Terdapat rekomendasi penggunaan antibiotik profilaksis bagi pasien yang akan menjalani kuretase pada kasus abortus spontan. Manfaat penggunaan antibiotik profilaksis ini dipercaya untuk mencegah terjadinya komplikasi infeksi pelvis setelah tindakan.[1,2]
Kuretase mungkin perlu dilakukan pada abortus spontan yang menyisakan jaringan intrauterin. Kuretase dikenal juga sebagai aspirasi uterus, kuretase aspirasi, kuretase hisap, dilatasi dan kuretase, dilatasi dan evakuasi, atau aborsi bedah. Kuretase umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14 minggu, meskipun beberapa dokter menawarkan kuretase pada trimester kedua.[1]
Manfaat Antibiotik Profilaksis
Suatu metaanalisis melibatkan 15 uji coba acak pada wanita yang menjalani kuretase pada trimester pertama, pada tahun 2012, menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis dibandingkan dengan plasebo menghasilkan tingkat infeksi saluran genital atas yang lebih rendah (5,8% vs 9,4%, rasio risiko 0,59, 95% CI 0,46-0,75). Penelitian menggunakan berbagai regimen antibiotik yang berbeda, dan analisis tidak menemukan satu kelas antimikroba yang lebih unggul.[2,3]
Komplikasi Tindakan Kuretase
Endometritis postabortal terjadi pada 5-20% wanita yang menjalani kuretase pada trimester pertama, dan tidak mendapatkan antibiotik profilaksis. Dengan penggunaan profilaksis antibiotik, tingkat infeksi berkurang secara signifikan. Dalam serangkaian laporan kasus besar, yang melibatkan 170.000 pasien, dilaporkan bahwa 784 pasien (0,46 %) mengalami infeksi ringan, dan hanya 36 pasien (0,021%) didiagnosis sepsis.[7]
Dalam tinjauan sistematis pada tahun 2015, dari 6 studi yang memberikan profilaksis antibiotik kepada semua subjek, didapatkan <2 % yang memerlukan pengobatan rawat jalan untuk kecurigaan komplikasi infeksi setelah tindakan kuretase, maupun infeksi yang sudah didiagnosis sebelum tindakan.[7]
Selain risiko infeksi, prosedur kuretase juga akan meningkatkan kejadian perdarahan. Perdarahan dapat terjadi akibat atonia uteri, produk konsepsi yang tersisa, koagulopati, plasentasi abnormal, dan cedera uterus atau serviks. Atonia uteri adalah penyebab paling umum dari pendarahan setelah kuretase, yaitu sekitar 2% dari prosedur.[7]
Ruptur uteri berpotensi menjadi salah satu komplikasi paling serius dari tindakan kuretase. Risiko ruptur uteri dapat terjadi <1% dari prosedur kuretase pada trimester kedua. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko komplikasi ini termasuk meningkatnya usia kehamilan, kelainan serviks, multiparitas, dan tenaga kesehatan yang tidak berpengalaman. Perforasi pada trimester kedua lebih cenderung melibatkan cedera pada usus atau struktur lain daripada yang terjadi pada trimester pertama.[7]
Diberikan Antibiotik Profilaksis vs Tanpa Antibiotik Profilaksis
Hasil penelitian RCT (Randomized Controlled Trial), tahun 2019, melibatkan 3412 pasien di Malawi, Pakistan, Tanzania, dan Uganda. Sebanyak 1705 orang menerima antibiotik sebelum dilakukan tindakan kuretase, sedangkan 1707 orang menerima plasebo. Kesimpulan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis pada tindakan kuretase tidak secara signifikan menurunkan risiko infeksi panggul.[4]
Pada awal penelitian, diagnosis infeksi panggul disesuaikan dengan kriteria dari CDC dan WHO, yaitu bila ditemukan >2 tanda klinis berupa pireksia, uterus tenderness, keputihan purulen, dan leukositosis. Namun, dokter yang berpartisipasi kemudian merekomendasikan kriteria yang lebih luas untuk mendiagnosis infeksi panggul yang dirasa perlu diberikan antibiotik, sehingga infeksi panggul yang didiagnosis dengan kriteria awal yang lebih ketat diubah menjadi hasil sekunder.[4,5]
Dengan menggunakan kriteria yang lebih luas, para peneliti melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat infeksi panggul antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Sedangkan bila menggunakan kriteria awal yang lebih ketat maka temuan menyarankan manfaat pemberian profilaksis antibiotik sebelum prosedur kuretase.[4,5]
Keterbatasan kriteria diagnosis yang lebih luas adalah tidak ada definisi yang jelas tentang kondisi apa yang dianggap perlu untuk penggunaan antibiotik. Keguguran dapat dikaitkan dengan penyakit demam, sehingga petugas kesehatan yang hanya mengandalkan penilaian klinis dan dengan fasilitas diagnostik yang buruk mungkin berbuat kesalahan dalam peresepan antibiotik.[4,5]
Hal ini yang menyebabkan penelitian memberikan hasil tingkat infeksi panggul yang tidak signifikan berbeda antara kelompok yang mendapatkan antibiotik dengan yang tidak diberikan antibiotik, yaitu memiliki perbedaan relatif antara kelompok sebesar 23% (interval kepercayaan 95%). Namun, dengan kriteria diagnosis infeksi panggul yang ketat didapatkan perbedaan relatif antara kedua kelompok sebesar 40% (interval kepercayaan 95%). Selain itu, sebuah studi manajemen abortus inkomplit di rumah sakit umum di Afrika Selatan juga menyebutkan bahwa banyak dari penggunaan antibiotik yang tidak sesuai.[4,5]
Pemberian Antibiotik Profilaksis di Negara Sosial Ekonomi Rendah dan Menengah
Guidelines internasional tentang penggunaan antibiotik profilaksis untuk kuretase pada abortus tidak konsisten. Beberapa tidak merekomendasikan antibiotik dan menggambarkan kurangnya bukti efektivitas antibiotik profilaksis. Sementara, yang lain mengakui kurangnya bukti tetapi masih merekomendasikan penggunaan antibiotik profilaksis berdasarkan temuan dan indikasi klinis lain. Bagaimana dengan pemberian antibiotik profilaksis pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah?
Penelitian RCT pada tahun 2019 dilakukan di negara sosial ekonomi rendah dan menengah, yaitu di Malawi, Pakistan, Tanzania, dan Uganda. Dari penelitian multicountry, multicenter, dan double-blind tersebut didapatkan bahwa profilaksis antibiotik dengan doksisiklin dan metronidazole sebelum kuretase tidak secara signifikan menurunkan risiko infeksi panggul. Namun, hasil tersebut bila infeksi panggul didefinisikan dengan kriteria luas, sedangkan ketika infeksi panggul didefinisikan oleh kriteria yang ketat pragmatis maka hasil menunjukkan kemungkinan manfaat antibiotik profilaksis.[4]
Penelitian ini juga memberi gambaran bahwa tidak ada interaksi yang signifikan antara manfaat antibiotik profilaksis dengan usia ibu, usia kehamilan saat kuretase, adanya infeksi HIV, jenis keguguran, waktu antara ditegakkannya diagnosa dan dimulainya operasi, negara, atau tinggal di perkotaan atau pedesaan. Satu-satunya interaksi yang signifikan adalah jenis operasi, di mana efek antibiotik profilaksis lebih besar pada pasien yang menjalani aspirasi vakum manual dibandingkan dengan yang menjalani kuretase tajam (P=0,02 untuk interaksi).[4]
Perlu dipahami bahwa angka kuretase untuk abortus inkomplit cukup tinggi di negara-negara tersebut. Terkait masih rendahnya pendekatan manajemen nonbedah, insiden infeksi yang lebih tinggi setelah operasi, dan kurangnya akses ke fasilitas kesehatan untuk perawatan pada wanita yang mengalami komplikasi, maka diperlukan bukti berkualitas tinggi untuk pemberian resep antibiotik rasional. Penggunaan antibiotik yang rasional penting untuk mencegah peningkatan angka resistensi obat.[4]
Kesimpulan
Hasil RCT yang melibatkan sekitar 3.500 subjek di negara-negara berkembang memberikan hasil bahwa pemberian antibiotik profilaksis sebelum tindakan kuretase tidak secara signifikan mengurangi risiko infeksi panggul. Namun, dalam praktik klinis dapat tetap diberikan antibiotik profilaksis mengingat risiko yang terkait dengan infeksi pelvis di negara dengan sosial ekonomi rendah dan menengah. Perlu data lebih lanjut untuk mendukung peresepan antibiotik profilaksis dengan memantau kemungkinan kejadian resistensi antibiotik.[4]
Pemberian antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk mencegah endometritis pasca aborsi untuk pasien yang menjalani prosedur kuretase. Endometritis postabortal terjadi pada 5−20% wanita yang menjalani kuretase pada trimester pertama. Antibiotik profilaksis terutama diberikan pada pasien dengan risiko tinggi seperti pasien dengan riwayat pelvic inflammatory disease (PID) sebelumnya, kultur klamidia positif, bakterial vaginosis, dan wanita hamil dengan usia kehamilan tidak lebih dari 15 minggu.
The Society of Family Planning dan American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) keduanya menyarankan pemberian doksisiklin sebelum tindakan kuretase. Pilihan antibiotik alternatif lainnya adalah metronidazole dan azitromisin. Diperlukan studi lebih lanjut yang dapat memberikan hasil yang lebih signifikan mengenai apakah antibiotik profilaksis perlu diberikan pada semua tindakan kuretase.