Terapi definitif untuk kasus nodul tiroid otonom dipilih dengan tujuan utama menghilangkan tirotoksikosis dengan onset cepat dan durasi yang panjang. Nodul tiroid otonom adalah nodul jinak pada tiroid yang bekerja di luar sistem umpan balik negatif antara hipofisis dan kelenjar tiroid. Nodul tersebut dapat membesar dan menghasilkan hormon triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4) tanpa stimulasi thyroid stimulating hormone (TSH).[1,2]
Kondisi tirotoksikosis dapat ditimbulkan oleh nodul tiroid yang berukuran minimal 2,5–3 cm. Etiologi terjadinya nodul tiroid otonom adalah mutasi somatik reseptor TSH, sedangkan mekanisme yang mencetuskan terjadinya mutasi tersebut masih belum jelas diketahui. Nodul tiroid otonom sering ditemukan pada pasien yang tinggal di daerah defisiensi iodium ringan hingga sedang.[1,2]
Diagnosis Nodul Tiroid Otonom
Diagnosis nodul tiroid otonom secara pasti dapat melalui pencitraan skintigrafi tiroid atau thyroid scan. Nodul tiroid akan menunjukkan penangkapan radioaktivitas, sedangkan jaringan tiroid normal sekitarnya tidak menunjukkan penangkapan radioaktivitas atau tersupresi.[3,4]
Gambar 1. Nodul tiroid otonom pada skintigrafi tiroid dengan supresi penangkapan radioaktivitas oleh jaringan tiroid normal
Terapi Definitif Nodul Tiroid Otonom
Pengobatan untuk menangani hipertiroid dengan obat antitiroid, seperti methimazole dan propiltiourasil, tidak dapat memberikan kesembuhan karena etiologi nodul tiroid otonom terkait adanya mutasi somatik reseptor TSH. Penghentian konsumsi obat antitiroid hampir selalu menyebabkan kekambuhan.[4,5]
Pilihan terapi definitif untuk kasus nodul tiroid yang relatif aman adalah pembedahan tiroid dan iodium radioaktif (I-131). Sedangkan terapi menggunakan percutaneous ethanol injection (PEI) atau radiofrequency ablation (RFA) dengan bimbingan USG dapat menjadi alternatif apabila pembedahan dan terapi I-131 tidak sesuai, atau kontraindikasi untuk pasien kondisi tertentu.[4,5]
Pembedahan atau Lobektomi
Prosedur pembedahan yang paling sering dipilih untuk kasus nodul tiroid otonom adalah lobektomi, yaitu pengangkatan lobus ipsilateral. Dilakukan isthmusmektomi jika nodul terletak pada isthmus tiroid.[5,6]
Keunggulan Lobektomi
Pembedahan ini dapat mengatasi tirotoksikosis secara cepat sekaligus menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid dari nodul. Angka mortalitas dan morbiditas pasca lobektomi sangat rendah. Rekurensi tidak pernah dilaporkan, sedangkan risiko kegagalan tercatat sebesar 1%. Kondisi eutiroid segera tercapai beberapa hari pasca lobektomi.[5,6]
Komplikasi Pasca Lobektomi
Komplikasi lokal pasca lobektomi antara lain gangguan pita suara transien dan hematoma. Komplikasi lain adalah hipotiroid ringan transien yang dapat terjadi pada 4,2% kasus, dan dapat kembali normal dengan cepat. Namun, Sebanyak 15−20% pasien memerlukan substitusi levotiroksin pasca lobektomi atau mengalami hipotiroid permanen, terutama pasien dengan antibodi antitiroid.[5,6]
Kejadian hipotiroid permanen ini lebih jarang terjadi pasca isthmusmektomi. Bahkan pembedahan pada pasien dengan tirotoksikosis dapat mengakibatkan krisis tiroid. Kematian terkait krisis tiroid setelah pembedahan tidak pernah dilaporkan apabila pasien mendapat obat antitiroid yang memadai sebelum operasi.[5,6]
Komplikasi lain pasca lobektomi adalah kelenjar paratiroid yang turut terangkat. Keadaan ini dapat mengakibatkan hipoparatiroid transien yang dilaporkan terjadi pada 6% kasus, atau bahkan hipoparatiroid permanen yang dilaporkan pada 0,6% kasus.[5,6,15]
Hipoparatiroid dapat mengakibatkan hipokalsemia, yang dapat menimbulkan gejala parestesia, kram otot, tetani, circumoral numbness, seizure, spasme laring, iritabilitas neuromuskuler, gangguan kognitif, gangguan kepribadian, serta perubahan gelombang EKG seperti interval QT memanjang.[5,6,15]
Kontraindikasi Lobektomi
Beberapa kondisi pasien yang menjadi pertimbangan untuk tidak dilakukan pembedahan antara lain penyakit jantung paru, kanker stadium akhir, dan tidak adanya akses terhadap dokter bedah yang berpengalaman. Kehamilan merupakan kontraindikasi relatif pembedahan, dan hanya dilakukan bila diperlukan kontrol gejala hipertiroid segera atau terdapat kontraindikasi mengonsumsi obat antitiroid. Pembedahan paling optimal dilakukan pada akhir trimester kedua, walaupun tidak menyingkirkan risiko persalinan preterm.[5,6]
Terapi Radioisotop I-131
I-131 adalah radioisotop pertama yang digunakan untuk mempelajari fungsi dan mengobati penyakit tiroid. Penggunaan I-131 memanfaatkan ekspresi natrium iodide symporter (NIS) pada membran apikal folikel tiroid, yang dapat mengkonsentrasikan iodida dari sirkulasi darah ke dalam koloid folikel tiroid. I-131 diabsorbsi dengan cepat sebagian besar (>90%) di duodenum, dan diekskresikan melalui ginjal.[7,8]
I-131 memancarkan sinar beta yang dapat mengablasi atau merusak folikel tiroid dengan jarak kerja maksimum di jaringan sebesar 3 mm. Ronga et al. merekomendasikan dosis tetap 16 mCi I-131 untuk nodul berukuran sedang (< 5 cm) dan 10 mCi I-131 untuk nodul berukuran kecil (< 3 cm).[4,5]
Keunggulan Terapi I-131
Pilihan terapi I-131 untuk kasus nodul tiroid otonom tidak menimbulkan risiko mortalitas secara langsung. Secara teoritis pasien yang menerima I-131 dengan dosis akumulatif melebihi 1000 mCi berisiko mengalami keganasan sekunder di masa mendatang. Namun, hal ini tidak pernah dilaporkan pasca terapi I-131 untuk kasus nodul tiroid otonom karena tidak diperlukan dosis besar. Persentase respon berupa hilangnya gejala tirotoksikosis pada 3 bulan pasca terapi I-131 sebesar 75%, dan pada 1 tahun pasca terapi I-131 sebesar 89%.[4,5,9]
Komplikasi Pasca Terapi I-131
Risiko terjadinya hipotiroid persisten pasca terapi I-131 sebesar 6−18%, dengan kemungkinan terjadi hipertiroid rekuren sebesar 3−5,5%. Prevalensi hipotiroid pasca terapi I-131 semakin meningkat bila ditemukan antibodi antitiroid positif dan kadar TSH yang tidak tersupresi saat terapi.
Terdapat penelitian terhadap 684 pasien dengan nodul tiroid otonom yang diterapi dengan I-131. Hasil penelitian menemukan prevalensi hipotiroid sebesar 7,6% pada 1 tahun, 28% pada 5 tahun, 46% pada 10 tahun, dan 60% pada 20 tahun pasca terapi. Ditemukan bahwa hipotiroid terjadi lebih cepat pada pasien dengan usia tua dan supresi TSH inkomplit.
Kondisi supresi TSH inkomplit merupakan akibat dari riwayat pemberian obat anti tiroid sebelumnya, kondisi ini ditandai dengan supresi jaringan tiroid ekstratiroid parsial yang terlihat dari skintigrafi tiroid.[4,5,10]
Kontraindikasi Terapi I-131
Kontraindikasi terapi I-131 antara lain kehamilan, laktasi, dan wanita yang merencanakan kehamilan dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan. Terapi ini juga tidak dilakukan pada pasien dengan kanker tiroid dan yang tidak dapat memenuhi standar proteksi radiasi.[4,6,9]
Percutaneous Ethanol Injection (PEI)
Penyuntikan etanol berkonsentrasi tinggi (>95%) ke dalam nodul tiroid bertujuan terbentuknya nekrosis koagulatif dan infark dari jaringan fungsional, tanpa memberikan efek pada parenkim tiroid sekitarnya. Penurunan aktivitas enzimatik juga dapat terjadi sehingga tercapai keadaan eutiroid. Sebelum dilakukan penyuntikan ethanol intranodular secara perkutan, wajib dilakukan evaluasi nodul menggunakan USG untuk menentukan lokasi penyuntikan yaitu regio sentral/pusat nodul.
Penyuntikan etanol steril 95% dapat menggunakan jarum spinal (20–22G) tanpa anestesi lokal atau sedasi. Volume etanol yang diinjeksikan bervariasi di setiap sesi penyuntikan, tergantung dari ukuran nodul, terbentuknya fibrosklerosis atau hiperekoik pada pemeriksaan USG, dan devaskularisasi nodul pada pemeriksaan Doppler.[5,11,12]
Keunggulan PEI
PEI tidak menyebabkan kerusakan jaringan tiroid ekstranodular, seperti pada terapi I-131 yang dianggap dapat memberikan paparan radiasi pada jaringan tiroid sekitar nodul. Prete et al. melakukan PEI pada 34 pasien dengan nodul tiroid otonom volume >40 mL yang menunjukan gejala hipertiroid (rentang volume 41–180 mL).
Normalisasi gambaran skintigrafi tiroid dan kadar TSH ditemukan pada 30 dari 34 pasien. Sedangkan penurunan volume nodul dengan rerata 62,9% ditemukan pada semua pasien. Hanya 4 dari 34 pasien dinyatakan refrakter etanol, dengan 3 pasien memiliki nodul dengan volume awal >60 mL[5,11,12]
Komplikasi PEI
Efek samping yang paling sering terjadi adalah rasa nyeri atau sensasi terbakar yang dapat dirasakan dari lokasi penyuntikan dan menjalar hingga ke retrosternal atau mandibula. Demam juga dapat terjadi antara 6–48 jam pasca penyuntikan etanol. Hematoma di daerah sternum atau supraklavikula, serta hipofoni transien pernah dilaporkan, walaupun sangat jarang.
Ekstravasasi penyuntikan etanol ke jaringan ekstranodul dapat menyebabkan beberapa kondisi, seperti tirotoksikosis transien, disestesia wajah ipsilateral permanen, fibrosis paranodular yang memerlukan intervensi pembedahan, dan nekrosis laring atau kulit sekitar area penyuntikan.[5,11,12]
Radiofrequency Ablation (RFA)
RFA adalah prosedur yang bertujuan membuat nekrosis jaringan dengan menggunakan energi termal. Prosedur ini telah luas digunakan untuk kasus hepatoma dan beberapa tumor lain. RFA untuk kelenjar tiroid digunakan pada kasus kanker tiroid rekuren dan nodul jinak. Beberapa penelitian melaporkan keberhasilan dan keamanan RFA untuk nodul tiroid otonom.[5,13]
RFA untuk nodul tiroid otonom dikerjakan dengan bimbingan USG dan berbasis rawat jalan. Diperlukan sebuah generator dengan elektroda berukuran panjang 7 cm untuk mempermudah pengaturan, tebal 18 gauge untuk meminimalkan kerusakan jaringan tiroid normal, serta ujung aktif berukuran 0.5, 1, dan 1.5 cm.
Pasien diposisikan supinasi dengan leher ekstensi. Dua grounding pads dilekatkan ke dua paha. Lidokain 2% untuk anestesi lokal disuntikan pada lokasi sayatan dan sekitar kelenjar tiroid. Insersi elektroda ke dalam nodul tiroid menggunakan pendekatan trans-isthmus. Energi yang dihantarkan oleh elektroda dinaikkan bertahap hingga terbentuk zona hiperekoik.[5,13]
Keunggulan RFA
Fungsi normal tiroid tetap dapat dipertahankan pasca RFA, bila dibandingkan pembedahan atau terapi I-131 yang masih mungkin menimbulkan hipotiroid. Sung et al. dalam penelitian multisenter membuktikan bahwa RFA dapat menghilangkan gejala hipertiroid pada 81,8% pasien dengan nodul tiroid otonom (36/44).
Ukuran nodul berkurang sekitar 81,7% selama periode waktu 19,9 bulan pemantauan. Dari penelitian ini juga tidak ditemukan adanya komplikasi mayor atau hipotiroid selama masa pemantauan.[5,13,14]
Komplikasi RFA
Efek samping prosedur ini adalah nyeri atau sensasi panas di leher yang menjalar ke kepala, bahu, gigi, punggung, dan dada dengan intensitas masih dapat ditoleransi, sehingga tidak perlu menghentikan prosedur. Tidak ditemukan komplikasi mayor seperti perubahan suara, kulit terbakar, atau kerusakan struktur vital sekitar leher. RFA sebaiknya dilakukan pada senter dengan klinisi berpengalaman yang sudah mendapatkan pelatihan yang cukup.[5,13,14]
Kontraindikasi RFA
Tidak ada kontraindikasi absolut RFA untuk kasus nodul tiroid otonom. Penggunaan elektroda bipolar lebih dianjurkan untuk pasien yang sedang hamil dan pasien dengan cardiac pacemaker. Obat-obatan yang dikonsumsi dan berpotensi mengganggu kaskade koagulasi harus dihentikan sebelum tindakan RFA, untuk menurunkan risiko pendarahan pasca RFA.[5,13,14]
Kesimpulan
Pemberian obat antitiroid pada kasus nodul tiroid otonom dengan hipertiroid tidak akan memberikan kesembuhan. Hal ini karena etiologi nodul tiroid otonom adalah mutasi somatik reseptor TSH, sehingga obat antitiroid jika dihentikan akan selalu menyebabkan rekurensi. Pembedahan dan terapi I-131 merupakan pilihan terapi definitif untuk kasus nodul tiroid otonom yang dianggap aman. Apabila terdapat kontraindikasi, maka PEI dan RFA dapat menjadi alternatif terapi karena memiliki keunggulan tidak merusak jaringan tiroid ekstranodular.