Terapi otitis media supuratif kronis (OMSK) dapat menggunakan antibiotik dan antiseptik dengan tujuan mengeradikasi bakteri penyebab. Selain antibiotik, antiseptik juga dinilai memiliki kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Jika dibandingkan dengan antibiotik, antiseptik memiliki spektrum yang lebih luas karena tidak terbatas pada bakteri saja, serta lebih mudah didapatkan, sehingga efikasi antiseptik pada OMSK sudah banyak diteliti.[1,2]
Sekilas tentang Otitis Media Supuratif Kronis
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah penyakit radang kronis pada telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani dan otorea yang bersifat menetap atau hilang timbul selama lebih dari 2 bulan dengan atau tanpa pengobatan medis. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi otorea sebanyak 2,4%. Menurut data WHO, Indonesia termasuk dalam negara dengan prevalensi OMSK yang tinggi (2–4%).
OMSK merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan pendengaran yang tidak jarang bersifat permanen dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Terbatasnya ketersediaan obat dan sulitnya akses ke fasilitas kesehatan pada wilayah tertentu semakin mempersulit manajemen OMSK.[3-7]
Mikrobiologi Otitis Media Supuratif Kronis
Penyebab otitis media supuratif kronis (OMSK) dapat berupa bakteri dan jamur. Menurut sebuah studi di RSUD dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2011, bakteri penyebab yang sering ditemukan pada pasien dengan OMSK adalah Staphylococcus aureus (31,1%), Proteus mirabilis (20%), Acinetobacter wolfii (15,6%), dan Pseudomonas aeruginosa (14,3%).
Bakteri anaerob juga dapat menjadi penyebab, seperti Bacteroides sp. (4–8%), Clostridium sp. (3–6%), Prevotella sp. (1–3%) dan Fusobacterium nucleatum (3-4%). Jamur yang kerap ditemukan adalah Aspergilus sp. (3-20%) dan Candida albicans (0,9–23%).[5,8]
Pedoman Manajemen Otitis Media Supuratif Kronis
Berdasarkan panduan praktik klinis oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (PERHATI-KL) Indonesia, prinsip tata laksana otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah eradikasi infeksi dan kolesteatoma, serta menutup perforasi membran timpani, sehingga komplikasi tidak terjadi. Prinsip ini sejalan dengan pedoman WHO.
Manajemen OMSK dapat meliputi pemberian antibiotik topikal dengan atau tanpa steroid, antibiotik sistemik, antiseptik topikal, pembersihan liang telinga (aural toilet), hingga pembedahan.
Pemilihan modalitas terapi tersebut dapat sebagai terapi tunggal, dengan lini pertama yang dipilih adalah antibiotik topikal. Namun, antibiotik topikal dapat juga dikombinasikan dengan modalitas lain, seperti aural toilet. Antibiotik topikal yang dipilih adalah yang tidak bersifat ototoksik, dan umumnya dipilih golongan quinolone, seperti ciprofloxacin. Berbagai literatur menunjukkan bahwa antibiotik topikal memiliki efektivitas lebih baik daripada modalitas lain.
Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan jika OMSK menunjukkan komplikasi. Pemakaian antibiotik sistemik jangka panjang perlu dipertimbangkan karena risiko resistensi dan efek samping yang mungkin terjadi.[1,3,9,10]
Aural toilet merupakan tindakan pembersihan telinga yang dapat dengan menggunakan lidi kapas, suction, atau irigasi telinga. Aural toilet dan antiseptik topikal sering kali disatukan, dan tidak direkomendasikan sebagai monoterapi pada OMSK karena efikasi yang rendah.
Pembersihan telinga (aural toilet) dapat menggunakan air steril, asam asetat, cairan normal salin, hidrogen peroksida, dan povidone iodine. Cairan irigasi harus dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh untuk mencegah stimulasi yang mengganggu keseimbangan pasien. Pembedahan dipilih apabila medikamentosa tidak memberikan respons, terdapat kolesteatoma, atau terdapat komplikasi.[1,3,11,12]
Efikasi Antiseptik pada Otitis Media Supuratif Kronis
Antiseptik topikal merupakan salah satu modalitas yang dapat dipertimbangkan dalam menghambat pertumbuhan mikoorganisme penyebab OMSK. Tidak hanya karena kemampuannya membunuh bakteri, tetapi juga karena diketahui mampu menghambat virus dan jamur.
Antiseptik yang umum dipakai dan diteliti pada kasus OMSK adalah asam borat, povidone iodine, asam asetat, dan larutan Burowi (aluminium asetat 13%). Sebuah studi in vitro menyatakan bahwa agen yang paling poten terhadap beberapa bakteri penyebab OMSK adalah larutan Burowi 100% dan larutan Burowi 50%, diikuti oleh larutan asam asetat 2%, dan asam borat 4%. Untuk menghindari efek ototoksik, studi ini merekomendasikan 2 kali pengenceran larutan Burowi sebelum diaplikasikan.[2]
Studi double-blind randomized prospective study pada 48 partisipan mendapatkan bahwa terdapat 81% kesembuhan pada pasien yang diterapi dengan povidone iodine, sedangkan hanya 69% kesembuhan pada pasien yang diterapi dengan antibiotik topikal, dan 25% pada kelompok yang diterapi dengan cairan normal salin (25%). Komplikasi akibat efek samping obat tidak ditemukan pada semua partisipan.[13]
Di lain sisi, beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bertolak belakang. Tinjauan Cochrane terhadap uji acak terkontrol pada total 254 partisipan membandingkan pemberian asam borat dan tanpa terapi sama sekali selama 4 minggu dalam mengatasi otorea. Hasilnya, tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok tersebut.[1]
Studi lain pada 93 partisipan membandingkan penggunaan asam borat satu kali dengan asam asetat yang diberikan setiap hari juga menunjukkan hasil yang tidak konklusif (terdapat perbaikan tetapi tidak bermakna) dalam mengatasi otorea setelah pemakaian selama 4 minggu. Semua studi tersebut tidak melaporkan luaran sekunder seperti komplikasi atau kualitas hidup pasien.[1]
Sebuah tinjauan oleh Acuin et al meneliti studi dengan total sampel 60 anak yang mengalami otorea dan mendapat terapi larutan aluminium asetat (konsentrasi 13%, 3,25% dan 1,3%) dan dibandingkan dengan plasebo. Hasil studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna, baik pada kelompok intervensi dengan berbagai konsentrasi maupun dengan plasebo.[1,10]
Perbandingan Efektivitas Antiseptik dan Modalitas Lain pada Otitis Media Supuratif Kronis
Terdapat beberapa penelitian yang membandingkan antiseptik topikal dengan modalitas terapi lain dari otitis media supuratif kronis (OMSK) dengan hasil yang beragam. Suatu studi komparatif membandingkan irigasi telinga rutin dengan asam asetat dan kombinasi antibiotik topikal dan ciprofloxacine oral.[3]
Studi tersebut dilakukan pada 100 pasien OMSK aktif tipe tubotimpani. Setelah dievaluasi selama 3 bulan, didapatkan 41 pasien (82%) kelompok asam asetat dan 29 pasien (69,04%) kelompok antibiotik sudah tidak mengalami otorea. Selain itu, kesembuhan perforasi terjadi pada 13 pasien (26%) kelompok asam asetat dan 7 pasien (14%) kelompok antibiotik. Ini menunjukkan bahwa irigasi rutin dengan asam asetat merupakan terapi yang lebih unggul.[3]
Sebaliknya, hasil berbeda dikemukakan oleh tinjauan Macfayden et al. Uji acak terkontrol dengan total 427 pasien OMSK ini membandingkan antara pemberian ciprofloxacin topikal dan asam borat selama 2 minggu. Antibiotik topikal dilaporkan lebih efektif secara signifikan dalam mengatasi otorea, yang ditunjukkan oleh tercapainya resolusi pada 59% partisipan yang diberikan ciprofloxacin topikal dan 32% pastisipan yang diberikan asam borat. Efek samping juga lebih banyak ditemukan akibat pemberian asam borat.[14]
Suatu uji acak klinis oleh Jaya et al mendapatkan bahwa povidone iodine memiliki efektivitas yang setara dengan ciprofloxacine topikal dalam mengatasi otorea. Studi ini membandingkan antara povidone iodine 5% dan ciprofloxacine 0,3% yang diberikan 3 kali sehari, dengan masing-masing 3 tetes selama 10 hari. Pada follow up minggu ke-2, didapatkan bahwa 16 pasien yang diberikan povidone iodine (88%) dan 19 pasien kelompok ciprofloxacine (90%) tidak mengalami otorea. Namun, hasil tersebut dinilai tidak bermakna secara statistik.[15]
Suatu tinjauan sistemik oleh Acuin melaporkan bahwa antiseptik topikal (asam borat dan bubuk iodine) sama efektifnya dengan antibiotik oral (tingkat kesembuhan 62% berbanding 65%) dalam mengatasi otorea setelah terapi selama 2–4 minggu. Studi tersebut juga membandingkan antiseptik topikal dengan antibiotik topikal (gentamycin/chloramphenicol) dan menunjukkan tingkat kesembuhan yang lebih baik pada kelompok antiseptik topikal, tetapi tidak bermakna secara statistik.[5,10]
Terdapat dua studi yang membandingkan antiseptik topikal dengan antibiotik sistemik, yaitu oleh Browning dan Papastavros, seperti yang dikutip oleh Macfayden et al. Studi tersebut memberikan hasil yang tidak berbeda secara bermakna antara kedua kelompok dalam mengatasi otorea pada penderita OMSK.[14]
Sampai saat ini, belum ada studi yang membandingkan aural toilet dan antiseptik topikal. Akan tetapi, terdapat studi yang mengombinasikan kedua terapi tersebut, yang dilakukan oleh Eason et al. Hasil studi menunjukkan bahwa antiseptik topikal dapat mendukung aural toilet dalam mengatasi OMSK. Hal ini terlihat pada resolusi yang terjadi pada 64% dari 32 pasien yang diberikan terapi kombinasi antiseptik topikal dan aural toilet. Sedangkan, pada pasien yang hanya menjalani aural toilet, resolusi hanya terjadi pada 50% dari 26 pasien.[5]
Kemampuan antimikroba antiseptik dan dampaknya terhadap jaringan telinga tengah memang masih memerlukan studi lebih lanjut.[6]
Aspek Keamanan Antiseptik pada Otitis Media Supuratif Kronis
Secara umum, efek samping antiseptik topikal adalah dapat menyebabkan iritasi kulit telinga luar sehingga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, nyeri, atau gatal. Beberapa jenis antiseptik bahkan telah diketahui merupakan ototoksik yang dapat menyebabkan tuli sensorineural, vertigo, atau tinitus.[1,5,12]
Walaupun begitu, belum banyak studi yang menilai ototoksisitas terkait pemberian cairan antiseptik pada manusia. Beberapa studi terhadap hewan percobaan mendapatkan bahwa beberapa cairan antiseptik, seperti etanol dan povidone iodine memiliki potensi ototoksisitas. Akan tetapi, penggunaan povidone iodine sebelum tindakan operasi dinyatakan aman.[3]
Chlorhexidine juga memiliki potensi ototoksik jika masuk ke telinga tengah. Asam asetat juga terbukti ototoksik pada percobaan menggunakan sel rambut luar koklea hewan chinchilla. Di lain sisi, cairan Burowi 4% dan 13% tidak terbukti berpotensi ototoksik berdasarkan satu uji coba hewan.[3]
Jaya et al mendapatkan bahwa tidak terdapat iritasi atau tanda ototoksitas berdasarkan pemeriksaan audiometri nada murni setelah pemberian povidone iodine pada pasien OMSK.[14]
Secara garis besar, belum ada bukti kuat untuk menetapkan antiseptik topikal sebagai terapi utama dari OMSK. Kelemahan dari beberapa jenis antiseptik topikal adalah bentuk sediaan berupa bubuk sehingga sulit mencapai telinga tengah (membutuhkan alat khusus untuk memasukkan obat tersebut) serta risiko menumpuk/memadat di dalam telinga.[1,5]
Kesimpulan
Hingga saat ini, antibiotik topikal golongan quinolone masih merupakan pilihan utama dalam tata laksana OMSK. Antiseptik topikal muncul sebagai opsi karena kemampuannya sebagai antimikroba, tidak mencetuskan resistensi bakteri bila dibandingkan dengan antibiotik, serta murah dan mudah didapatkan.
Hasil studi masih menunjukkan hasil yang kontroversial mengenai efektivitas antiseptik topikal dalam mengatasi OMSK. Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk memastikan efektivitas dan aspek keamanannya. Dalam praktik sehari-hari, antiseptik topikal boleh saja dipakai, tetapi tidak untuk menggantikan terapi dengan antibiotik topikal. Pemilihan jenis antiseptik dan dosis pemberiannya perlu ditentukan secara hati-hati untuk mencegah efek ototoksisitas.[3,5,12]