Radiotiroablasi dapat digunakan dalam tata laksana kanker tiroid berdiferensiasi sebagai modalitas adjuvan pascaoperasi ataupun untuk terapi kuratif dan paliatif. Kanker tiroid merupakan keganasan endokrin yang menduduki peringkat ke–11 dari seluruh jumlah kasus kanker di Indonesia.
Kanker tiroid berdiferensiasi (KTB) yang berasal dari sel folikel tiroid memiliki angka kejadian mencapai 85% dari seluruh kasus kanker tiroid. Kelompok KTB terdiri dari kanker tiroid papilliferum (85%), folikuler (12%), dan sisanya bersifat poorly differentiated. Sebagian besar KTB bersifat indolen dengan 30-year disease-specific survival rate mencapai 95%. Akan tetapi, angka harapan hidup 5 tahun pasien KTB metastasis hanya sebesar 56%.[1,2]
Tata Laksana Kanker Tiroid Berdiferensiasi Menurut Panduan Terkini
Tata laksana kanker tiroid berdiferensiasi (KTB) meliputi pembedahan, radiotiroablasi, dan pemberian hormon tiroid atau levotiroksin. Tujuan utama pembedahan adalah mengeluarkan tumor primer, mengangkat ekstensi tumor di luar kapsul tiroid, dan kelenjar getah bening metastasis yang di identifikasi preoperasi.[3,9]
Jenis pembedahan pada tata laksana KTB mulai dari lobektomi, near total thyroidectomy, hingga total thyroidectomy, dan dipilih berdasarkan ukuran nodul atau tumor tiroid dan ekstensi penyakit secara klinis. Teknik pembedahan dapat meminimalisir risiko kekambuhan, kemungkinan metastasis, dan bermanfaat memfasilitasi prosedur radiotiroablasi.[3,9]
Thyroid stimulating hormone (TSH) diekspresikan oleh KTB pada reseptor membran sel dan memberikan respon terhadap stimulasi TSH. Supresi TSH menggunakan levotiroksin dosis suprafisiologis dimanfaatkan untuk menekan risiko kekambuhan keganasan pasien KTB.[3]
Sekilas Tentang Radiotiroablasi
Radiotiroablasi adalah prosedur pemberian iodium radioaktif (I–131) secara sistemik dengan tujuan menghancurkan sel folikel tiroid. Prosedur ini memanfaatkan ekspresi sodium/iodide symporter (NIS) pada membran plasma sel folikel tiroid yang secara alamiah dapat menangkap iodida dari peredaran darah.[4,5]
Iodium radioaktif (I–131) adalah radioisotop pertama yang digunakan untuk mempelajari fungsi dan mengobati penyakit tiroid. I–131 memancarkan sinar beta dengan jarak tempuh maksimum di jaringan sebesar 3 mm, serta sinar gamma yang dapat direkam oleh kamera gamma.
Dengan waktu paruh fisik selama 8,05 hari, I–131 merupakan radioisotop yang baik untuk iradiasi jaringan target secara jangka panjang dan memungkinkan pengambilan citra melalui pemeriksaan penunjang.[6]
Rekomendasi Radiotiroablasi pada Kanker Tiroid Berdiferensiasi
Pada kanker tiroid berdiferensiasi (KTB), radiotiroablasi diberikan pascaoperasi untuk mengeliminasi sisa jaringan tiroid fungsional, serta meningkatkan akurasi pemeriksaan lanjutan untuk pemantauan pasien KTB. Selain itu, radiotiroablasi juga bersifat terapeutik untuk lesi keganasan yang tidak dapat direseksi secara komplit, seperti tumor lokal makroskopik atau kelenjar getah bening metastasis di leher.[3]
Rekomendasi American Thyroid Association
American Thyroid Association membagi pasien kanker tiroid berdiferensiasi (KTB) pascaoperasi menjadi tiga kelompok, yaitu risiko rendah, sedang, dan tinggi (Tabel 1). Klasifikasi ini akan menentukan tata laksana dan pemantauan pascaoperasi yang sesuai.[3]
Tabel 1. Klasifikasi Risiko Kanker Tiroid Berdiferensiasi Menurun American Thyroid Association
Sumber: dr. Ivana Dewi Mulyanto, SpKN(K), MKes, FANMB, 2022[3]
Radiotiroablasi untuk Kanker Tiroid Berdiferensiasi (KTB) Risiko Rendah:
Radiotiroablasi tidak rutin direkomendasikan pada pasien KTB risiko rendah. Pada pasien KTB risiko rendah, angka mortalitas dan risiko kekambuhan memiliki persentase yang rendah, yaitu sekitar 3%. Bila radioablasi tetap ingin dilakukan, dosis I–131 yang dianjurkan adalah 30.[3]
Radiotiroablasi untuk Kanker Tiroid Berdiferensiasi (KTB) Risiko Sedang:
Radiotiroablasi untuk pasien KTB risiko sedang terbukti meningkatkan kesintasan keseluruhan, terutama untuk pasien karsinoma tiroid papiler dengan tipe histologi agresif, pasien dengan metastasis kelenjar getah bening, atau pasien dengan ukuran tumor primer >4 cm. Pemberian I–131 dosis 30 mCi dapat dilakukan untuk radiotiroablasi remnant atau adjuvan dan dosis hingga 150 mCi untuk radiotiroablasi terapeutik.[3,9]
Radiotiroablasi untuk Kanker Tiroid Berdiferensiasi (KTB) Risiko Tinggi:
Untuk pasien KTB risiko tinggi, radiotiroablasi sangat direkomendasikan. Radiotiroablasi pascaoperasi terbukti meningkatkan kesintasan keseluruhan pada pasien karsinoma tiroid papiler dengan metastasis jauh, bahkan hingga dua kali lipat pada pasien karsinoma tiroid folikuler dengan metastasis jauh.
Untuk pasien KTB risiko tinggi dengan metastasis jauh yang belum diketahui, dosis I–131 hingga 150 mCi menjadi pilihan. Sedangkan, untuk pasien dengan metastasis jauh yang telah diketahui, direkomendasikan mendapat I–131 dosis empiris 100–200 mCi (100–150 mCi untuk pasien >70 tahun).[3,9]
Persiapan dan Prosedur Radiotiroablasi
Persiapan preradiotiroablasi yang tepat akan meningkatkan efikasi, sehingga tujuan terapi dapat tercapai.
Stimulasi Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
Stimulasi thyroid stimulating hormone (TSH) hingga ≥30 uIU/mL menentukan keberhasilan radiotiroablasi. Saat TSH terstimulasi, ekspresi sodium/iodide symporter (NIS) akan meningkat, sehingga penangkapan I–131 oleh sel kanker tiroid berdiferensiasi (KTB) optimal.[7]
Stimulasi TSH tersebut dapat dicapai dengan cara menghentikan konsumsi levotiroksin selama 3–5 minggu. Penghentian konsumsi levotiroksin ini menyebabkan pasien KTB mengalami gejala hipotiroid selama beberapa minggu.
Gejala hipotiroid tersebut antara lain mudah lelah, depresi, sulit berkonsentrasi, gangguan tidur, peningkatan berat badan, kulit kering, konstipasi, bengkak di daerah wajah atau tungkai, dan dislipidemia. Gejala tersebut terbukti menurunkan kualitas hidup pasien serta performa dalam pekerjaan dan pendidikan.[7]
Sebagai alternatif penghentian konsumsi levotiroksin, dapat dilakukan penyuntikkan recombinant human thyroid thyrotropin (rhTSH) selama dua hari berturut-turut secara intramuskular sebelum radiotiroablasi.[7]
Diet Rendah Iodium
Iodium stabil yang terdapat dalam diet sehari-hari dapat bersifat kompetitif terhadap penangkapan I–131 oleh NIS. Oleh sebab itu, pasien disarankan untuk menghindari obat–obatan yang mengandung iodium tinggi seperti zat kontras, antiseptik, dan amiodarone sebelum radiotiroablasi.[7]
Pasien juga dianjurkan untuk menjalani diet rendah iodium (≤50 µg per hari) selama 1–2 minggu sebelum radiotiroablasi meskipun belum ada bukti bahwa diet rendah iodium berpengaruh signifikan terhadap angka kekambuhan maupun mortalitas. Beberapa penelitian membuktikan bahwa diet rendah iodium menurunkan ekskresi iodium urin dan meningkatkan penangkapan I–131.[7]
Puasa
Makanan dalam lambung akan menurunkan resorpsi I–131 yang diberikan per oral, sehingga pasien diwajibkan puasa makan minimal 4–6 jam sebelum dan 1–2 jam sesudah pemberian I–131.[3]
Isolasi
International Commision on Radiological Protection (ICRP) menganjurkan perawatan isolasi pada pasien yang diterapi dengan dosis I–131 >30 mCi selama beberapa waktu sampai paparan radiasi dari tubuh pasien menjadi <43.5 µSv/jam/meter.[8]
Kesimpulan
Kanker tiroid berdiferensiasi (KTB) memiliki proporsi sebesar kurang lebih 85% dari seluruh kasus kanker tiroid. Tata laksana KTB meliputi pembedahan, radiotiroablasi, dan pemberian hormon tiroid atau levotiroksin.
Radiotiroablasi adalah prosedur pemberian iodium radioaktif (I-131) secara sistemik dengan tujuan menghancurkan sel folikel tiroid. Tujuan radiotiroablasi bisa dibagi menjadi dua, yaitu sebagai modalitas adjuvan pascaoperasi dan terapi kuratif atau paliatif.
Pasien KTB yang tergolong risiko sedang dan tinggi direkomendasikan menjalani radiotiroablasi. Pasien perlu menjalani stimulasi thyroid stimulating hormone (TSH), diet rendah iodium, dan puasa sebelum menjalani radiotiroablasi. Setelah radiotiroablasi, pasien sebaiknya diisolasi hingga radiasi hilang dari tubuhnya.
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli