Dalam penanganan otomikosis, antifungal topikal dapat diberikan dalam bentuk tetes telinga ataupun krim. Otomikosis atau otitis eksterna fungal merupakan infeksi jamur pada kanalis auditori eksterna, liang telinga, membran timpani, hingga telinga tengah. Otomikosis memiliki korelasi dengan kondisi lingkungan seperti iklim yang panas dan lembab, penyalahgunaan antibiotik topikal pada telinga, dan imunodefisiensi. Mayoritas kasus otomikosis disebabkan oleh Aspergillus. Patogen terbanyak kedua adalah Candida.[1-4]
Pilihan penatalaksanaan otomikosis mencakup penggunaan obat topikal agen antifungal, keratolitik, dan antiseptik. Meski demikian, penatalaksanaan dan eradikasi fungal memiliki tantangan tersendiri, yakni tingkat rekurensi yang tinggi dan pemilihan jenis sediaan obat antifungal yang sesuai dengan kondisi klinis pasien.[2,5,6]
Prinsip Manajemen Otomikosis
Manajemen otomikosis atau otitis eksterna akibat jamur bertujuan untuk menghilangkan jamur patogen penyebab dengan menggunakan obat antifungal topikal maupun sistemik, aural toilet, serta pengendalian faktor prediposisi. Antifungal merupakan agen yang paling sering digunakan, meskipun beberapa dokter juga meresepkan keratolitik, antiseptik, dan antimikroba.[1,5-9]
Clotrimazole merupakan salah satu agen antifungal yang telah dilaporkan paling efektif untuk terapi farmakologi otomikosis. Kisaran tingkat efikasi clotrimazole telah dilaporkan sebesar 95% sampai 100%. Miconazole merupakan pilihan lainnya, dengan efikasi dilaporkan sebesar 90%. Meski demikian, telah terdapat laporan adanya peningkatan resistensi Aspergillus terhadap clotrimazole dan miconazole.[3,9-12]
Pemilihan jenis antifungal dan sediaan obat untuk terapi otomikosis bergantung pada kondisi klinis pasien. Ini mencakup luasnya infeksi, keadaan membran timpani, patogen penyebab, dan pola kerentanan. Sediaan obat topikal krim dan salep antifungal dianggap bermanfaat karena menghasilkan kontak yang lebih lama dengan area yang mengalami otomikosis dibandingkan dengan sediaan tetes telinga.[3,9-13]
Penggunaan Tetes Telinga pada Otomikosis
Tetes telinga clotrimazole 1% diberikan pada telinga yang mengalami infeksi 2-3 kali/hari, sebanyak 3-5 tetes, dengan durasi penggunaan berkisar 7-10 hari. Pilihan lain adalah miconazole 2% yang diberikan 2 kali/hari, sebanyak 5 tetes, selama maksimal 14 hari.
Asam asetat 2% dalam alkohol 70% juga direkomendasikan dalam terapi farmakologi otomikosis. Asam asetat 2% dalam alkohol 70% dapat diberikan dengan frekuensi 2-3 kali/hari sebanyak 3-5 tetes, yang dapat digunakan 5-7 hari sesuai dengan indikasi dan kondisi klinis pasien. Larutan ini memiliki efek ganda, yaitu menyebabkan pemisahan fungal dari kanalis auditori eksternal dan mengganggu keseimbangan asam basa di dalam sel fungal, sehingga menyebabkan kematian sel fungal dan menghambat proliferasi fungal.[1,3,5-9]
Dalam pemberian obat tetes telinga pada pasien otomikosis, penting untuk mengevaluasi keadaan membran timpani terlebih dahulu. Topikal drops tidak direkomendasikan pada pasien dengan membran timpani yang mengalami perforasi, karena akan memperburuk kondisi klinis pada pasien otomikosis.[6,9-12]
Kendala Pemberian Tetes Telinga pada Otomikosis
Kendala utama dari penggunaan tetes telinga adalah faktor kepatuhan pasien dan cara pemberian tetes telinga yang rumit. Untuk bekerja efektif, obat tetes telinga perlu diberikan berulang kali dan cara meneteskan juga harus benar agar obat mengenai area yang sakit. Kebanyakan pasien memerlukan bantuan orang lain untuk meneteskan obat. Terdapat studi yang melaporkan bahwa hanya 40% pasien dapat menggunakan obat tetes telinga dengan benar secara mandiri.[6,7,11]
Pemberian antifungal tetes telinga pada pasien dengan otomikosis juga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, seperti sensasi terbakar pada telinga selama pengobatan. Sensasi terbakar tersebut disebabkan oleh sifat dari larutan antifungal yang dapat mengiritasi mukosa telinga tengah.[6,7]
Pada pasien otomikosis dengan perforasi, tetes telinga tidak direkomendasikan karena memiliki sifat ototoksisitas. Selain itu, obat antifungal dalam bentuk sediaan tetes tersedia dalam pilihan obat yang terbatas bila dibandingkan dengan obat antifungal dalam bentuk krim.[7,11,13]
Penggunaan Krim pada Otomikosis
Pada pengobatan otomikosis, clotrimazole krim 1% biasanya dioleskan pada tampon telinga dan dimasukkan ke dalam liang telinga setelah pasien menjalani aural toilet (debridement). Alternatif antifungal lain adalah krim miconazole 2% dan ketoconazole 2%.[2,6,9-12]
Terapi kombinasi dalam bentuk salep seperti nystatin 100.000 U/g yang dikombinasikan dengan triamcinolone acetonide 0,1%, neomycin sulfate 0,25%, dan gramicidin 0,025% juga dapat berikan 2‒3 kali sehari pada kanal telinga. Sediaan ini terutama digunakan pada pasien otomikosis dengan infeksi bakteri sekunder.[9-12]
Kendala Pemberian Krim pada Otomikosis
Pemberian obat antifungal dengan sediaan krim melalui tampon telinga dianggap berisiko menyebabkan akumulasi kelembaban yang dapat menciptakan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat keberhasilan terapi.[2,3,6]
Pemasangan tampon pada liang telinga yang dilakukan setiap hari juga dapat menimbulkan keluhan gatal, rasa tertekan pada liang telinga, telinga terasa penuh, dan nyeri.[3,6]
Perbandingan Efikasi Tetes Telinga dan Krim dalam Terapi Otomikosis
Sebuah studi prospektif acak terkontrol oleh Mishra et al (2017) membandingkan efikasi clotrimazole 1% dalam bentuk tetes telinga dengan sediaan krim. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan dengan melibatkan 60 pasien yang secara klinis didiagnosis menderita otomikosis. Gejala klinis (nyeri, pruritis, dan sensasi tersumbat) dievaluasi pada 1-2 minggu setelah pemberian obat.
Studi ini menunjukkan bahwa clotrimazole tetes telinga dan krim memiliki efikasi yang sebanding dalam penatalaksanaan otomikosis. Penggunaan krim clotrimazole 1% dilaporkan menyebabkan block sensation (rasa tersumbat pada telinga) selama 7 hari pertama. Meski demikian, 45 dari 60 pasien yang dilibatkan dalam studi ini lebih memilih penggunaan obat topikal krim dibandingkan tetes telinga karena mudah diaplikasikan.[11]
Kesimpulan
Otomikosis merupakan infeksi pada kanalis auditori eksterna, liang telinga, membran timpani, hingga telinga tengah yang disebabkan oleh jamur. Obat antifungal, seperti clotrimazole dan miconazole, merupakan tata laksana yang paling banyak digunakan, disertai dengan aural toilet. Antifungal biasanya diberikan dalam bentuk tetes telinga atau krim, tetapi tampaknya tidak ada perbedaan efikasi bermakna antara keduanya. Pemilihan jenis sediaan topikal perlu dilakukan secara individual dengan mempertimbangkan luasnya infeksi, keadaan membran timpani, patogen penyebab, pola resistensi, dan preferensi pasien.