Dalam praktik klinis maupun konsultasi via telemedicine, beberapa dokter mungkin menghadapi pasien yang meminta aborsi karena kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
Beberapa alasan pasien ingin meminta aborsi antara lain seperti hamil di luar nikah, masalah dengan pasangan, masalah ekonomi, sudah memiliki banyak anak, khawatir janin telah terpapar substansi teratogenik, korban perkosaan, kegagalan kontrasepsi, ingin konsentrasi pada pendidikan atau pekerjaan, dan sebagainya. Aturan normatif legal formal secara umum melarang tindakan aborsi dengan memberikan ruang darurat untuk kasus-kasus tertentu.[1,2]
Mengingat aspek legalitas abortus provokatus di Indonesia serta besarnya resiko kesehatan dan keselamatan pada wanita yang melakukan aborsi terutama unsafe abortion (menggugurkan kandungan sendiri atau dibantu dukun beranak), tentunya dokter memiliki peranan penting untuk dapat edukasi pasien yang meminta aborsi. Menurut data dari World Health Organization (WHO), jumlah unsafe abortion pada tahun 2008 adalah sekitar 21 sampai 22 juta di seluruh dunia. Masih dari data di tahun yang sama, mortalitas akibat unsafe abortion diperkirakan sekitar 47.000 kematian ibu (yang merupakan 13% dari kematian total ibu di tahun 2008).[1,3]
Dokter harus dapat memberikan konseling yang memadai pada pasien yang meminta aborsi, tanpa berusaha menggurui atau menghakimi. Tanggung jawab seorang dokter sebagai tenaga medis profesional adalah memberikan informasi yang meluruskan terkait keamanan dari tindakan aborsi tanpa indikasi kesehatan ibu, legalitas aborsi di Indonesia, serta menasehati pasien untuk tetap mempertahankan kehamilannya sembari memberi informasi seputar antenatal care yang memadai.[2,4]
Oleh karena itu, akan sangat dibutuhkan kemampuan komunikasi yang efektif agar membuat pasien merasa nyaman dan didengarkan sehingga bisa membuat pasien mengurungkan niatnya untuk melakukan aborsi yang tidak aman.[2,4]
Sekilas Mengenai Aborsi
Aborsi merupakan suatu ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan dengan usia kehamilan kurang dari 20 minggu dan berat badan janin kurang dari 500 mg. Aborsi yang dilakukan secara sengaja disebut juga aborsi induksi atau abortus provokatus. Data statistik di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah menunjukkan 95% pasien yang datang konseling adalah untuk konsultasi soal aborsi. Maka, dokter harus mempersiapkan diri untuk berdiskusi dan mengedukasi pasien yang menanyakan perihal abortus.[4,5]
Legalitas Aborsi di Indonesia
Menurut hukum di Indonesia abortus provokatus dapat dibedakan menjadi dua kondisi yaitu abortus provokatus terapeutik yang tidak mengandung sifat kriminal dan abortus provokatus kriminalis yang memiliki sifat kriminal. Abortus provokatus terapeutik biasanya diindikasikan pada kondisi medis yang berbahaya untuk kesehatan dan keselamatan ibu, sementara abortus provokatus kriminalis dilakukan bukan atas indikasi kesehatan tapi atas permintaan pasien atau keluarga.[6]
Pengaturan aborsi terkait hal pelaksanaan pengguguran tanpa indikasi medis untuk kesehatan ibu dalam sistem hukum pidana di Indonesia diatur dalam Pasal 299, Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348 dan Pasal 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[7]
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Abortus provocatus criminalis terdapat dalam Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ialah seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.[6,7]
Sanksi pidana terhadap wanita yang menggugurkan kandungannya tercantum pada Pasal 347 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
Pasal 347
- Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
- Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.[7]
Sanksi bagi pelaku pengguguran kandungan seorang wanita dengan persetujuan wanita yang bersangkutan tercantum pada Pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
Pasal 348
- Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
- Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.[7]
Sementara itu, ketentuan pada Pasal 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ialah, Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.[7]
Selain di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana juga telah diundangkannya dalam Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang juga mengatur tindak pidana aborsi yang terdapat dalam Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.[8]
Kondisi yang Membolehkan Tindakan Aborsi
Aturan normatif legal formal secara umum melarang tindakan aborsi dengan memberikan ruang darurat untuk kasus-kasus tertentu. Syarat dan ketentuan yang lebih jelas tentang pelaksanaan aborsi yang diizinkan termuat dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan:
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
- sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
- oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
- dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
- dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
- penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.[6,8]
Edukasi Pasien yang Meminta dan Menginginkan Aborsi
Abortus provokatus bukan solusi yang tepat dari kehamilan yang tidak diinginkan, mengingat janin yang dikandung mempunyai hak untuk hidup sesuai dengan hukum di Republik Indonesia, apalagi jika tidak terdapat indikasi kedaruratan medis yang memang dapat membahayakan ibu. Jalan keluar terbaik adalah dengan memberikan konseling secara khusus dari konselor, dokter umum atau dokter kandungan, maupun dokter psikiatri jika memang dibutuhkan.[1,6]
Pedoman dari National Abortion Federation terkait Permintaan Aborsi
Berdasarkan pedoman klinis dari National Abortion Federation Amerika Serikat pada tahun 2020, pasien yang meminta aborsi harus mendapatkan layanan konseling yang memadai tanpa ada kesan menghakimi atau menggurui.
Beberapa tahap konseling antara lain sebagai berikut:
- Lakukan anamnesis yang memadai untuk memastikan riwayat seksual, riwayat kehamilan, riwayat penggunaan kontrasepsi, ada tidaknya percobaan abortus provokatus yang dilakukan sendiri maupun tenaga kesehatan, dan lainnya.
- Pada fase ini dokter mencoba menggali perasaan pasien dan memastikan pasien merasa nyaman agar berani lebih terbuka akan apa yang dialami sebenarnya, selama fase mendengarkan ini diharapkan dokter tidak menginterupsi pasien, sampai pasien selesai bicara. Dokter diharapkan dapat menunjukkan empati pada pasien.
- Setelah itu, dokter memberikan opsi untuk pasien tetap melanjutkan kehamilannya, nantinya setelah melahirkan, pasien bisa memilih untuk tetap merawat bayinya atau memberikan bayinya untuk diadopsi.
- Jika pasien bersikeras untuk melakukan aborsi, diskusikan kembali dengan pasien terkait resiko kesehatan yang dapat terjadi dari abortus provokatus serta prosedur detail yang harus dijalani pasien.[4,9]
Meski demikian, pedoman ini masih tidak dapat diterapkan di Indonesia sepenuhnya karena pedoman ini dikembangkan di negara di mana aborsi provokatif merupakan pilihan yang legal dan aman.[4,9]
Mengedukasi Pasien yang Meminta Aborsi di Indonesia
Tujuan edukasi pasien yang meminta aborsi adalah menyarankan pasien untuk menerima kehamilannya dengan sukarela serta memberikan opsi untuk merawat sendiri bayinya setelah lahir atau menyerahkan bayinya pada orang terpercaya untuk diadopsi.
Beberapa poin yang harus disampaikan oleh dokter adalah:
- Ketahui keadaan pasien sebelumnya.
- Jelaskan terkait dampak dan risiko kesehatan yang bisa terjadi dari abortus provokatus.
- Berikan informasi terkait legalitas dari abortus provokatus di Indonesia.
- Berikan informasi yang tepat, lengkap, dan baik kepada pasien terutama keluarga. Berikan kesempatan pasien atau keluarga untuk bertanya.[1,4]
Pada tahap awal konseling dokter bisa menggali alasan pasien untuk meminta aborsi.
Beberapa pertanyaan yang dapat ditanyakan pada pasien seperti:
- Saya ingin memastikan bahwa Anda memahami pilihan apa saja yang bisa Anda ambil setelah sesi diskusi ini berakhir, jadi jangan ragu untuk bercerita pada Saya ya Bu.
- Bagaimana perasaan Ibu saat mengetahui Anda hamil?
- Apa orang di sekitar Anda tahu? Kalau iya, bagaimana reaksi dan tanggapan dari orang-orang terdekat Anda?
- Apa yang sudah ibu ketahui terkait aborsi?
- Apa sudah ada tindakan yang ibu lakukan untuk mengakhiri kehamilan?
- Apa ibu mengerti legalitas aborsi di Indonesia?
- Apa ibu terpikir untuk menyerahkan bayi Anda nantinya untuk diasuh orang lain atau diadopsi?[1,4]
Dokter Memberikan Respons Positif:
Dokter selanjutnya dapat memberi respon positif dengan mengatakan bahwa dokter memahami situasi yang dialami pasien adalah hal yang berat dan rumit, namun tetap menjelaskan bahwa abortus provokatus tanpa indikasi yang legal bukanlah suatu penyelesaian masalah yang baik. Jelaskan pada pasien dampak dan risiko kesehatan yang dapat terjadi dari tindakan abortus provokatus apalagi yang dilakukan secara tidak aman. Berikan dukungan sosial untuk pasien agar dapat bangkit kembali untuk dapat menjalani kehidupan secara normal dan tetap melanjutkan kehamilannya hingga dilahirkan.[1,2]
Konseling pada pasien yang meminta aborsi di Indonesia juga harus diberikan informasi mengenai aspek legalitas dari abortus provokatus, kapan abortus provokatus dibolehkan, dan kapan abortus provokatus dianggap sebagai suatu tindak kriminal.[6,7]
Memberikan Dukungan Pada Pasien Untuk Menpertahankan Kehamilan:
Jika pasien berkehendak, pasien dapat didukung untuk tetap menjaga kehamilannya bahkan tetap merawat bayinya setelah dilahirkan dengan dukungan dari orang-orang terdekat. Tetapi, jika si pasien tidak menginginkan anaknya tersebut, maka nanti bayi dapat segera dijauhkan dari pasien setelah dilahirkan, seperti diberikan ke anggota keluarga yang menginginkan ataupun diserahkan untuk diadopsi secara legal. Jika memungkinkan anjurkan juga pasien untuk berkonsultasi dengan pemuka agama setempat.[1,2]
Dokter juga dapat menanyakan apakah pasien memiliki orang-orang di sekitarnya yang dapat mendukung pasien dalam situasi yang sulit saat ini. Tanyakan juga pada pasien apakah pasien mengalami kekerasan fisik dari anggota keluarga terdekatnya. Anjurkan sesi konseling berikutnya dengan membawa serta keluarga atau kerabat yang dipercaya untuk menjadi support system. Jika terdapat tanda-tanda gangguan psikologis atau bila pasien adalah korban perkosaan, jangan ragu untuk merujuk pasien untuk berkonsultasi langsung dengan dokter psikiater.[1,10]
Edukasi Mengenai Pelayanan Antenatal:
Pada fase konseling ini dokter sebaiknya juga memberikan informasi yang memadai terkait pelayanan antenatal yang meliputi nutrisi yang baik selama kehamilan, pemeriksaan kondisi ibu dan janin, cara mencegah penyakit atau komplikasi selama kehamilan, konseling pada masalah psikologis tertentu, hingga persiapan persalinan.[1,11]
Konseling Khusus Pascapersalinan:
Pasca persalinan, pasien sebaiknya tetap diberikan terapi dan konseling khusus kalau memang pasien mengalami trauma secara psikis dan mau menerima kembali anaknya untuk dirawat sendiri.[1,2]
Setiap sebelum sesi konseling berakhir, sebaiknya dokter memberikan kesempatan pada pasien untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas ataupun mungkin ada hal lain yang ingin disampaikan pasien. Setelah itu, dokter menutup sesi konsultasi dengan memberikan kesimpulan dari konseling yang telah dilakukan serta menganjurkan konseling lanjutan secara berkala atau merujuk ke dokter ahli jika dibutuhkan.[11,12]
Kesimpulan
Aturan normatif legal formal di Indonesia secara umum melarang tindakan aborsi dengan memberikan ruang darurat untuk kasus-kasus tertentu, hal ini membuat beberapa wanita memilih abortus provokatus illegal atau unsafe abortion untuk mengatasi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Tingginya mortalitas ibu akibat unsafe abortion turut meningkatkan angka kematian ibu (AKI). Tentunya karena hal itu, dokter memiliki peranan penting dalam mengedukasi pasien dengan KTD yang meminta aborsi.
Dokter diharapkan mampu memberikan konseling yang memadai dengan teknik komunikasi yang efektif pada pasien yang meminta aborsi, tanpa berusaha menggurui atau menghakimi. Tanggung jawab seorang dokter sebagai tenaga medis profesional adalah memberikan informasi yang meluruskan terkait keamanan dari tindakan aborsi tanpa indikasi kesehatan ibu, legalitas aborsi di Indonesia, serta menasihati pasien untuk tetap mempertahankan kehamilannya sembari memberi informasi seputar antenatal care yang memadai. Anjurkan pasien untuk mencari support system yang akan mendukung di masa berat sehingga mengurungkan niatnya untuk meminta aborsi. Rujukan ke dokter ahli seperti psikiater dapat dilakukan jika terdapat gejala gangguan psikologis.