Antibiotik Oral untuk Mencegah Infeksi pada Luka Bakar

Oleh :
dr.Krisandryka

Pemberian antibiotik oral merupakan salah satu langkah pencegahan infeksi pada pasien luka bakar. Pada sebuah studi terhadap 175 pasien luka bakar berat, infeksi dilaporkan mendahului kegagalan organ multipel pada 83% kasus dan merupakan penyebab langsung kematian pada 36% pasien meninggal. Oleh sebab itu, profilaksis infeksi merupakan langkah penting dalam penanganan luka bakar.[1]

Meski demikian, saat ini manfaat pemberian antibiotik sistemik untuk profilaksis infeksi pada pasien luka bakar masih kontroversial. Rekomendasi penatalaksanaan luka bakar tidak mencantumkan peran antibiotik sistemik, atau malah tidak merekomendasikan hal tersebut karena berbagai pertimbangan, seperti keraguan terhadap efikasi obat dan adanya risiko resistensi antibiotik.[1,2]

Antibiotik Oral untuk Luka Bakar

Infeksi Pada Pasien Luka Bakar

Infeksi pada pasien luka bakar terjadi melalui berbagai mekanisme. Ketika kelenjar keringat dan folikel rambut terekspos akibat luka bakar, didorong adanya eskar yang mendorong pertumbuhan mikroba, bakteri Gram positif yang berhabitat di sana dapat menginfeksi luka dengan cepat. Infeksi bakteri Gram negatif juga dapat terjadi akibat translokasi dari kolon akibat penurunan aliran darah mesenterik saat luka bakar terjadi dan jejas setelahnya.[1,3]

Ditambah lagi, pasien luka bakar di ICU dapat terkena infeksi nosokomial yang mencakup infeksi akibat pemasangan kateter intravena dan ventilator-associated pneumonia. Insiden infeksi pada pasien luka bakar di ICU lebih tinggi dibandingkan pasien ICU lainnya.[1,4]

Studi oleh Moinuddin et al melaporkan bakteri terbanyak yang ditemukan dari hasil kultur luka bakar adalah Pseudomonas aeruginosa, yang juga merupakan etiologi terbanyak sepsis dan mortalitas terkait luka bakar. Mikroorganisme terbanyak kedua yang ditemukan adalah methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), yang merupakan patogen dominan di ICU akibat peresepan antibiotik irasional.[5]

Indikasi Pemberian Antibiotik Pada Pasien Luka Bakar

Tinjauan oleh Garcia et al terhadap 11 panduan praktik klinis melaporkan adanya konsensus di antara literatur mengenai pemberian antibiotik topikal untuk mencegah infeksi, dan sebagian besar merekomendasikan dressing yang mengandung perak untuk sebagian besar kasus luka bakar. Namun, belum ada antibiotik topikal ideal yang dapat direkomendasikan.[6]

Di sisi lain, pemberian antibiotik oral masih menjadi perdebatan. Meskipun terdapat kolonisasi mikroorganisme pada luka bakar, pemberian antibiotik sistemik, baik oral maupun parenteral, profilaksis pada pasien luka bakar berpotensi menimbulkan keberadaan mikroorganisme resisten dan bukannya mengeliminasi kolonisasi.

Secara umum, antibiotik sistemik hanya diindikasikan pada kasus luka bakar dengan infeksi berat seperti pneumonia, bakteremia, infeksi luka, dan infeksi saluran kemih. Pemberian antibiotik sistemik juga perlu disesuaikan dengan pola resistensi setempat, hasil kultur segera setelah informasi tersebut tersedia, dan dengan mempertimbangkan kemungkinan superinfeksi oleh mikroorganisme resisten atau jamur.

Demam saja pada pasien luka bakar bukan merupakan indikasi pemberian antibiotik, karena pasien luka bakar sering mengalami demam akibat respon inflamasi sistemik. Antibiotik sistemik oral maupun parenteral juga hanya direkomendasikan pada periode perioperatif eksisi atau grafting untuk mengurangi risiko bakteremia transien, dengan pemberian segera sebelum tindakan dan dihentikan dalam 24 jam pasca operasi.[5]

Studi Terkait Pemberian Antibiotik Oral Profilaksis Pada Pasien Luka Bakar

Pada luka bakar derajat ringan dan sedang jarang terjadi infeksi berat dan pemberian antibiotik sistemik oral maupun parenteral untuk profilaksis dianggap tidak mempengaruhi luaran klinis. Oleh sebab itu, pemberian antibiotik oral profilaksis tidak direkomendasikan.[2]

Antibiotik Oral Untuk Dekontaminasi Saluran Cerna Pada Luka Bakar

Pada luka bakar derajat berat, salah satu potensi sumber infeksi adalah translokasi mikroorganisme dari saluran cerna. Sebuat studi lama mencoba menggunakan antibiotik oral erythromycin, neomycin, dan nystatin untuk mendekontaminasi saluran cerna dan mencegah infeksi luka bakar. Meski begitu, intervensi tersebut ditemukan tidak efektif dan menimbulkan beberapa efek negatif seperti kolonisasi P. aeruginosa pada luka bakar lebih dini dan diare akibat intoleransi terhadap kombinasi antibiotik.[2]

Studi lain mengenai dekontaminasi saluran cerna (selective digestive decontamination/SDD) mengkombinasikan antibiotik oral non-absorbable (neomycin dan nystatin) untuk mendekontaminasi mulut dan saluran cerna dengan sefalosporin generasi ketiga pada pasien luka bakar di ICU. Hasil studi tersebut menunjukkan adanya penurunan infeksi endogen yang disebabkan mikroorganisme di tenggorokan dan saluran cerna, serta penurunan signifikan mortalitas. Meski demikian, didapatkan juga peningkatan signifikan MRSA yang dihubungkan dengan pemberian antibiotik non-absorbable dan cefotaxime dibandingkan plasebo.[2,4]

Antibiotik Oral Untuk Pencegahan Infeksi dan Kaitan dengan Mortalitas

Tinjauan Cochrane meninjau 36 randomized controlled trial (RCT) yang melibatkan 2117 partisipan untuk menilai efek antibiotik profilaksis pada angka infeksi luka bakar. 27 studi menggunakan antibiotik topikal, 7 studi menggunakan antibiotik sistemik, 2 menggunakan antibiotik non-absorbable, dan 1 menggunakan antibiotik lokal melalui jalan napas.

Menurut tinjauan ini, didapatkan peningkatan signifikan infeksi luka bakar dan lama rawat yang berhubungan dengan perak sulfadiazine dibandingkan dressing, tetapi terdapat risiko bias tinggi pada studi tersebut. Meta-analisis tersebut juga melaporkan bahwa SDD dan antibiotik sistemik profilaksis, baik pada pasien non-bedah maupun perioperatif, tidak berefek pada angka kejadian infeksi luka bakar.[4]

Salah satu studi dalam tinjauan Cochrane tersebut adalah studi oleh Kimura et al yang membandingkan 480 mg cotrimoxazole dan plasebo dalam mencegah infeksi luka bakar. Dalam studi tersebut, antibiotik lainnya seperti ampicillin, cefazolin, cefamandole, cefmetazole, dan flomoxef ikut dikombinasikan dengan cotrimoxazole atau plasebo jika dipandang perlu oleh dokter yang bertugas. Hasil studi menunjukkan bahwa pemberian cotrimoxazole menurunkan kejadian pneumonia dan mortalitas. Pneumonia sendiri merupakan salah satu penyebab infeksi nosokomial tersering pada pasien luka bakar berat, dengan tingkat mortalitas 20-50%.[2,4]

Kesimpulan

Infeksi pada pasien luka bakar merupakan komplikasi yang serius dan berhubungan dengan luaran klinis yang buruk serta tingkat mortalitas yang tinggi. Infeksi merupakan penyebab utama kegagalan organ multipel dan kematian pada pasien luka bakar. Pasien luka bakar juga rentan terhadap infeksi nosokomial, termasuk pneumonia ventilator-associated dan infeksi akibat kateter intravena.

Manfaat pemberian antibiotik sistemik, baik oral maupun parenteral, untuk profilaksis infeksi pada pasien luka bakar masih menjadi perdebatan. Rekomendasi penatalaksanaan luka bakar umumnya tidak mencantumkan penggunaan antibiotik sistemik, kecuali jika diketahui ada infeksi berat atau pasien mengalami komplikasi infeksi seperti pneumonia dan bakteremia.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi peran antibiotik oral dalam mencegah infeksi pada pasien luka bakar. Meski begitu, hasil penelitian yang tersedia masih inkonklusif dan tidak ada rekomendasi yang konsisten terkait penggunaannya. Beberapa studi menunjukkan bahwa antibiotik oral dapat mengurangi angka infeksi dan mortalitas pada pasien luka bakar, sementara penelitian lain menunjukkan bahwa intervensi tersebut tidak efektif atau bahkan meningkatkan risiko harm.

Referensi