Kortikosteroid dalam penatalaksanaan sepsis, hanya digunakan pada syok sepsis yang refrakter katekolamin atau dengan insufisiensi adrenal. Banyak studi yang bersifat pro dan kontra mengenai penggunaan kortikosteroid sebagai terapi adjuvan untuk memperbaiki morbiditas dan mortalitas pasien sepsis.
Keuntungan penggunaan kortikosteroid pada sepsis adalah ditemukannya penurunan mortalitas, durasi rawat di intensive care unit (ICU), serta durasi on ventilator. Akan tetapi, efek negatif yang ditimbulkan seperti hiperglikemia, hipernatremia, delirium, retensi cairan, dan risiko infeksi sekunder belum dapat dihindari dan dapat mempengaruhi outcome tata laksana sepsis.[1,8]
Kebutuhan Kortikosteroid pada Keadaan Sepsis
Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam nyawa, karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Sedangkan syok sepsis adalah sepsis dengan gangguan sirkulasi dan disfungsi tingkat seluler atau metabolik. Adanya disregulasi sistem imun pada pasien sepsis ini membuat terapi dengan imunomodulator, seperti kortikosteroid disarankan.[1,2,9]
Pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis diharapkan dapat menghambat aktivasi nuclear factor kappa B (NF-kB) yang menyebabkan pelepasan faktor proinflamasi tubuh, sehingga respons inflamasi membaik. Selain itu, pada tingkat seluler, terdapat reseptor kompleks glucocorticoid-glucocorticoid alpha (G-GRα) yang aktivasinya dapat menghambat reaksi inflamasi. Pada saat sepsis, terjadi aktivasi berlebihan NF-kB yang relatif terhadap G-GRα.
Pemberian kortikosteroid sistemik ini diharapkan dapat memperbaiki respons inflamasi dengan berikatan pada G-GRα, sehingga mempercepat perbaikan klinis, seperti shock reversal, mengurangi durasi rawat inap, durasi pemakaian vasopressor dan ventilator, serta mortalitas.
Walaupun demikian, efikasi dan keamanan pemberian kortikosteroid pada kasus sepsis masih diperdebatkan. Selain itu, parameter pengukur keberhasilan terapi pada pemberian kortikosteroid sampai sekarang belum diketahui.[1–4,9,10]
Studi Penggunaan Kortikosteroid pada Pasien Sepsis
Berdasarkan studi meta-analisis dan systematic review yang ada, pemberian kortikosteroid sedikit berhubungan dengan berkurangnya kejadian mortalitas, lama rawat inap di rumah sakit dan ICU, serta mungkin berhubungan dengan kejadian shock reversal.[3]
Penurunan Mortalitas
Peran kortikosteroid dalam penurunan kejadian mortalitas pada berbagai studi bervariatif, sebagian studi tidak menemukan adanya hubungan dengan hal ini, tetapi studi lain menemukan sedikit hubungan dengan penurunan mortalitas.[2,3,9]
Mortalitas Saat Perawatan di Rumah Sakit:
Pemberian kortikosteroid pada pasien dengan sepsis ditemukan pada beberapa studi sedikit berhubungan dengan penurunan mortalitas. Studi systematic review dan meta-analisis dilakukan Rochwerg et al. pada 42 randomized controlled trial (RCT) dengan melibatkan 10.194 responden yang sepsis dan syok sepsis.
Pada studi, didapatkan bahwa kortikosteroid mungkin berhubungan atau tidak berhubungan dengan penurunan mortalitas pada 28–30 hari dengan relative risk (RR) 0.93 (95% IK, 0.84–1.03) bila dibandingkan dengan yang tidak mendapat kortikosteroid.[3]
Hasil studi yang hampir sama ditemukan pada systematic review dan meta-analisis Liang et al. dengan melakukan pada 50 RCT yang melibatkan 12.304 responden dengan sepsis, sepsis berat, dan syok sepsis. Pada studi ini, pemberian kortikosteroid ditemukan sedikit berhubungan dengan penurunan mortalitas saat perawatan di rumah sakit (RR, 0.90; 95% IK 0.82–0.99; evidence rank, moderate) maupun ICU (RR, 0.90; 95% CI, 0.83–0.97; evidence rank, high).[9]
Kemudian, studi hampir sama dilakukan oleh Gibbison et al. melibatkan 23 studi analisis Cochrane review, menemukan bahwa pemberian kortikosteroid hanya memberikan sedikit efek terhadap penurunan risiko mortalitas secara keseluruhan.[2]
Mortalitas Setelah Pasien Dipulangkan:
Belum ada bukti yang kuat mengenai pemberian kortikosteroid terhadap kejadian mortalitas setelah dipulangkan dari ICU. Berdasarkan studi oleh Rochwerg et al., pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis mungkin berhubungan dengan absolute reduction untuk mortalitas pada pemberian kortikosteroid sangat kecil, yaitu 2%.[3]
Studi yang dilakukan oleh Liang et al. tidak ditemukan pada angka mortalitas setelah 28 hari (RR, 0.94; 95% CI, 0.87–1.02; evidence rank, moderate). Namun, bila dibandingkan dengan plasebo, angka kematian keseluruhan dengan pemberian kortikosteroid lebih rendah.[9]
Mortalitas dengan Jenis Kortikosteroid:
Studi yang sama oleh Liang et al. menemukan bahwa untuk jenis kortikosteroid, pemberian hidrokortison dan fludrokortison, ditemukan penurunan mortalitas jangka pendek yang signifikan pada pasien sepsis, syok sepsis, dan community acquired pneumonia (CAP). Selain itu, banyak studi lain yang belum menemukan perbedaaan mortalitas antara berbagai jenis kortikosteroid.[3,9]
Namun, terdapat studi yang menjelaskan bahwa pada penelitian dengan arteri tikus, dimana kombinasi hidrokortison dan fludrokortison secara dose dependent meningkatkan fenilefrin, yang pada konsentrasi tertentu menyebabkan vasokonstriksi arteri mesenterika tikus yang sepsis.[9,15]
Studi yang dilakukan oleh Gibbison et al. juga belum bisa menentukan superioritas dari segi mortalitas dan lama rawat inap antar berbagai regimen kortikosteroid, seperti dexamethasone, metilprednisolon, dan hidrokortison. Hal ini mungkin karena studi ini mengambil data sejak 50 tahun yang lalu, sehingga sudah terjadi perubahan rekomendasi pengobatan dari waktu ke waktu.[2]
Mortalitas dengan Dosis Kortikosteroid:
Studi systematic review dan meta-analisis dilakukan oleh Yao et al. dengan 16 studi meta-analisis mengenai perbandingan pemberian kortikosteroid dosis rendah dan tinggi, dengan terapi suportif dan antibiotik, serta plasebo.
Pada studi ini didapatkan bahwa pemberian kortikosteroid dosis rendah dalam jangka waktu yang panjang pada pasien sepsis dan syok sepsis berhubungan dengan penurunan mortalitas setelah 28 hari serta mortalitas di ICU dan ruang rawat inap. Akan tetapi, tidak ada bukti efeknya pada long-term mortality, yaitu hari ke–90.[17]
Penurunan Durasi Rawat Inap
Beberapa studi menunjukkan sedikit penurunan durasi rawat inap pada pemberian kortikosteroid. Pada studi oleh Rochwerg et al., dibandingkan kelompok yang tidak mendapat kortikosteroid, mereka yang mendapat kortikosteroid sedikit mengalami penurunan durasi rawat inap ICU dengan mean difference (MD) –0.73 (95% IK –1.78 sampai 0.31) dalam hari. Begitu pula dengan mereka yang dirawat inap di ruang biasa dengan MD –0.73 (95% IK, –2.06 sampai 0.6) dalam hari.[3]
Pada studi yang dilakukan oleh Liang et al., pemberian kortikosteroid ditemukan sedikit mengurangi lama rawat ruang biasa di rumah sakit dengan MD −1.38 (95% IK −2.28 sampai −0.49; I2=5%; evidence rank, high) dalam hari, tetapi tidak pada durasi rawat ICU dengan MD −1.38 (95% CI −2.28 sampai −0.49; I2=5%; evidence rank, high) dalam hari.[9]
Durasi Rawat Inap dengan Jenis Kortikosteroid:
Penurunan durasi rawat inap ditemukan pada mereka yang mendapatkan hidrokortison dengan atau tanpa fludrocortisone selama >2 hari pada dosis rendah. Dosis yang dimaksud adalah <400 mg per hari dosis hidrokortison atau ekuivalennya. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima kortikosteroid, penurunan durasi rawat hanya <1 hari.[3]
Akan tetapi, pada studi yang dilakukan oleh Gibbison et al. belum ada bukti yang adekuat untuk menunjukkan salah satu agen kortikosteroid superior dari yang lain untuk menurunkan durasi rawat inap. Akan tetapi, pemberian hidrokortison secara continuous infusion mungkin berhubungan dengan penurunan durasi rawat inap bila dibandingkan dengan plasebo. Namun, hal ini hanya ditemukan pada sebuah studi dengan MD 7 hari (95% CI 2.35 sampai 11.7 hari).[2]
Kejadian Penurunan Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)
Peningkatan kejadian shock reversal disertai perbaikan klinis dan penurunan jumlah skor sequential organ failure assessment (SOFA) ditemukan sedikit berhubungan dengan pemberian kortikosteroid.
Pada studi Rochwerg et al. pemberian kortikosteroid mungkin berhubungan dengan peningkatan kejadian shock reversal dengan relative risk (RR) 1.26 (95% IK, 1.12–1.42) dan penurunan skor SOFA dengan MD –1.39 (95% IK, –1.88 sampai –0.89) pada hari ke 7.[3]
Akan tetapi, pada studi yang dilakukan oleh Liang et al. bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mendapat kortikosteroid, pemberian kortikosteroid ditemukan sedikit berhubungan dengan penurunan skor SOFA pada hari ke 7 perawatan dengan MD −0.90 (95% IK, −1.72 to −0.09; I2=93%; evidence rank, low). Kemudian, kortikosteroid juga berhubungan dengan peningkatan durasi bebas vasopresor, durasi bebas on ventilator, serta shock reversal pada hari ke 7 dan 28.[9]
Manfaat Pemberian Kortikosteroid pada Anak
Studi systematic review and meta-analisis yang dilakukan oleh Yang J et al. pada 12 studi yang melibatkan total 701 anak, belum bisa menyimpulkan benefit dalam bentuk penurunan angka mortalitas pada penggunaan kortikosteroid. Akan tetapi, bila dosis ditingkatkan dari dosis yang rendah, mortalitas mungkin menurun. Namun, bila dari dosis yang sudah tinggi kemudian ditingkatkan kembali, mortalitas menjadi meningkat.[16]
Efek Samping Pemberian Kortikosteroid
Efek samping yang sering ditemukan pada pemberian kortikosteroid berhubungan dengan risiko hiperglikemia, hipernatremia, dan kelemahan neuromuskular. Adanya efek hiperglikemia terjadi karena peningkatan glukoneogenesis dan peningkatan uptake glukosa, sedangkan hipernatremia karena retensi natrium dan peningkatan ekskresi urin. Sedangkan, kelemahan neuromuskular terjadi akibat efek katabolik dan antianabolik kortikosteroid.[2,3,9,12–14]
Kejadian superinfeksi ditemukan pada studi yang dilakukan oleh Gibbison et al. pada pemberian dexamethasone dibandingkan dengan plasebo dengan odds ratio (OR) 2.78 (95% IK 0.73–10.6). Hal ini mungkin karena efek imunosupresi dari pemberian dexamethasone. Akan tetapi, beberapa studi tidak menemukan hal ini. Kemungkinan adanya pengambilan data 50 tahun ke belakang menjadi salah satu alasan ditemukannya hal ini, karena adanya tren penggunaan kortikosteroid dosis tinggi untuk sepsis sekitar tahun 1980.[2,3,9]
Selain itu, superinfeksi juga ditemukan oleh studi yang dilakukan oleh Yao et al. Salah satu hal yang dapat menjelaskan ini mungkin berhubungan dengan adanya penggunaan kortikosteroid dosis tinggi atau dosis rendah, tetapi pada jangka waktu lama. Pendarahan gastroduodenal juga ditemukan pada studi ini, tetapi tidak signifikan secara statistik, baik dalam dosis maupun durasi.[17]
Efek Samping Pemberian Kortikosteroid pada Anak
Efek samping pemberian kortikosteroid pada anak yang banyak terjadi adalah hiperglikemia, kelemahan neuromuskular, dan hospital acquired pneumonia. Efek samping ini dikhawatirkan akan memperburuk klinis anak dengan sepsis. Bukti studi mengenai benefit seperti penurunan kejadian mortalitas dan resolusi dari syok yang lebih dari harm belum banyak dilaporkan, sehingga penggunaannya pada anak sangat diminimalisir pada keadaan tertentu.[6]
Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid pada Keadaan Sepsis
Berdasarkan panduan Surviving Sepsis Campaign pada tahun 2021 kortikosteroid hanya digunakan pada pasien syok sepsis jika resusitasi cairan dan terapi vasopressor tidak dapat menstabilkan hemodinamik. Maka dari itu, bila hemodinamik sudah stabil, tidak disarankan menggunakan kortikosteroid. Kortikosteroid yang disarankan adalah hidrokortison intravena dengan dosis 200 mg per hari.[5]
Cara pemberian hidrokortison ini dapat dengan syringe pump untuk penggunaan kontinu atau bolus per 6 jam sesuai half life dengan dosis terbagi, yaitu 50 mg. Pemberian ini disarankan apabila pasien sudah mendapat norepinephrine atau epinephrine dengan dosis ≥0.25 mcg/kgBB/min selama minimal 4 jam untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) >65 mmHg. Akan tetapi, rekomendasi ini termasuk weak recommendation dan kualitas bukti klinis moderat.[5]
Terdapat anggapan bahwa cara pemberian kortikosteroid secara continuous infusion dinilai lebih baik dibandingkan pemberian dengan bolus atau intermiten. Akan tetapi, berbagai studi yang ada saat ini tidak mendukung hal ini, dan menemukan bahwa efikasinya sama saja.[3,4,18]
Penggunaan Kortikosteroid pada Anak dengan Sepsis
Pada pasien anak, pemberian kortikosteroid direkomendasikan pada pasien dengan syok sepsis refrakter dengan pemberian cairan dan vasopressor disertai kecurigaan adanya insufisiensi adrenal. Kortikosteroid yang direkomendasikan menurut Khilnani et al. adalah hidrokortison dengan dosis 50 mg/m2 body surface area (BSA) per dosis dengan pemberian setiap 6 jam sampai didapatkan reversal shock.[6,11]
Dengan kata lain, rekomendasi ini tidak berlaku pada pasien anak atau bayi dengan yang mendapatkan kortikosteroid dalam jangka waktu sebentar maupun lama, gangguan hypothalamic-pituitary-adrenal axis, serta hiperplasia adrenal ataupun endokrinopati yang berhubungan dengan kortikosteroid.
Selain itu, pasien yang baru mendapatkan terapi ketoconazole atau etomidate atau terapi lainnya yang menandakan diperlukannya mengurangi konsumsi kortikosteroid, dengan atau tanpa evaluasi aksis adrenal, tidak direkomendasikan untuk mendapatkan hidrokortison ini.[6]
Kesimpulan
Pada pasien dewasa, pemberian kortikosteroid mungkin sedikit berhubungan dengan penurunan mortalitas, peningkatan shock reversal, dan penurunan durasi rawat. Akan tetapi, efek samping seperti hipernatremia, hiperglikemia, kelemahan neuromuskular, dan superinfeksi masih ditemukan. Pada anak, belum dapat dipastikan apakah pemberian kortikosteroid memiliki benefit yang lebih daripada harm.
Sampai saat ini, rekomendasi penggunaan kortikosteroid hanya pada pasien syok sepsis refrakter dengan cairan dan vasopressor, seta pada anak dengan bukti insufisiensi adrenal. Dosis yang direkomendasikan pada orang dewasa adalah hidrokortison 200 mg/hari dengan continuous infusion atau dosis terbagi per 6 jam pada mereka yang mendapat ≥0.25 mcg/kgBB/min selama minimal 4 jam untuk mencapai mean arterial pressure (MAP) >65 mmHg. Pada anak, belum ada dosis baku yang direkomendasikan Surviving Sepsis Campaign 2021.
Selain itu, beberapa studi menemukan hubungan hidrokortison dan fludrokortison dengan penurunan mortalitas dan durasi rawat inap. Akan tetapi, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanismenya. Studi lebih lanjut mengenai pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis dan syok sepsis dengan metode yang lebih baik diperlukan, karena studi yang ada saat ini masih inkonklusif dan kebanyakan studi tumpang tindih dengan komorbid dan terapi lainnya.
Penulisan pertama oleh: dr. Shofa Nisrina Luthfiyani