Strategi meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien PPOK (penyakit paru obstruksi kronis) sangat diperlukan. Hal ini karena PPOK membutuhkan terapi jangka panjang untuk mencegah eksaserbasi, hospitalisasi, perburukan kualitas hidup, serta kematian.
PPOK merupakan kondisi penyakit paru kronis yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara paru, dispnea, dan eksaserbasi berulang. PPOK merupakan penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas di dunia serta penyebab kematian ketiga di dunia. Lebih dari 80% dari kematian ini terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penatalaksanaan PPOK yang efektif membutuhkan kepatuhan terapi jangka panjang, berupa farmakologi dan intervensi non farmakologi.[1]
Tipe Ketidakpatuhan Pengobatan Pasien PPOK
Ketidakpatuhan pada pengobatan PPOK selain meningkatkan eksaserbasi juga berpengaruh pada tingginya angka mortalitas pada pasien PPOK.[2]
Untuk menentukan strategi yang tepat agar kepatuhan pengobatan pada pasien PPOK meningkat, harus diketahui terlebih dahulu tipe ketidakpatuhan pasien. Tipe ketidakpatuhan terdiri dari yang disengaja dan yang tidak disengaja.[3]
Ketidakpatuhan yang Disengaja
Pasien dengan sengaja tidak memulai atau melanjutkan terapi seringkali diakibatkan oleh pemahaman yang kurang. Edukasi pasien PPOK kurang tepat tentang perjalanan penyakit, risiko komplikasi, dan tujuan pengobatan.[3]
Ketidakpatuhan yang Tidak Disengaja
Ketidakpatuhan yang tidak disengaja dapat terjadi karena gangguan kognitif atau hambatan bahasa dan fisik, sehingga terjadi kesalahpahaman pasien tentang penyakit maupun saran pengobatan. Selain itu, regimen pengobatan yang sangat kompleks atau pengingat yang kurang untuk pengobatan secara teratur juga dapat menjadi penyebab.[3]
Faktor Penyebab Ketidakpatuhan Pengobatan Pasien PPOK
Beberapa studi telah melaporkan bahwa peningkatan kepatuhan pengobatan pada PPOK dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, dengan mengurangi tingkat keparahan eksaserbasi, morbiditas, mortalitas, dan hospitalisasi.[4,5]
Analisis data retrospektif oleh Humenberger et al (2018) melaporkan bahwa kepatuhan pasien PPOK terhadap terapi inhalasi umumnya rendah, yaitu berkisar 33,6%. Beberapa faktor penyebab pasien PPOK tidak patuh menjalankan terapi adalah durasi yang lama, regimen pengobatan yang banyak, efek samping, dan komorbid seperti diabetes melitus dan hipertensi[6-8]
Efek samping yang sering menjadi alasan menghentikan terapi seperti sinus takikardi dan tremor pada long acting β2 agonist; mulut kering pada long acting muscarinic antagonist; serta kandidiasis, suara serak, dan pneumonia pada penggunaan kortikosteroid inhalasi.[6-8]
Studi Humenberger et al juga menemukan bahwa +45% pasien PPOK yang memakai inhaler dengan teknik yang benar. Teknik bermasalah yang paling sering adalah kapasitas sisa paru-paru yang kurang karena pasien tidak menghembuskan napas maksimal sebelum penggunaan inhaler, dan ketidakmampuan pasien untuk menahan napas selama waktu yang disarankan setelah penggunaan inhaler.[7]
Beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pengobatan adalah:
- Sosioekonomi: biaya pengobatan dan tidak ada dukungan sosial
- Terapi: durasi pengobatan yang terlalu lama, regimen terapi yang kompleks, efek samping pengobatan, terapi sebelumnya yang gagal, dan durasi respons terapi yang cukup lama
- Kondisi penyakit: pasien telah menderita penyakit ini sangat lama, tingkat keparahan dan frekuensi gejala yang semakin meningkat, dan gejala pasien berkurang sebagai respons terapi
- Sistem pelayanan kesehatan: komunikasi antara dokter dan pasien kurang baik, jarak antara rumah dengan fasilitas kesehatan yang jauh, waktu antri yang lama untuk konsultasi dengan dokter, waktu konsultasi kurang memadai, dan follow up setelah pengobatan yang kurang
- Kondisi pasien: pengetahuan terhadap penyakit dan pengobatan yang kurang, ketidakpercayaan, motivasi yang kurang, kepercayaan diri rendah, dan kesulitan mengingat[3]
Strategi Meningkatkan Kepatuhan Pengobatan Pasien PPOK
Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien PPOK pada dasarnya tidak dapat hanya menggunakan satu intervensi saja, tetapi beberapa aspek dilakukan bersamaan. Meta analisis oleh Janjua et al, 2021, menemukan bahwa multicomponent intervention dapat meningkatkan kepatuhan.[9]
Komponen intervensi yang dimaksud terdiri dari perubahan regimen obat, edukasi, motivasi atau cognitive behavioural therapy, serta komunikasi pasca pemberian obat. Follow up terapi dapat dilakukan dengan tenaga kesehatan langsung, atau melalui self management dengan telepon genggam.[9]
Self Management Education Intervention
Edukasi penyakit PPOK berdasarkan GOLD (the global initiative for chronic obstructive lung disease) tahun 2020 meliputi penjelasan tentang faktor risiko, penghentian merokok, dan kemungkinan risiko eksaserbasi dan perkembangan penyakit. Selain itu, penting diberikan penjelasan mengenai teknik pernafasan dan teknik penggunaan inhaler dengan benar.[6]
GOLD juga menyebutkan pentingnya memberikan edukasi tentang kepatuhan pengobatan setiap pasien kontrol. Namun, edukasi saja hanya akan meningkatkan pengetahuan dalam jangka waktu pendek, dan tidak mengubah perilaku maupun motivasi pasien. Bila hanya melakukan edukasi saja kurang efektif (evidence C).[6]
Oleh karena itu, dibutuhkan self-management education intervention yang tidak hanya memberikan penjelasan kepada pasien, tetapi tenaga kesehatan harus memotivasi, melibatkan, dan melatih pasien untuk secara positif meningkatkan perilaku kesehatan dan mengembangkan keterampilan untuk menangani PPOK dengan lebih baik.[6]
Komunikasi untuk self-management education intervention akan meningkatkan derajat kesehatan pasien dan menurunkan risiko hospitalisasi (evidence B). Pada komunikasi ini, diharapkan pasien dapat berdiskusi dua arah dengan dokter atau tenaga kesehatan lain mengenai penyakit yang diderita, saran pengobatan, dan kendala yang dialami pasien.[3]
Penelitian non-randomized controlled trial oleh Yu et al, pada tahun 2014 di China dan melibatkan 84 subjek, mendapatkan peningkatan kualitas hidup selama 6 bulan pada kelompok pasien yang menerima self management education intervention. Penelitian tersebut menggunakan pengisian kuesioner St George’s respiratory questionnaire (SGRQ) yang di antaranya berisi gejala penyakit, keterbatasan aktivitas fisik, dan efek penyakit yang dirasakan.[10]
Program self management education intervention mencakup metode berikut:
- Pengajaran tatap muka selama 40 menit, di mana pasien belajar teknik pernapasan, penggunaan inhaler, cara mengenali dan mencegah eksaserbasi.
Follow up melalui telepon, pesan teks, dan penulisan buku catatan harian (written action plan) yang berisi materi pengajaran, gejala yang dialami, penilaian diri, serta riwayat medis. Riwayat medis yang perlu ditulis adalah nama obat, dosis, cara/instruksi penggunaan, dan rincian kunjungan dokter.[6,10]
Pengingat Penggunaan Obat:
Penelitian randomized clinical trial oleh Vollmer et al, pada tahun 2011 melibatkan 8.517 pasien yang diingatkan penggunaan obat melalui telepon, mendapatkan peningkatan kepatuhan inhaler kortikosteroid sebanyak 2%.[11,12]
Regimen Obat yang Sederhana
GOLD 2020 merekomendasikan triple therapy untuk pasien PPOK (evidence A), yaitu kortikosteroid inhalasi, long acting muscarinic antagonist, dan long acting β2 agonist (ICS/LAMA/LABA).[6,13]
Akan tetapi, triple therapy menyebabkan regimen yang kompleks, baik karena penggunaan beberapa inhaler, waktu penggunaan yang berbeda dalam sehari, frekuensi harian yang berbeda, maupun teknik inhalasi yang juga berbeda. Hal ini berisiko menurunkan kepatuhan pengobatan.[6,13]
Pengurangan jumlah inhaler dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Penelitian retrospective cohort oleh Bogart et al, pada tahun 2019 di Amerika Serikat dan melibatkan 14.635 pasien, menemukan rata-rata kepatuhan pengguna single inhaler ICS/LABA atau LAMA lebih tinggi (49% pada 12 bulan). Sedangkan pada multiple inhaler triple therapy yang menggunakan 3 jenis inhaler berbeda, rata-rata kepatuhan pada 12 bulan sangat rendah (0,37%).[8,13]
Penggunaan single inhaler triple therapy, di mana 1 inhaler mengandung LABA, LAMA, dan ICS, dapat membantu pasien. Penelitian double-blind, parallel group, randomised controlled oleh Singh et al, pada tahun 2016 di Inggris dengan 1.368 subjek, menunjukkan persentase pasien yang mengalami eksaserbasi sedang hingga berat lebih rendah pada kelompok pasien yang menggunakan single inhaler triple therapy (31%), dibandingkan inhaler yang berisi kombinasi kortikosteroid inhalasi dengan long-acting β2-agonist saja (35%).[6,8]
Strategi Pelayanan Kesehatan Elektronik
Strategi peningkatan kepatuhan sebaiknya melibatkan semua aspek, yaitu regimen obat yang sederhana, edukasi konseling, pemantauan, dan pembinaan. Dukungan tambahan juga dapat mendukung, seperti komunikasi dan pengingat melalui text message atau panggilan telepon dari tenaga kesehatan.[11]
Intervensi eHealth atau pelayanan kesehatan elektronik dapat dipertimbangkan sebagai alat yang efektif untuk mengatasi ketidakpatuhan pengobatan pada pasien dengan penyakit kronis. Hal ini termasuk aplikasi kesehatan digital yang memiliki telemedicine untuk telekonsultasi, telemonitoring, rekam medis elektronik, dan program pengingat minum obat.[11]
Pada systematic review oleh Schulte et al tahun 2021, dari 6 studi yang disertakan, 4 studi yang berfokus pada kepatuhan pengobatan pada PPOK menunjukkan intervensi eHealth lebih efektif daripada perawatan seperti biasa dalam hal meningkatkan kepatuhan pengobatan. Intervensi melibatkan telemonitoring gejala dan kepatuhan, pendidikan dan konseling (misalnya pengetahuan tentang penyakit, berhenti merokok, teknik inhaler, dukungan psikologis), dan catatan harian (misalnya untuk membantu pasien mengidentifikasi eksaserbasi penyakit).[14]
Strategi di Indonesia
Strategi peningkatan kepatuhan sebaiknya melibatkan semua aspek. Intervensi eHealth atau pelayanan kesehatan elektronik dapat dipertimbangkan sebagai upaya self management education intervention yang dapat lebih mudah dilakukan oleh pasien. Melalui eHealth, pasien dapat belajar, dibimbing, berdiskusi, dan konseling yang tidak terbatas dengan jarak. eHealth juga dapat memantau lebih baik dan menjadi pengingat untuk pengobatan lebih teratur, sehingga kepatuhan terapi menjadi lebih baik.[6,11,13]
Selain itu, pengurangan jumlah regimen obat, yakni menggunakan single inhaler triple therapy sebaiknya tersedia dan mudah diresepkan, untuk membantu kepatuhan pasien.[6,11,13]
Kesimpulan
Kepatuhan pengobatan pada pasien PPOK (penyakit paru obstruksi kronis) dapat menurunkan tingkat eksaserbasi, hospitalisasi, morbiditas, dan mortalitas. Penyebab ketidakpatuhan pengobatan ada yang disengaja, dan tidak disengaja. Penyebab tersering pasien sengaja untuk tidak memulai atau melanjutkan terapi karena pemahaman yang kurang tentang penyakitnya. Pasien tidak sengaja untuk tidak patuh biasanya karena gangguan kognitif atau hambatan bahasa dan fisik, sehingga terjadi kesalahpahaman pasien tentang penyakit, ataupun saran pengobatan; serta regimen pengobatan yang kompleks dan pasien sering lupa untuk menjalani pengobatan.
Intervensi untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan harus melibatkan semua aspek. Di Indonesia, untuk mengurangi ketidakpatuhan akibat regimen obat yang kompleks, dapat menggunakan single inhaler triple therapy (1 inhaler berisi LABA/LAMA/ICS).
Selain itu, penting untuk meningkatkan pengetahuan dan peran pasien selama terapi melalui self management education intervention. Tenaga kesehatan tidak hanya memberikan edukasi kepada pasien, tetapi juga memotivasi, melibatkan, dan melatih pasien mengembangkan keterampilan untuk menangani penyakitnya dengan baik. Hal ini sebaiknya diiringi dengan peningkatan teknologi, yaitu dengan telemonitoring menggunakan pelayanan kesehatan elektronik atau eHealth.
Pasien yang menggunakan eHealth dapat melakukan pembelajaran, bimbingan, berdiskusi, dan konseling mengenai pernapasan, penggunaan inhaler, cara mengenali dan mencegah eksaserbasi. eHealth juga dapat terus mengingatkan pasien untuk menggunakan obat, sehingga ketidakpatuhan terapi dapat dihindari.