Resistensi antibiotik pada obat mata topikal tidak dapat dipungkiri, termasuk dalam masalah resistensi bakteri yang menjadi momok bagi penyakit infeksi. Adanya resistensi antibiotik di antara patogen pada mata akan mempersulit pemilihan antibiotik, apalagi antibiotik mata masih terbatas jenisnya sehingga berpotensi menyebabkan kegagalan terapi.
Infeksi mata dan komplikasinya menjadi masalah kesehatan yang cukup serius, karena dapat mengakibatkan kebutaan. Lebih dari 70% infeksi mata bakterial disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, dan Moraxella sp. Selain itu, infeksi mata juga dapat disebabkan oleh jamur, yaitu Candida albicans, Aspergillus sp, dan Fusarium sp.[1-4]
Bakteri Penyebab Infeksi pada Mata
Sebenarnya, bakteri yang banyak dan sering menyebabkan penyakit mata bervariasi, tergantung pada lokasi geografis, iklim, usia, jenis kelamin, akses pada pelayanan fasilitas kesehatan, dan kebiasaan kultur. Contohnya, S.aureus adalah bakteri terbanyak penyebab konjungtivitis pada dewasa, sedangkan pada anak-anak adalah H. influenza dan S. pneumonia. Bakteri P. aeruginosa menjadi penyebab keratitis terbanyak pada pengguna lensa kontak.[1-4]
Konjungtivitis bakteri biasanya self-limiting, tetapi penggunaan antibiotik topikal dapat mempercepat kesembuhan dan mengurangi rasa tidak nyaman dan morbiditas. Oleh karena itu, penggunaan antibiotik pada kasus konjungtivitis bakteri dapat mengurangi beban sosial dan pelayanan kesehatan.
Akan tetapi, antibiotik juga sering diberikan infeksi konjungtivitis virus atau konjungtivitis bakteri ringan, yang sebetulnya tidak diperlukan. Hal ini dapat menyebabkan terbentuknya resistensi antibiotik di antara patogen okular, yang jumlahnya semakin meningkat beberapa dekade terakhir ini.[1,5-7]
Penggunaan Antibiotik Topikal Mata di Layanan Kesehatan
Tata laksana penyakit mata umumnya menggunakan obat-obatan topikal, khususnya pada penyakit yang melibatkan segmen anterior mata (kornea, konjungtiva, sklera, dan uvea anterior). Penggunaan antibiotik topikal untuk infeksi mata bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi obat pada mata, karena pemberian secara sistemik terhambat oleh adanya blood-retinal barrier.[3,8]
Namun, terdapat beberapa laporan mengenai kegagalan terapi atau kurang optimalnya penggunaan generasi terbaru dari fluorokuinolon topikal, meskipun konsentrasi obat tersebut cukup tinggi di jaringan mata. Hal ini mengindikasikan kemungkinan sudah terbentuk resistensi antibiotik topikal mata.[3,8]
Walaupun demikian, belum diketahui prevalensi resistensi antibiotik dan kaitannya dengan kegagalan klinis. Standar pelayanan yang berlaku di setiap negara saat ini adalah pemberian antibiotik secara empirik terlebih dahulu, yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian antibiotik sesuai hasil kultur. Akan tetapi, sebagian besar kultur hanya direkomendasikan untuk kasus infeksi berat, kronik, rekuren, ataupun kasus yang tidak responsif terhadap terapi yang ada.[3,5-7]
Penggunaan Antibiotik Tidak Tepat akan Meningkatkan Resistensi Antibiotik
Diketahui bahwa penggunaan antibiotik sistemik yang berlebihan (overuse) merupakan faktor utama penyebab resistensi antibiotik. Untuk obat antibiotik tetes mata, faktor penyebab resistensi adalah penggunaan yang tidak sesuai indikasi (misalnya pada kasus infeksi virus, alergi, polusi udara), pemberian dosis yang tidak tepat, dan penggunaan berulang.
Selain itu, kondisi globalisasi dan migrasi mempercepat penyebaran penyakit. Penggunaan antibiotik profilaksis sebelum operasi mata, seperti operasi katarak juga meningkatkan penggunaan antibiotik.[4,6]
Suatu studi surveilans (2009) memonitor resistensi antibiotik terhadap bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi mata, yaitu: Staphylococcus. sp, Streptococcus. sp, P. aeruginosa, dan H.influenza. Studi tersebut melaporkan tingginya angka resistensi antibiotik terutama di antara spesies Staphylococcus sp.[1]
Penelitian Isolat Bakteri dengan Resistensi Antibiotik Topikal Mata
Asbell et al (2018) melakukan studi longitudinal cross-sectional di Amerika Serikat, yang merupakan bagian dari studi Antibiotic Resistance Monitoring in Ocular Microorganisms (ARMOR). Studi ini menilai 6.091 isolat bakteri dari 6.091 pasien infeksi mata. Sebanyak 34,9% S.aureus dan 49,3% Coagulase Negative Staphylococcus (CoNS) merupakan methicillin-resistant S. aureus (MRSA), dan memiliki kecenderungan resisten terhadap azithromycin, ciprofloxacin, dan tobramycin.
Sebanyak 32,2% S.aureus memiliki resistensi terhadap ciprofloxacin, dan sekitar 58,6% S.aureus memiliki resistensi terhadap azithromycin. Sebaliknya, S.aureus hanya memiliki resistensi < 1% terhadap chloramphenicol dan masih 100% susceptible terhadap besifloxacin dan vancomycin.
Sebanyak 36,3% S. pneumonia memiliki resistensi terhadap azithromycin, dan 32,2% memiliki resistensi terhadap penicillin. Sedangkan P.aeruginosa dan H.influenza memiliki tingkat resistensi yang rendah (<10%) pada semua antibiotik yang diujikan (fluoroquinolone, polymyxin, tobramycin, azithromycin, tetracycline).[5,6]
Sementara itu, Lee et al (2019) melakukan penelitian retrospektif multisenter di London, Inggris, yang menggunakan melibatkan pelayanan primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian ini mendapatkan 2.681 kuman patogen dari 2.168 pasien infeksi mata. Kuman patogen terbanyak pada dewasa adalah Staphylococcus sp. terutama pada pelayanan primer, dan Pseudomonas sp. menjadi patogen kedua terbanyak yang ditemukan di pelayanan tersier.
Sementara itu, kuman patogen terbanyak pada anak adalah Haemophilus sp. dan patogen kedua tersering adalah Staphylococcus sp. Di Inggris, musim juga mempengaruhi variasi patogen. Musim semi memiliki jumlah patogen terbanyak Haemophilus sp. pada pasien anak dan dewasa.[7]
Berbeda dengan studi ARMOR, Lee et al menemukan resistensi antibiotik chloramphenicol sebanyak 33,8%, moxifloxacin sebesar 25,5%, dan asam fusidat sebanyak 58,7% pada pelayanan tersier. Hal ini memberikan implikasi pada pelayanan kesehatan mata di Inggris, di mana saat itu chloramphenicol dan asam fusidat menjadi agen lini pertama untuk kasus konjungtivitis bakteri.[6,7]
Meta analisis terbaru (2023) mengulas bakteri patogen mata yang umum, mekanisme resistensi, dan tingkat resistensi obat topikal chloramphenicol. Meta analisis ini meninjau 44 studi yang dipublikasikan pada tahun 2000‒2022. Mayoritas publikasi berasal dari negara-negara maju. Kesimpulan menyatakan antibiotik topikal chloramphenicol masih cocok sebagai antibiotik topikal untuk infeksi mata. Namun, perlu studi lebih lanjut karena adanya bukti tingginya tingkat resistensi obat.[10]
Resistensi Bakteri Lebih Tinggi Ditemukan pada Pasien Lansia
Thomas et al (2016) melakukan studi longitudinal, dan menyatakan bahwa resistensi antibiotik terdapat lebih banyak pada pasien lansia daripada usia muda. Sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa angka resistensi antibiotik yang tinggi didapatkan pada isolat MRSA yang diperoleh dari pasien lansia.
Kondisi ini diperkirakan akibat pasien lansia yang lebih sering berkunjung ke rumah sakit, sehingga pasien lebih berisiko terpapar bakteri multiresisten. Oleh karena itu, pasien lansia dengan infeksi mata dapat diberikan antibiotik yang susceptible berdasarkan data surveilans rumah sakit setempat. [4,6]
Resistensi Antibiotik Dipengaruhi Letak Geografis dan Populasi Pasien
Miller et al (2017) menyampaikan bahwa monoterapi dengan fluorokuinolon memiliki cakupan <80% untuk bakteri gram positif. Sementara, terapi kombinasi fluorokuinolon dan vancomycin dapat meningkatkan cakupan hingga 99,1%, dan terapi kombinasi fluorokuinolon dan gentamicin mencakup hingga 98,3%.[3]
Diungkapkan juga, data resistensi antibiotik bervariasi berdasarkan letak geografis dan populasi pasien. Oleh karena itu, resistensi antibiotik dapat berbeda di setiap negara, bahkan di satu negara sekalipun. Khususnya bagi negara besar, seperti Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, pasti memiliki pola resistensi kuman yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.[3]
Untuk mengurangi resistensi antibiotik, profil resistensi yang berasal dari data surveilans dapat membantu mengarahkan terapi antibiotik, bila belum ada data kultur dan sensitivitas terhadap suatu antibiotik. Namun, sangat diperlukan data surveilans yang memadai sehingga terapi empiris menggunakan antibiotik dapat tepat sasaran.[1,3,7,9]
Kesimpulan
Saat ini, antibiotik chloramphenicol tetes mata merupakan antibiotik spektrum luas yang banyak digunakan untuk mengobati infeksi mata. Namun, telah banyak studi yang melaporkan kasus resistensi bakteri penyebab infeksi mata yang resistensi terhadap obat ini. Hal ini menimbulkan kekhawatiran kegagalan terapi infeksi pada mata, dan peningkatan risiko komplikasi bahkan kebutaan.
Oleh karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk mengurangi kasus resistensi antibiotik topikal. Upaya dimaksud termasuk penggunaan antibiotik topikal sesuai indikasi, di mana antibiotik tidak diberikan untuk penyakit mata yang disebabkan oleh virus, alergi, ataupun polusi udara. Selain itu, pemberian dosis harus tepat dan tidak digunakan berulang tanpa pengawasan dokter.
Pemilihan antibiotik pada terapi empiris sebaiknya disesuaikan dengan data surveilans setempat, berdasarkan pengumpulan data kultur dan uji resistensi setempat.