Skrining kanker kolorektal dilakukan untuk dua tujuan utama, yaitu mendeteksi lesi premaligna dan menghilangkannya agar insiden kanker kolorektal dapat dikurangi atau mendeteksi kanker di stadium awal agar mortalitas dapat dikurangi. Hal ini penting dilakukan mengingat insiden kanker kolorektal terus meningkat seiring bertambahnya jumlah populasi lanjut usia.
Kanker kolorektal umumnya didiagnosis pada pasien yang berusia lebih dari 60 tahun. Penyakit ini memiliki masa laten atau masa premaligna yang cukup lama, sehingga tindakan skrining diperkirakan dapat mengurangi insiden maupun mortalitas. Skrining kanker kolorektal dapat dilakukan secara direct (misalnya dengan endoskopi) atau secara indirect melalui pemeriksaan feses.[1,2]
Populasi yang Membutuhkan Skrining Kanker Kolorektal
Menurut U.S. Preventive Service Task Forces, individu yang memerlukan skrining kanker kolorektal adalah individu yang berisiko tinggi, misalnya individu dengan predisposisi genetik kanker kolorektal, riwayat keluarga menderita kanker kolorektal, sindrom poliposis, akromegali, dan inflammatory bowel disease.[1,3]
Tabel 1. Pedoman Skrining Kanker Kolorektal untuk Individu Berisiko Tinggi
Faktor Risiko | Anjuran Skrining | |
Riwayat keluarga | Hereditary non-polyposis colorectal cancer | Pemeriksaan genetik untuk tumor. Jika positif, lakukan kolonoskopi tiap 2 tahun sejak usia 20–40 tahun, lalu dilanjutkan sekali tiap tahun [1] |
Keluarga derajat pertama yang berusia <50 tahun memiliki kanker kolorektal atau adenoma advanced, atau ada 2 orang keluarga derajat pertama yang memiliki kanker kolorektal atau adenoma advanced | Kolonoskopi tiap 5 tahun sejak usia 40 tahun atau sejak usia 10 tahun lebih muda dari usia kerabat termuda saat diagnosis [1] | |
Inflammatory bowel disease (IBD) | Kolitis ulseratif atau kolitis Crohn’s | Pankolitis: kolonoskopi tiap 2–3 tahun dimulai dari 8–20 tahun sejak diagnosis, lalu dilanjutkan tiap 1 tahun [1] Kolitis sisi kiri: kolonoskopi tiap 2–3 tahun dimulai dari 15–20 tahun sejak diagnosis, lalu dilanjutkan tiap 1 tahun [1] |
Ulseratif kolitis dengan primary sclerosing cholangitis | Skrining dimulai sejak diagnosis ditegakkan [1] | |
Faktor risiko lain | Sindrom poliposis atau familial adenomatous polyposis | Flexible sigmoidoscopy atau kolonoskopi tiap tahun hingga dilakukan kolektomi [1] |
Namun, selain pada populasi yang berisiko tinggi seperti tersebut di atas, skrining juga disarankan bagi populasi umum yang berisiko menengah (average) tetapi yang telah berusia lebih dari 45 tahun. Rekomendasi skrining terutama lebih kuat untuk populasi yang berusia lebih dari 50 tahun.[4]
Skrining Kanker Kolorektal dengan Metode Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses dapat mendeteksi indikator kanker kolorektal seperti perdarahan. Pemeriksaan ini bersifat noninvasif sehingga tidak memiliki risiko bermakna dan tidak membutuhkan biaya/sumber daya yang tinggi. Saat ini juga sudah ada beberapa penelitian yang menguji akurasi diagnostik berbagai pemeriksaan darah untuk skrining kanker kolorektal.[1]
Guaiac Fecal Occult Blood Testing (gFOBt)
Perdarahan tersembunyi intermiten merupakan salah satu gejala kanker kolorektal. Pada gFOBt, feses diletakkan di kertas guaiac lalu mengalami reaksi peroksidase dan berubah warna menjadi biru bila mengandung heme. Pasien dengan hasil positif akan dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut seperti kolonoskopi. Berbagai uji acak klinis dan meta analisis melaporkan bahwa pemeriksaan gFOBt setiap 2 tahun dapat mengurangi mortalitas kanker kolorektal sebesar 13–33%.[1,2]
Kekurangan dari metode ini adalah sifatnya yang tidak spesifik untuk darah manusia, sehingga heme dari sumber daging merah juga dapat terdeteksi. Makanan dengan kandungan peroksidase yang tinggi seperti lobak, brokoli, kembang kol, dan melon juga dapat menyebabkan reaksi positif palsu. Temuan positif palsu dapat menyebabkan dilakukannya pemeriksaan tambahan seperti kolonoskopi yang sebenarnya tidak perlu dan akhirnya meningkatkan risiko komplikasi.[1,2]
Selain itu, gFOBt juga memiliki sensitivitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya. Namun, gFOBt lebih mudah dilakukan, tidak membutuhkan biaya yang mahal, dan telah terbukti efektif mengurangi mortalitas kanker kolorektal, sehingga pemeriksaan ini tetap menjadi tes yang paling sering dilakukan untuk skrining kanker kolorektal tahap awal.[1]
Fecal Immunohistochemical Testing (FIT)
FIT mendeteksi keberadaan darah pada feses dengan menggunakan mono/polyclonal antibody terhadap hemoglobin manusia. Jika terdapat hemoglobin pada feses, akan terbentuk kompleks dengan antibodi yang bisa diukur secara kuantitatif. FIT tidak dipengaruhi oleh asupan makanan dan bersifat lebih spesifik untuk hemoglobin manusia, sehingga risiko positif palsunya lebih rendah daripada gFOBt.
Selain itu, berbeda dengan gFOBt yang membutuhkan beberapa sampel feses, FIT hanya membutuhkan satu kali pengambilan sampel dan bersifat lebih spesifik untuk perdarahan saluran cerna bawah. Meta analisis menunjukkan sensitivitas FIT adalah sebesar 0.79 (95% CI) dan spesifitasnya adalah sebesar 0.94 (95% CI).[1,5]
Pemeriksaan Feses Lainnya
Pemeriksaan feses berbasis DNA masih dikembangkan sampai saat ini. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada FIT untuk deteksi advanced adenoma (42% vs. 23%) dan kanker kolorektal (92% vs. 72%). Namun, biaya pemeriksaan ini cukup mahal dan ketersediaannya masih terbatas.[1,6]
Skrining Kanker Kolorektal dengan Metode Endoskopi
Berbeda dengan pemeriksaan feses yang hanya dapat mendeteksi kanker yang telah terbentuk, endoskopi dapat mendeteksi dan mengangkat lesi premaligna seperti polip sehingga dapat mengurangi insiden kanker kolorektal.
Flexible Sigmoidoscopy (FS)
Skrining kanker kolorektal dapat memakai sigmoidoskopi fleksibel yang dimasukkan ke rektum dan kolon sigmoid. Tujuan utama FS adalah untuk mendeteksi dan mereseksi polip adenomatosa premaligna dan mencegah perkembangan kanker. Beberapa studi melaporkan penurunan insiden kanker kolorektal sebesar 18% dan penurunan angka mortalitas sebesar 26–28% dengan skrining FS.[2,7]
Bila dibandingkan dengan gFOBt atau FIT, FS memiliki angka deteksi neoplasia tingkat lanjut yang lebih tinggi. Namun, FS memiliki sensitivitas dan spesifitas yang masih lebih rendah dibandingkan kolonoskopi.[1,2]
Kolonoskopi
Kolonoskopi dinilai sebagai baku emas deteksi kanker kolorektal. Mayoritas negara menggunakan kolonoskopi sebagai langkah kedua dalam proses skrining setelah hasil FS, gFOBt atau FIT yang positif. Namun, saat ini belum ada uji klinis acak yang sufisien untuk memastikan seberapa besar reduksi insiden dan mortalitas yang dapat dihasilkan oleh kolonoskopi. Studi yang ada hanya berupa simulasi dan studi observasional.
Beberapa model simulasi memperkirakan bahwa kolonoskopi dapat mengurangi insiden kanker kolorektal sebesar 81% dan mengurangi mortalitas individu berusia >50 tahun dengan risiko menengah sebesar 83%.[2,8]
Sementara itu, beberapa studi observasional menunjukkan bahwa kolonoskopi bisa menurunkan mortalitas hingga 42–65% pada kanker kolon dekstra dan hingga 75–76% pada kanker kolon sinistra/kanker rektum.[9,10]
Kelemahan kolonoskopi sebagai skrining adalah biayanya yang lebih mahal, distribusi alat dan tenaga ahli yang mungkin terbatas, dan potensi terjadinya komplikasi seperti perdarahan, perforasi usus, dan efek samping anestesi.[11]
Colon Capsule Endoscopy (CCE)
CCE merupakan pemeriksaan minimal invasif di mana visualisasi kolon dilakukan dengan menelan kapsul endoskopi. Dua meta analisis menunjukkan bahwa prosedur ini memiliki sensitivitas 71–73% untuk mendeteksi semua polip dan 68–69% untuk temuan signifikan (polip ukuran >6 mm atau jumlah polip >3), dengan spesifitas masing-masing 75–89% dan 82–86%.[1]
Kekurangan metode ini adalah bila ada lesi premaligna, kolonoskopi konvensional tetap perlu dilakukan untuk mengangkat lesi. Selain itu, penggunaannya masih dibatasi oleh ketersediaan yang rendah dan biaya yang tinggi.[12]
Skrining Kanker Kolorektal dengan Pemeriksaan Radiologi
Computed tomographic colonography (CTC) dapat digunakan sebagai modalitas skrining awal atau setelah gFOBt/FIT dilakukan. Dalam beberapa uji klinis acak yang membandingkan CTC dengan kolonoskopi pada pasien simtomatik, tingkat deteksi kanker atau polip berukuran >1 cm dilaporkan sebanding dengan kolonoskopi. Namun, untuk lesi yang lebih kecil, sensitivitas CTC turun hingga 50%.[1,13]
Waktu dan Frekuensi Skrining Kanker Kolorektal
Sekitar 80% kasus kanker kolorektal didiagnosis pada individu berusia di atas 60 tahun. Oleh karena itu, sebagian besar program skrining kanker kolorektal dimulai sekitar usia 50–60 tahun.[1,8]
American Cancer Society (ACS) merekomendasikan orang dewasa berusia 45 tahun ke atas dengan risiko kanker kolorektal menengah (average) untuk menjalani skrining rutin dengan pemeriksaan stool based atau pemeriksaan struktural visual.[4]
Rekomendasi ini terutama lebih kuat untuk individu yang berusia lebih dari 50 tahun dan dianjurkan untuk tetap dijalani secara berkala hingga usia 75 tahun. Pada pasien usia 75–85 tahun, skrining hanya dilakukan berdasarkan preferensi pasien, harapan hidup, status kesehatan, dan riwayat skrining sebelumnya. Sedangkan pada pasien usia lebih dari 85 tahun, ACS tidak lagi menyarankan skrining.[4]
Beberapa opsi skrining kanker kolorektal yang dapat dipilih menurut ACS, yaitu:
- FIT setiap tahun
- gFOBt setiap tahun
- Pemeriksaan DNA multitarget pada feses setiap 3 tahun
- Kolonoskopi tiap 10 tahun
CT colonography tiap 5 tahun
Flexible sigmoidoscopy tiap 5 tahun[4]
Efektivitas Skrining Kanker Kolorektal terhadap Penurunan Mortalitas
Beberapa uji klinis acak menunjukkan bahwa skrining dengan gFOBt bisa menurunkan mortalitas hingga 13–33%. Sementara itu, FIT belum memiliki uji klinis acak yang sufisien untuk memastikan angka reduksi mortalitasnya, tetapi dilaporkan memiliki akurasi yang lebih baik daripada gFOBt.[1]
Studi tentang flexible sigmoidoscopy sebagai metode skrining melaporkan penurunan mortalitas sekitar 26%. Namun, saat ini uji klinis acak untuk skrining dengan kolonoskopi masih terbatas sehingga data reduksi mortalitas yang ada berasal hanya dari simulasi dan studi observasional. Data menunjukkan bahwa kolonoskopi mampu mengurangi mortalitas hingga 42–65% pada kanker kolon kanan dan hingga 75–76% pada kanker kolon kiri/kanker rektum.[9,10]
Kesimpulan
Kebijakan skrining kanker kolorektal sangat bervariasi antar negara karena hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya. Metode invasif seperti kolonoskopi dinilai sebagai baku emas deteksi kanker kolorektal. Namun, mengingat distribusinya yang terbatas, biayanya yang tinggi, dan risikonya yang cukup bermakna, metode noninvasif yang lebih terjangkau seperti FIT atau gFOBt dapat dijadikan lini pertama.[1,14]
FIT dilaporkan lebih akurat daripada gFOBt. Namun, individu dengan hasil FIT maupun gFOBt positif tetap perlu menjalani kolonoskopi untuk konfirmasi. Alternatif skrining lain adalah CT colonography, flexible sigmoidoscopy, dan colon capsule endoscopy.
Pada populasi dengan risiko rerata (average), skrining terutama disarankan sejak usia 50–60 tahun hingga usia 75 tahun. FIT dan gFOBt dapat dilakukan secara berkala setiap tahun, sedangkan kolonoskopi dapat dilakukan sekali setiap 10 tahun.[4,14]