Wearable cardiac defibrillator (WCD) dipakai sebagai upaya menurunkan risiko terjadinya sudden cardiac arrest (SCA) pada pasien infark miokard. WCD adalah perangkat antiaritmia yang menyediakan pemantauan jantung kontinu dan kemampuan defibrilasi melalui sistem berbasis elektroda non-invasif. Berbagai studi terdahulu menunjukkan bahwa WCD efektif dalam pemulihan irama sinus pada pasien dengan aritmia yang berpotensi fatal.[1-3]
Peran Wearable Cardiac Defibrillator untuk Pasien Infark Miokard
Stratifikasi risiko kejadian sudden cardiac arrest (SCA) pada pasien dengan infark miokard masih menjadi hal yang menantang. Uji klinis telah menunjukkan manfaat penggunaan implantable cardioverter defibrillator (ICD) untuk mencegah SCA pada pasien infark miokard. Meski demikian, pemilihan pasien yang dapat menjalani implantasi ICD cukup ketat. Oleh karenanya, pada kelompok pasien dengan risiko tinggi SCA yang kontraindikasi atau tidak memiliki indikasi konvensional untuk pemasangan ICD, penggunaan wearable cardioverter defibrillator (WCD) dapat dilakukan sebagai terapi awal sebelum menuju ke terapi definitif.[1]
SCA menyebabkan 25% dari 17 juta kematian penyakit kardiovaskular di dunia setiap tahunnya. Pasien pasca infark miokard merupakan pasien yang memiliki risiko SCA, khususnya pada 3 bulan pasca serangan. Standar terapi saat ini untuk mencegah terjadinya SCA adalah penggunaan ICD. Wearable cardiac defibrillator (WCD) merupakan alternatif pencegahan SCA pasca infark miokard.[2,3]
Sistem Kerja Wearable Cardiac Defibrillator
Ketika artikel ini ditulis, satu–satunya wearable cardiac defibrillator (WCD) komersial yang tersedia adalah Zoll LifeVest® (Zoll Medical, Pittsburgh, PA) yang disetujui untuk penggunaan klinis oleh FDA pada tahun 2002. LifeVest Model 4000 terdiri dari rompi yang digunakan di dada dan unit monitor yang dibawa di pinggang. Monitor memiliki baterai yang dapat diisi ulang, kapasitor defibrillator, tombol response, prosesor, dan tampilan monitor. WCD juga bertindak sebagai external loop recorder yang terus menerus merekam irama jantung pasien dengan transmisi otomatis aritmia termasuk asistol, pause, dan episode yang tidak mendapat syok.[1]
Terdapat elektroda yang merekam sinyal dan mendeteksi adanya aritmia. Monitor biasanya diletakkan di daerah pinggang dan akan merekam irama jantung pasien. Garmen pada WCD terdiri dari ikat pinggang elastis dan strap bahu yang berfungsi untuk menyangga 4 titik elektroda yang mendeteksi irama dan 3 elektroda defibrilator. Elektroda defibrilator dapat mengeluarkan gel secara otomatis sebelum memberikan syok apabila terjadi SCA.[4]
Algoritma pendeteksi dari WCD menunjukkan sensitivitas 90-100 % dan spesifisitas 98-99 %. Pemberian shock yang tidak perlu pada penelitian awal dilaporkan berkisar 1–2 %. Ketika WCD mendeteksi potensi adanya aritmia, algoritma deteksi dan terapi diaktifkan, lalu alat akan melakukan tes respons dari pasien yang meliputi peringatan getaran, suara, dan cahaya. Bila pasien memencet tombol response, maka episode kejut listrik akan dibatalkan. Bila tidak ada respons dari pasien, maka elektroda defibrilator akan mengeluarkan gel pada kulit dan melakukan kejut listrik melalui vektor apeks–posterior. Energi kejut listrik WCD berkisar antara 75–150 J bifasik dan tingkat efikasi mencapai 69–99 %.[7]
Panduan Penggunaan Wearable Cardiac Defibrillator
Penggunaan wearable cardiac defibrillator (WCD) disetujui oleh FDA pada pasien tertentu dengan risiko sudden cardiac arrest (SCA). Akan tetapi, ada beberapa kontraindikasi relatif yang penting. Pasien dengan pacu jantung unipolar (atrial atau ventrikel) tidak dapat menggunakan WCD karena adanya amplitudo besar dari stimulus pacu jantung yang dapat mengganggu deteksi dari aritmia. Selain itu, pasien yang tidak dapat mendeteksi atau merespon pada stimulus juga bukan merupakan kandidat pengguna WCD.
Beberapa organisasi internasional telah memberikan panduan untuk indikasi penggunaan WCD. American Heart Association (AHA) merekomendasikan penggunaan WCD apabila ada indikasi jelas untuk pemakaian ICD atau alat yang permanen, diikuti dengan adanya kontraindikasi sementara, contohnya infeksi (Tabel 1).[5]
Tabel 1. Indikasi dan Kontraindikasi Penggunaan WCD
Indikasi | Kelas Rekomendasi | Tingkat Bukti |
Penggunaan WCD dapat dipertimbangkan pada kondisi adanya indikasi jelas untuk alat implan/permanen yang diikuti dengan adanya kontraindikasi transien atau interupsi dari perawatan ICD seperti infeksi | IIa | C |
Penggunaan WCD dapat dipertimbangkan sebagai jembatan untuk terapi yang lebih definitif seperti transplantasi jantung | IIa | C |
Penggunaan WCD dapat dipertimbangkan ketika ada peningkatan risiko SCA yang dapat membaik dalam jangka waktu tertentu dengan terapi pada disfungsi ventrikel kiri dimana penyebab awalnya potensial untuk dapat diobati sempurna | IIb | C |
WCD dapat dipertimbangkan sebagai terapi jembatan pada situasi yang dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian dimana ICD menunjukkan penurunan SCA tapi tidak tingkat kesintasan secara umum seperti dalam 40 hari setelah infark miokard | IIb | C |
WCD tidak digunakan ketika risiko non aritmia dianggap melebihi risiko aritmia, seperti pada pasien yang dianggap tidak dapat bertahan > 6 bulan | III : Tidak ada keuntungan | C |
Sumber: dr. IB Komang Arjawa, 2022.[1-5]
Di sisi lain, European Society of Cardiology (ESC) merekomendasikan WCD digunakan pada pasien dewasa dengan fungsi sistolik ventrikel kiri yang rendah yang memiliki risiko SCA untuk periode tertentu. Namun, menurut ESC alat ini sebaiknya tidak digunakan untuk terapi sementara sebelum terapi definitif.[4]
Basis Bukti Untuk Penggunaan Wearable Cardiac Defibrillator Pasca Infark Miokard
Dalam sebuah studi yang menilai 8453 pasien yang menggunakan wearable cardiac defibrillator (WCD) pada 3 bulan pertama setelah infark miokard, dilaporkan 133 pasien (1,6%) mendapat kejut jantung yang relevan, dimana 91% teresusitasi dari aritmia ventrikular yang mereka alami. Risiko aritmia ventrikel paling tinggi dalam 1 bulan awal setelah infark miokard. Hasil kohort ini mengindikasikan bahwa WCD efektif untuk mencegah SCA pada pasien pasca infark miokard.[6]
Vest Prevention of Early Sudden Death Trial (VEST) merupakan uji klinis besar pertama untuk menentukan apakah terapi WCD menurunkan kematian akibat aritmia ventrikel pada 90 hari awal setelah perawatan karena infark miokard. Perlakuan meliputi penggunaan WCD dalam 7 hari setelah dipulangkan dengan obat–obat sesuai pedoman klinis (guideline directed medical therapy/GDMT) dibandingkan dengan pemberian obat saja tanpa WCD. Penelitian ini melibatkan 1524 subyek pada grup WCD dan 778 subyek pada grup kontrol. Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada kematian akibat aritmia ventrikel (1,6% pada grup dengan WCD dan 2,4% pada grup kontrol) tetapi ada penurunan angka kematian total (3,1% pada grup WCD dan 4,9% pada grup kontrol).[6,8]
Kesimpulan
Pasien pasca infark miokard merupakan pasien yang memiliki risiko tinggi sudden cardiac arrest (SCA), khususnya dalam 3 bulan pertama pasca serangan. Sistem wearable cardiac defibrillator (WCD) dapat digunakan sebagai terapi sementara untuk mencegah terjadinya SCA selama fase akut pasca infark miokard Bukti ilmiah yang tersedia menunjukkan bahwa WCD dapat menurunkan risiko SCA yang sering terjadi pada pasien pasca infark miokard.
Penulisan pertama oleh: dr. Gisheila Ruth Anggitha