagina sebagai pengobatan primer bakterial vaginosis dan dimasukkan ke dalam meta analisis. Terdapat 4 studi yang membandingkan vitamin C dengan kontrol (plasebo atau tanpa pengobatan), sedangkan 4 lainnya membandingkan dengan metronidazole. Studi-studi ini tidak mengevaluasi kesembuhan setelah 30 hari.

Sebanyak 1 uji klinis tidak dimasukkan dalam meta analisis, karena menilai pencegahan kekambuhan setelah keberhasilan terapi antibiotik. Dalam uji klinis tersebut, partisipan menggunakan supositoria vitamin C intravagina dosis 250 mg selama 6 hari setiap bulan, dengan pemantauan selama 6 bulan atau sampai terjadi kekambuhan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi kesembuhan jangka pendek (1–3 minggu) lebih tinggi pada kelompok vitamin C dibandingkan kelompok kontrol (66% vs 42%; bukti kepastian rendah) dengan heterogenitas moderat dan jumlah studi yang terbatas untuk analisis subkelompok maupun sensitivitas.

Hasil serupa ditemukan pada perbandingan vitamin C dengan metronidazole, di mana tingkat kesembuhan jangka pendek (1–2 minggu) lebih tinggi pada kelompok vitamin C (62% vs 52%; bukti kepastian sangat rendah), dengan heterogenitas studi yang juga rendah. Terdapat juga dua studi yang memiliki tingkat kesembuhan yang sangat rendah, sehingga analisis subkelompok tidak dapat dilakukan.

Untuk pencegahan kekambuhan, vitamin C intravagina menunjukkan risiko kekambuhan yang lebih rendah dibandingkan plasebo pada 6 bulan (16% vs 32%; bukti kepastian rendah).

Kelebihan Penelitian

Cakupan pencarian literatur mencakup berbagai basis data besar, registri uji klinis, abstrak konferensi, grey literature, serta pencarian manual dan kontak penulis. Lebih lanjut, proses seleksi dan ekstraksi data dilakukan secara ketat, dengan dua penilai independen di setiap tahap serta mekanisme adjudication oleh penilai ketiga.

Selain itu, studi ini menunjukkan transparansi dalam analisis dan pelaporan. Peneliti tidak hanya menyajikan metode meta analisis yang sesuai, tetapi juga menyediakan kode analitik dan dataset secara terbuka melalui GitHub. Ini memungkinkan replikasi dan audit independen. Penelitian ini juga melakukan penilaian risiko bias menggunakan Cochrane Risk of Bias 2 dan penilaian kepastian bukti menggunakan GRADE.

Kelebihan lain adalah bahwa studi ini berusaha menangani variasi definisi luaran dan perbedaan waktu follow-up antar studi yang dianalisis. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk mengurangi ketidaksejajaran data yang dapat mengganggu interpretasi efek. Studi ini juga menyertakan evaluasi terhadap komponen individual Amsel criteria, sehingga memberikan gambaran lebih granular tentang potensi mekanisme manfaat vitamin C terhadap ekosistem vagina.

Limitasi Penelitian

Jumlah uji klinis acak (RCT) yang terlibat relatif sedikit (9 RCT), sehingga menurunkan kekuatan bukti dan membatasi analisis subgrup, analisis sensitivitas, serta kekuatan meta-analisis secara keseluruhan. Mayoritas uji klinis yang diikutkan juga memiliki kelemahan serius pada tahap randomisasi, concealment, dan penanganan data hilang. Hanya dua studi yang terdaftar sebelumnya (pre-registered), sehingga risiko selective reporting sulit dinilai secara pasti.

Studi-studi yang diikutkan juga memiliki perbedaan substansial, termasuk kriteria diagnosis yang bervariasi, durasi pengobatan yang berbeda-beda, waktu follow-up yang tidak seragam, serta ada studi yang memasukkan sebagian kecil peserta hamil. Hal ini membuat populasi dan intervensi kurang homogen serta membatasi kekuatan kesimpulan.

Lebih lanjut, hampir semua analisis berfokus pada hasil jangka pendek (1–3 minggu). Tidak ada uji klinis primer yang mengevaluasi hasil setelah >30 hari, dan hanya 1 penelitian yang menilai pencegahan kekambuhan hingga 6 bulan. Dengan demikian, efek vitamin C terhadap durabilitas penyembuhan atau perannya pada ekologi vagina secara berkelanjutan tidak dapat dipastikan. Bukti pencegahan kekambuhan juga hanya berasal dari 1 studi, sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasi.

Dalam meta analisis, peneliti menggabungkan studi vitamin C + terapi lain vs terapi lain saja, dengan asumsi bahwa efek vitamin C tidak dipengaruhi terapi pendamping. Ini adalah asumsi yang besar dan tidak selalu benar, mengingat intervensi pada mikrobiota bisa bersifat interaktif. Dua studi juga menunjukkan angka kesembuhan sangat rendah, yang bisa mendistorsi efek gabungan karena baseline risk yang ekstrem.

Potensi efek sinergis vitamin C dengan metronidazole juga tidak dieksplor secara lengkap karena keterbatasan data, sehingga peran vitamin C sebagai terapi adjuvant masih bersifat spekulatif. Sebagian besar penilaian klinis (discharge, whiff test, clue cells) juga bersifat subjektif. Jika prosedur penilaian tidak distandarisasi atau tidak dibutakan, bisa terjadi observer bias.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Studi ini memiliki banyak sekali keterbatasan signifikan. Secara garis besar, uji klinis yang ditinjau dalam studi ini memiliki tingkat bias yang tinggi dan kualitas metodologi yang buruk. Dengan demikian, bukti yang dihasilkan tidak cukup kuat untuk merubah praktik. Vitamin C belum dapat direkomendasikan sebagai pengganti atau tambahan terhadap terapi standar seperti metronidazole.

Referensi