Penanganan ankle sprain akibat cedera olahraga harus disesuaikan dengan tipe dan derajat keparahan. Tata laksana ankle sprain atau keseleo antara lain mengatasi nyeri, memperbaiki ruang gerak sendi, mengembalikan kekuatan otot, dan memperbaiki propioseptif. Sedangkan kriteria kembali berolahraga harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin kembali berolahraga setelah mengalami ankle sprain, yang bertujuan agar dapat kembali ke performa awal sebelum cedera dan upaya mencegah terjadinya cedera ulang.[1]
Ankle Sprain Akibat Olahraga
Cedera ankle sprain yang paling sering terjadi adalah ankle sprain lateral (ASL), dengan prevalensi sekitar 40% dari semua cedera traumatis ankle saat berolahraga. Pada olahraga di dalam ruangan (indoor), kejadian ASL diperkirakan sekitar 7 per 1000 paparan.[2]
Meskipun angka kejadian ASL tinggi, hanya sekitar 50% kasus yang mendapatkan perawatan medis secara benar. ASL yang tidak tertangani dengan baik akan berkembang menjadi chronic ankle instability (CAI), di mana pasien akan sulit berolahraga dengan intensitas tinggi karena sangat mudah mengalami keluhan bengkak dan nyeri berulang.[2]
Diagnosis dan pengobatan yang memadai disertai upaya pencegahan kekambuhan cedera dapat mencegah perkembangan gejala terkait cedera jangka panjang, dan secara substansial mengurangi beban sosial ekonomi. Prinsip penanganan ankle sprain dibedakan berdasarkan onset, yaitu tata laksana pada cedera ankle akut dan tata laksana cedera ankle kronis.[2]
Tata Laksana Cedera Ankle Sprain Akut
Ankle sprain akut termasuk kondisi ankle sprain lateral (ASL). Penatalaksanaannya meliputi upaya untuk meredakan nyeri, mengembalikan ruang gerak sendi maksimal, dan memperbaiki propioseptif.
Meredakan Nyeri
Nyeri pada ankle sprain akut terjadi karena proses traumatik yang menyebabkan inflamasi lokal di area cedera. Untuk meredakan nyeri dapat memilih nonfarmakologi, farmakologi, atau kombinasi keduanya.[3-7]
Tata Laksana Nonfarmakologi:
Dua prinsip tata laksana nonfarmakologi yang harus dipenuhi untuk cedera ankle sprain akut adalah melakukan PRICE dan menghindari HARM. Melakukan PRICE adalah:
Protection: gunakan ankle support atau splint untuk melindungi bagian yang cedera agar tidak mengalami kerusakan jaringan lebih lanjut
Rest: istirahatkan bagian yang cedera selama 2−3 hari, dan saat beraktivitas dibantu alat seperti Namun, bukan berarti bagian yang cedera harus benar-benar diam, melainkan secara perlahan diperkenalkan dengan gerakan tidak mencetuskan nyeri dan tidak diberi beban tubuh. Hal ini untuk menghindari keterlambatan penyembuhan dan kehilangan massa otot
Ice: tempelkan ice bag atau frozen peas yang di balut handuk tipis pada area cedera selama 15−20 menit, dan diulang setiap 3 jam. Tindakan ini untuk membantu mengurangi bengkak dan nyeri, tetapi jangan menempelkan es langsung ke kulit karena akan merusak jaringan kulit
Compression: tekan atau balut area cedera menggunakan elastic bandage untuk membantu mencegah pertambahan bengkak. Pastikan balutan harus dilepas secara berkala dan tidak digunakan saat tidur.
Elevation: tinggikan kaki saat berbaring dengan mengganjalnya menggunakan bantal, sehingga tinggi ankle melebihi tinggi jantung saat berbaring[3-5]
Sedangkan menghindari HARM artinya adalah:
Heat: hindari mandi dan berendam air panas, sauna, atau penggunaan hot pack, karena panas akan meningkatkan aliran darah sehingga memicu bengkak semakin parah
Alcohol: jangan mengonsumsi alkohol karena dapat meningkatkan risiko perdarahan dan pembengkakan di area cedera
Running: hindari berlari atau berolahraga apapun yang menggunakan kaki yang cedera, karena risiko memperparah dan menimbulkan cedera baru
Massage: jangan memijat area cedera karena bisa menimbulkan perdarahan dan pembengkakan yang lebih parah[3,4]
Tata Laksana Farmakologi:
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) adalah obat pilihan utama untuk nyeri akibat ankle sprain akut, yang diberikan hanya untuk jangka pendek. Beberapa studi menunjukkan OAINS hanya efektif diberikan dalam waktu <7 hari pada pasien yang mengalami cedera sprain akut.[6]
Studi perbandingan antara OAINS selektif (celecoxib) dan NSAID nonselektif (ibuprofen, naproxen, diklofenak, atau piroksikam), pada 4 randomized clinical trial (RCT) dan 1.490 subjek, menyimpulkan bahwa efek celecoxib tidak lebih rendah dari OAINS nonselektif untuk hasil utama meredakan nyeri pada cedera ASL. Sedangkan pada pada 2 RCT dengan 201 subjek menunjukkan bahwa diklofenak memberikan hasil yang lebih baik pada hari ke-1 dan ke-2 daripada piroksikam. [3]
Pada 2 RCT dengan 869 subjek menemukan bahwa analgesik opioid tidak lebih unggul dibandingkan OAINS, tetapi menyebabkan efek samping yang lebih signifikan. Studi tersebut menyatakan bahwa penggunaan OAINS pada ankle sprain akut dapat menunda proses penyembuhan alami karena peradangan merupakan komponen yang diperlukan untuk pemulihan jaringan. Oleh karena itu, masih menjadi perdebatan terkait manfaat OAINS jika dibandingkan dengan opioid pada ASL akut.[7]
Mengembalikan Ruang Gerak Sendi Maksimal
Usaha untuk mendapatkan gerak sendi bebas bagian ankle yang cedera adalah dengan memberikan latihan ROM (range of motion) sedini mungkin. Latihan yang diberikan merupakan rangkaian program rehabilitasi, termasuk latihan ROM, latihan kekuatan otot, dan latihan proprioseptif. ROM harus segera tercapai sebelum memulai latihan fungsional lain.[3,7]
Peregangan tendon Achilles harus dilakukan dalam waktu 48−72 jam setelah cedera, terlepas dari menggunakan kapasitas beban, mengingat kecenderungan jaringan untuk berkontraksi setelah trauma. Latihan ROM harus dilakukan tanpa rasa sakit. Pilihan latihan ROM yang bisa dilakukan antara lain:
- Peregangan ROM pasif: selama 15–30 detik, 3 kali pengulangan
- Peregangan tendon Achilles tanpa beban: gunakan handuk untuk menarik kaki ke arah wajah, dilakukan selama 15–30 detik, 3 kali pengulangan
- Peregangan tendon Achilles dengan kapasitas beban: berdiri dengan tumit di lantai kemudian tekuk lutut, dilakukan selama 15–30 detik, 1 kali pengulangan
- Latihan alfabet: gerakan pergelangan kaki dalam berbagai bidang gerakan dengan menggambar alfabet dalam huruf kecil dan huruf besar, dilakukan 4−5 kali/hari[4,7]
Mengembalikan Kekuatan Otot
Latihan kekuatan otot dilakukan sedini mungkin sejak onset cedera. Latihan otot awal difokuskan pada otot peroneal, karena bagian ini yang paling sering mengalami insufisiensi kekuatan otot saat imobilisasi ankle. Pemilihan jenis latihan otot biasanya dimulai dengan latihan isometrik dan secara progresif dilanjutkan dengan latihan isotonik.[7]
Latihan isometrik menggunakan bantuan tahanan dari benda yang tidak bergerak seperti dinding, sedangkan tahanan latihan isotonik berasal dari benda bergerak seperti karet resisten. Beberapa latihan kekuatan yang bisa digunakan untuk pasien ankle sprain adalah:
- Plantar fleksi: dorong kaki berlawanan arah dengan kepala dan tahan selama 5−10 detik
- Dorsofleksi: tarik kaki ke arah kepala dan tahan 5−10 detik
- Eversi: dorong kaki ke arah luar/lateral dan tahan 5−10 detik
- Inversi: dorong kaki ke arah dalam/medial dan tahan 5−10 detik[8]
Memperbaiki Propioseptif
Latihan proprioseptif dilakukan segera setelah pasien mampu mencapai ROM maksimal, dengan kapasitas beban tanpa merasakan nyeri. Latihan proprioseptif bertujuan meningkatkan kewaspadaan ankle saat pergerakan sendi, sehingga mampu melindungi sendi saat bergerak. Latihan dimulai dari metode sederhana tanpa bantuan alat, kemudian dikembangkan menggunakan peralatan yang lebih menunjang.[7]
Beberapa latihan proprioseptif yang bisa dilakukan adalah:
- Latihan proprioseptif manual dengan memfasilitasi neuromuskular: merangsang umpan balik sensori dengan cara menginstruksikan beberapa pola perubahan gerakan dengan derajat beban yang berbeda-beda
- Latihan berjalan di berbagai macam permukaan: berjalan biasa pada beberapa macam bentuk permukaan injakan, bisa dilakukan dengan mata terbuka maupun tertutup
- Latihan dengan circular wobble board: bergerak di atas papan bundar yang tidak seimbang, memutari papan searah jarum jam dan arah balik setelahnya sambil menjaga keseimbangan agar tidak jatuh[8]
Tata Laksana Cedera Ankle Sprain Kronis
Ankle sprain kronis misalnya chronic ankle instability (CAI) yang dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu ketidakstabilan mekanis dan fungsional. Ketidakstabilan mekanis dapat diidentifikasi pada pemeriksaan fisik dan radiografi stres, sedangkan ketidakstabilan fungsional lebih mencerminkan keluhan subjektif dan biasanya tanpa kelemahan secara klinis.[9]
Langkah awal penanganan CAI merupakan pendekatan rehabilitasi. Namun, jika tidak ada perbaikan maka selanjutnya dapat dilakukan tindakan operasi. Terdapat dua teknik operasi yang dikembangkan untuk CAI, yaitu anatomic ligament repair dan non-anatomic reconstruction. Tujuan pembedahan adalah mengembalikan anatomi, stabilitas, dan kinetika sendi, serta mempertahankan fungsional ankle dan gerakan subtalar.[8,9]
Kriteria Kembali Berolahraga Pasien Ankle Sprain
Kriteria kembali berolahraga atau return to sport (RTS) merupakan kumpulan pemeriksaan pada pasien pasca ankle sprain. Tujuan pemeriksaan adalah untuk menyimpulkan pasien sudah bisa kembali ke lapangan untuk berolahraga, tanpa kekhawatiran cedera ulang. Pemeriksaan harus dilakukan secara terukur dan spesifik untuk area cedera.[10]
Studi survei Delphi, yang melibatkan ahli kesehatan di bidang olahraga dari berbagai negara, menyepakati suatu kriteria pemeriksaan untuk menentukan seorang atlit kembali dapat berolahraga. Kriteria tersebut terdiri dari pain severity, ankle impairments, athlete perception, sensorimotor control, dan sport functional performance (PAASS).[11]
Pain Severity
Derajat nyeri yang dirasakan pasien harus sangat minimal, di mana nilai visual analog scale (VAS) tidak boleh lebih dari 2. Komponen nyeri yang harus dinilai adalah pada 24 jam terakhir dan saat melakukan olahraga.[11]
Ankle Impairments
Komponen yang dinilai adalah ROM dan kekuatan ankle. Pemeriksaan ROM yang paling sering dilakukan adalah dorsiflexion heel rocker test, di mana dikatakan memenuhi kriteria jika mampu melakukan 10 gerakan dengan ROM maksimal. Sedangkan kekuatan ankle diperiksa dengan tes otot manual, dan jika sudah mencapai 90% dari sisi yang tidak cedera maka memenuhi kriteria.[11]
Athlete Perception
Pemeriksaan persepsi merupakan pemeriksaan mandiri yang dilakukan oleh atlet dengan menggunakan kuesioner khusus. Salah satu contoh instrumen yang digunakan adalah trait sport confidence inventory. Pemeriksaan persepsi atlet/pasien pasca cedera antara lain keyakinan menggerakkan ankle, kestabilan sendi, dan kesiapan psikis.[11]
Sensorimotor Control
Pemeriksaan kontrol motor sensorik termasuk propioseptif yang bisa menggunakan single-leg balance test, di mana kriteria terpenuhi bila mampu mempertahankan keseimbangan tanpa nyeri. Selain itu, pemeriksaan kontrol postur dinamis yang biasa menggunakan Y-balance test. Tes ini membandingkan dua kaki, dan dinyatakan masuk kriteria jika hasil sisi cedera mencapai minimal 80% dari sisi yang sehat.
Sport Functional Performance
Pemeriksaan performa fungsional antara lain:
Hopping, jarak lompatan satu kaki cedera minimal mencapai 80% kaki yang sehat
Agility, dapat menyelesaikan semua instruksi seperti tes lari
- Aktivitas olahraga spesifik, dapat menyelesaikan tes yang disesuaikan dengan jenis olahraga yang ditekuni pasien [11]
Kesimpulan
Tata laksana cedera ankle sprain harus disesuaikan dengan tipe dan onset cedera. Ankle sprain yang paling sering terjadi adalah onset akut, yaitu ankle sprain lateral (ASL). Ankle sprain onset kronis misalnya chronic ankle instability (CAI). Prinsip tata laksana ASL antara lain mengatasi nyeri, memperbaiki ruang gerak sendi, mengembalikan kekuatan otot, dan memperbaiki propioseptif. Sedangkan tata laksana CAI dimulai dengan program rehabilitasi, dan jika tidak ada perbaikan maka dilanjutkan dengan operasi.
Kriteria kembali berolahraga atau return to sport (RTS) pasca ankle sprain harus dipenuhi pasien untuk bisa kembali berolahraga dengan intensitas yang sama dengan sebelum cedera. Kriteria RTS yang disepakati oleh ahli kesehatan bidang olahraga adalah menggunakan kriteria PAASS, yaitu pain severity, ankle impairments, athlete perception, sensorimotor control, dan sport functional performance. Jika semua komponen pemeriksaan PAASS telah dipenuhi, pasien dapat kembali berlatih dan berolahraga dengan intensitas 100% seperti sebelum cedera.[11]