Berbagai studi meneliti terapi nonfarmakologis untuk mengatasi kram otot ekstremitas bawah. Kram otot merupakan kondisi yang sering ditemukan pada orang sehat maupun orang dengan penyakit tertentu, termasuk atlet, orang lanjut usia, dan pasien dengan penyakit liver kronis.
Kram otot menimbulkan nyeri yang dapat berdampak terhadap aktivitas sehari-hari, kualitas tidur, dan kualitas hidup penderitanya.
Sekilas tentang Kram Otot
Kram otot adalah kontraksi otot rangka yang terjadi secara tiba-tiba dan involunter dan menyebabkan nyeri. Secara elektrofisiologis, kram otot ditandai dengan rekrutmen berulang aksi potensial unit motorik hingga 150 kali per detik.
Kram otot ditandai dengan nyeri hebat selama beberapa detik hingga menit dilanjutkan dengan adanya nyeri otot ikutan karena kerusakan otot yang dapat berlangsung hingga 2-14 hari. Kram otot dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya karena dapat mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari.[1,2]
Kram otot dapat terjadi pada siang maupun malam hari, lebih sering terjadi pada malam hari dan pada saat aktivitas. Kram otot dapat mengenai semua kelompok usia dan tersering pada anak dibawah 8 tahun. Durasi kram otot biasanya dibawah 10 menit dan lebih sering mengenai otot pada ekstremitas bawah terutama otot betis.[1,2]
Faktor risiko atau kondisi yang sering menyebabkan terjadinya kram otot antara lain wanita hamil, lansia di atas 60 tahun, pasien dengan fibromyalgia, arthritis, vena varikosa, sirosis hepatis, pasien yang menjalani hemodialisis. Juga pada pasien dengan gangguan neurologis seperti pada neuropati perifer, stenosis kanal spinalis, penyakit motor neuron (amyotrophic lateral sclerosis), dan penyakit Charcot-Marie-Tooth.[1,2]
Diagnosis kram otot biasanya cukup ditegakkan secara klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti palpasi otot, pada kondisi tertentu dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti elektromiografi. Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis diperlukan untuk mendiagnosis kondisi penyerta atau menyingkirkan diagnosis banding.[3]
Tata Laksana Kram Otot
Terapi kram otot meliputi tata laksana farmakologis dan nonfarmakologis. Tata laksana farmakologis meliputi pemberian kina sulfat, gabapentin, magnesium, vitamin E, calcium channel blocker, naftidrofuril oksalat, dan kalsium. Tata laksana nonfarmakologis meliputi peregangan otot, pijat atau masase, relaksasi, stimulasi sensorik, penggantian alas kaki, penurunan berat badan, olahraga, menghindari kelelahan, terapi panas, kompresi, dan pemakaian splint dorsofleksi pada malam hari.[1,2]
Pemanasan atau peregangan otot yang adekuat serta hidrasi yang cukup sebelum aktivitas dapat mencegah kram otot yang dipicu oleh aktivitas.[4]
Bukti Ilmiah Tata Laksana Nonfarmakologis untuk Kram Otot
Mekanisme kram otot masih belum dipahami sepenuhnya, sehingga terapi farmakologis yang digunakan kebanyakan bersifat empirik. Terapi nonfarmakologis dengan berbagai modalitas, seperti peregangan otot, akupunktur, dan NMES, diharapkan dapat bermanfaat mengurangi frekuensi kram otot.
Peregangan Otot
Sebuat tinjauan dan meta-analisis Cochrane meneliti 3 uji acak terkontrol dengan total 201 partisipan berusia di atas 50 tahun. Studi ini bertujuan menilai efektivitas peregangan otot untuk mengurangi kram otot ekstremitas bawah yang diukur dengan visual analog score 10 cm (VAS).
Studi pertama menilai kombinasi peregangan betis dan hamstring setiap hari selama 6 minggu dan dibandingkan dengan tanpa intervensi. Hasilnya ditemukan bahwa keparahan kram otot ekstremitas bawah nokturnal berkurang pada setelah peregangan otot..
Studi kedua mengemukakan bahwa peregangan betis saja selama 12 minggu hanya menghasilkan sedikit atau bahkan tanpa manfaat terhadap frekuensi kram otot ekstremitas bawah nokturnal pada orang berusia 60 tahun ke atas.
Sementara itu, studi ketiga memiliki bukti ilmiah sangat tidak pasti untuk kombinasi peregangan otot betis, hamstring, dan kuadriseps yang dilakukan setiap hari pada subjek perempuan dengan sindrom metabolik yang berusia 50-60 tahun. Limitasi penelitian ini adalah kepastian bukti dari masing-masing studi yang diteliti rendah, yang diakibatkan tidak memungkinkannya untuk menganalisis data frekuensi kram secara keseluruhan dan skala untuk mengukur kram otot belum divalidasi.
Tidak ada efek samping dari intervensi yang dilakukan pada ketiga studi ini. Tidak didapatkan efek terapeutik pada kualitas tidur dan kualitas hidup penderita pada ketiga studi ini.[1]
Sebuah studi acak oleh Hallegraeff et al dilakukan pada 80 pasien berusia di atas 55 tahun dengan kram otot ekstremitas bawah nokturnal. Peregangan otot betis dan paha sesaat sebelum tidur selama 6 bulan dapat menurunkan frekuensi dan keparahan kram otot nokturnal, dibandingkan tanpa intervensi.[5]
Studi di India juga mengemukakan temuan sejalan dengan penelitian di atas. Terdapat perbaikan signifikan pada tingkat kram otot pada pasien hemodialisis yang menjalani latihan peregangan otot saat hemodialisis dilakukan.[6]
Elektroakupunktur
Metode nonfarmakologis lain yang diteliti adalah elektroakupunktur. Sebuah studi di Korea Selatan pada tahun 2018 meneliti efektivitas dan keamanan elektroakupunktur pada 14 pasien sirosis hepatis yang menderita kram otot. Elektroakupunktur dilakukan 3 kali seminggu selama 4 minggu, total 12 kali. Frekuensi stimulasi elektrik yang digunakan adalah 100 Hz. Evaluasi kram otot diukur menggunakan kuesioner yang memuat gejala subjektif.
Dari aspek keamanan, peneliti juga menilai skor Child-Pugh dan pemeriksaan darah. Hasil studi melaporkan bahwa elektroakupunktur dengan elektrostimulasi 100 Hz yang dilakukan 3 kali seminggu selama 4 minggu (12 kali) efektif dan aman untuk mengurangi keluhan kram otot.
Perbaikan gejala ini bertahan hingga 4 minggu setelah terapi. Penelitian ini masih merupakan pilot study, memiliki metodologi penelitian yang buruk, dan tidak memiliki grup kontrol. Oleh karena itu, tidak ada kesimpulan yang bisa ditarik yang mendukung elektroakupunktur sebagai manajemen kram otot.[7]
Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES)
Neuromuscular electrical stimulation (NMES) pada betis diteliti dapat meningkatkan frekuensi ambang kram. Belakangan ini ditemukan bahwa frekuensi ambang kram berkorelasi terbalik dengan kerentanan individu untuk mengalami kram.
Pada tahun 2017, Behringer et al meneliti penggunaan NMES pada 19 subjek yang mengalami setidaknya satu kali kram betis dalam seminggu. NMES dilakukan pada tungkai yang mengalami kram sebanyak 2 kali seminggu selama 6 minggu (intervensi) dan dibandingkan dengan tungkai yang tidak distimulasi (kontrol).
Frekuensi kram betis spontan terlihat berkurang sebanyak 78% pada otot yang distimulasi dan 63% pada otot yang tidak distimulasi, bila dibandingkan dengan 2 minggu sebelum intervensi. Hanya pada tungkai yang distimulasi terlihat peningkatan frekuensi ambang kram. Tingkat keparahan kram betis juga cenderung lebih rendah setelah intervensi. Ini mengindikasikan bahwa NMES terlihat efektif sebagai upaya pencegahan kram otot yang reguler.[8]
Limitasi studi ini adalah jumlah sampel yang kecil, tanpa grup kontrol, dan tanpa blinding. Peneliti menggunakan kaki sebelahnya sebagai kontrol, sehingga terdapat kemungkinan efek plasebo dari intervensi. Selain itu, tidak dapat dilakukan randomisasi pada studi ini.[8]
Latihan Otot pada Pasien Hemodialisis
Program latihan isotonik merupakan salah satu intervensi dinilai memiliki peran untuk mengurangi efek samping hemodialisis, termasuk kram otot. Sebuah studi di Iran meneliti 60 pasien hemodialisis. Latihan isotonik dilakukan dalam 10 sesi bersepeda (minimal 10 menit tiap sesi) sesaat sebelum dialisis. Luaran yang diteliti adalah kram otot selama hemodialisis. Hasil studi menunjukkan frekuensi kram otot pada kelompok intervensi lebih rendah daripada kelompok nonintervensi.
Limitasi studi ini adalah sering kali pasien hemodialisis memiliki komorbiditas, seperti edema paru, gagal jantung, dan amputasi tungkai bawah, yang tidak memungkinkan mereka untuk melakukan siklus latihan.[9]
Kesimpulan
Kram otot merupakan suatu kondisi yang sering terjadi yang dikarakteristikkan dengan kontraksi involunter secara tiba-tiba. Kondisi ini dapat menurunkan kualitas hidup seseorang bila sering timbul. Patofisiologi kram otot masih belum dipahami sepenuhnya, sehingga terapi farmakologis yang digunakan kebanyakan bersifat empirik.
Terapi nonfarmakologis dengan berbagai modalitas, seperti peregangan otot, akupunktur, dan NMES, diharapkan dapat bermanfaat mengurangi frekuensi kram otot. Akan tetapi, bukti ilmiah yang ada secara umum belum dapat menunjukkan bukti yang kuat akan masing-masing modalitas nonfarmakologis tersebut. Kebanyakan studi yang ada memiliki jumlah sampel yang kecil, metodologi penelitian yang buruk, dan tanpa grup kontrol sebagai pembanding, dan menggunakan blinding palsu.
Peregangan otot merupakan modalitas nonfarmakologis yang paling menjanjikan untuk mengurangi frekuensi kram otot nokturnal. Pada pasien yang menjalani hemodialisis, latihan bersepeda sebelum prosedur yang dilakukan dengan pengawasan isometrik juga bermanfaat untuk mengatasi kram otot. Namun, latihan ini terbatas dilakukan oleh pasien yang cukup fit untuk berolahraga.
Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan desain lebih baik diperlukan untuk memastikan tata laksana nonfarmakologis mana yang efektif untuk mengurangi kram otot ekstremitas bawah.