Hingga kini belum ada konsensus mengenai efikasi antifungal yang lebih superior untuk penanganan otomikosis. Otomikosis adalah otitis eksterna yang disebabkan oleh infeksi jamur superfisial pada kulit liang telinga.
Insidens otomikosis berkisar antara 7–9% dari seluruh kasus otitis eksterna. Saat ini golongan azole merupakan antifungal yang paling sering digunakan untuk penanganan otomikosis, tetapi belum ada kesepakatan bersama mengenai sediaan, teknik, serta durasi pemberian yang optimal.[1–3]
Penyebab dan Faktor Risiko Otomikosis
Jamur dapat berperan sebagai patogen primer atau superimposed dari infeksi bakteri pada kasus otitis eksterna. Aspergillus spp (74%) dan Candida spp (26%) merupakan kelompok jamur yang paling sering ditemukan sebagai penyebab otomikosis, di mana Aspergillus niger, Candida albicans, Aspergillus flavus, dan Aspergillus fumigatus merupakan spesies yang terbanyak.
Kontroversi pemilihan antifungal terkait pertimbangkan pentingnya identifikasi spesies penyebab sebelum dilakukan pengobatan. Beberapa klinisi memandang penting untuk mengidentifikasi spesies jamur terlebih dahulu sebelum memilih antifungal yang sesuai. Sedangkan kelompok lain memilih memberikan antifungal empiris tanpa uji sensitivitas.[1,4,6,7]
Otomikosis lebih banyak ditemukan di negara tropis yang memiliki kelembaban tinggi seperti Indonesia. Otomikosis dapat dijumpai pada semua golongan usia, tapi kejadiannya dilaporkan meningkat pada pasien yang rutin melakukan olahraga air. Prevalensi otomikosis juga meningkat bila pasien memiliki riwayat kelainan kulit, seperti psoriasis dan dermatomikosis.
Faktor risiko lain otomikosis adalah adanya riwayat benda asing organik seperti partikel kayu atau tanaman; infeksi jamur pada kuku, penggunaan antibiotik tetes telinga jangka panjang, dan kebiasaan mengorek telinga. Infeksi telinga kronis atau yang tidak mendapat terapi adekuat, pasien imunokompromais dan kanker yang menjalani radioterapi, obstruksi telinga akibat serumen, pascapembedahan telinga, serta penggunaan earplug, earphone, atau headphone berkepanjangan, juga merupakan faktor risiko.[1,4–6,10]
Tinjauan Mengenai Tata Laksana Otomikosis
Otomikosis dapat dicurigai apabila pasien mengeluhkan telinga terasa gatal, adanya otore, dan berdasarkan temuan otoskopi didapatkan elemen jamur. Gejala otomikosis lainnya yang dapat ditemukan adalah rasa penuh di telinga, gangguan pendengaran, telinga berdenging, dan nyeri telinga. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya edema, hiperemi, penyempitan liang telinga, atau otore yang disertai elemen jamur, serta umumnya terjadi unilateral.[1,2,8,10]
Gambar 1. Gambaran otoskopi kanalis akustikus eksternus pada penderita otomikosis.
Tata laksana utama otomikosis meliputi pemberian antifungal dan pembersihan berkala liang telinga. Setidaknya terdapat enam kelompok obat antifungal, yaitu golongan azole, polyene, analog nukleosida, echinocandin, antiseptik, dan hidroksikuinolon.[1,4,8]
Golongan azole paling sering digunakan karena tersedia secara luas, tidak ototoksik sehingga dapat digunakan pada kasus dengan perforasi membran timpani, dan jarang mengalami resistensi. Yang termasuk obat golongan azole adalah bifonazole, clotrimazole, eberconazole, fluconazole, dan miconazole. Selama pengobatan otomikosis juga perlu dilakukan pembersihan debris secara rutin, yaitu aural atau ear toilet. Tindakan pembersihan ini diperlukan untuk meningkatkan efikasi obat topikal.
Modifikasi faktor risiko juga diperlukan agar pengobatan otomikosis menjadi optimal dan mengurangi risiko rekurensi. Kegagalan terapi inisial dilaporkan mencapai 13%, sementara rekurensi diperkirakan berkisar 5–15% kasus.
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional sebaiknya dihindari untuk mencegah pertumbuhan jamur berlebih dan meningkatkan efikasi antifungal. Hingga saat ini belum terdapat konsensus yang mengatur durasi terapi, tetapi rata-rata studi menyatakan pengobatan selama 2–4 minggu cukup untuk eradikasi jamur.[1,4,8,10]
Bukti Ilmiah Efikasi Antifungal Topikal pada Penanganan Otomikosis
Terdapat banyak antifungal yang tersedia di pasaran, tetapi golongan azole merupakan yang paling sering digunakan. Secara in vitro, azole terbukti poten sebagai antifungal spektrum luas termasuk terhadap Aspergillus spp. dan Candida spp. yang merupakan patogen tersering penyebab otomikosis. Keunggulan azole daripada golongan lain adalah penggunaannya yang hanya memerlukan durasi pendek sehingga mengurangi risiko kejadian efek samping obat.[1,2]
Clotrimazole VS Tolnaftate dalam Penanganan Otomikosis
Sebuah uji klinis yang melibatkan 48 pasien otomikosis mencoba membandingkan efikasi clotrimazole topikal dengan tolnaftate topikal. Sebanyak 28 pasien memperoleh clotrimazole dosis tunggal, sedangkan sisanya menerima larutan tolnaftate 2 tetes 2 kali per hari.
Hasil studi menunjukkan bahwa 75% penderita otomikosis yang menerima clotrimazole mengalami resolusi setelah pengobatan selama 1 minggu, sementara hanya 45% penderita yang menerima tolnaftate yang mendapat hasil serupa. Kelompok tolnaftate juga memiliki frekuensi rekurensi dan kegagalan terapi yang lebih tinggi, yaitu 20% rekurensi dan 15% kegagalan terapi.[8]
Clotrimazole VS Povidone Iodine dalam Penanganan Otomikosis
Perbandingan efikasi lainnya juga dilaporkan oleh Mofatteh et al pada sebuah uji klinis penyamaran tunggal. Sebanyak 204 pasien otomikosis mengikuti penelitian ini dan terbagi dalam 2 kelompok yang terbagi sama banyak. Kelompok pertama memperoleh povidone iodine 10% topikal dan kelompok kedua memperoleh clotrimazole topikal 8 tetes 3 kali per hari. Kedua kelompok perlakuan dievaluasi ulang setelah 4, 10, dan 20 hari.[4]
Penelitian ini menemukan bahwa 13,1% penderita yang menerima povidone iodine dan 9,8% yang menerima clotrimazole mengalami perbaikan klinis pada hari ke-4. Selanjutnya, 43,1% yang menerima povidone iodine dan 46,1% yang menerima clotrimazole mengalami perbaikan klinis pada hari ke-10. Pada hari ke-20, perbaikan klinis didapatkan pada 68,6% pasien yang mendapat povidone iodine dan 67,6% yang mendapat clotrimazole.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa efikasi povidone iodine tidak berbeda signifikan dengan. Kedua obat tersebut memiliki keunggulan dibanding antifungal golongan lain karena mudah didapat, murah, efektif, dan tidak ototoksik.[4]
Clotrimazole VS Asam Borat dalam Penanganan Otomikosis
Penelitian serupa yang membandingkan azole dengan antiseptik disampaikan oleh Romsaithong et al. Studi membandingkan larutan clotrimazole 1% dengan asam borat 3% dalam alkohol 70%. Studi ini melibatkan 109 penderita otomikosis yang terbagi secara acak tersamar ganda menjadi 54 penderita pada kelompok penerima clotrimazole dan sisanya mendapat asam borat. Pemberian obat hanya sebagai dosis tunggal setelah pasien menjalani aural toilet dan obat dipertahankan selama 5 menit di dalam liang telinga.
Uji klinis ini mendapatkan hasil berupa laju kesembuhan setelah 1 minggu sebesar 85,2% pada kelompok clotrimazole dan 67,3% pada asam borat (p=0,028). Dalam penelitian ini juga didapatkan efek samping pada kedua kelompok berupa rasa terbakar, iritasi, gatal, nyeri telinga, dan rasa penuh di telinga. Dari beberapa efek samping tersebut, hanya iritasi yang berbeda signifikan secara statistik dan lebih banyak ditemukan pada penerima asam borat.[3]
Bukti Ilmiah Terkait Durasi Terapi Clotrimazole dalam Penanganan Otomikosis
Terkait durasi pemberian antifungal yang dianggap adekuat, Dundar et al melakukan penelitian dengan memanfaatkan krim clotrimazole 1% dengan dosis tunggal untuk kemudian dilakukan evaluasi pada hari ke-7, 15, dan 45.
Studi ini melibatkan 40 penderita otomikosis; 36 di antaranya dinyatakan sembuh setelah evaluasi pada hari ke-7. Pada hari ke-15, seluruh peserta penelitian menyatakan sudah tidak mengalami keluhan apapun dan setelah 45 hari didapatkan 1 orang pasien mengalami rekurensi.[9]
Hasil Tinjauan Sistematik Cochrane Terbaru
Tinjauan sistematik Cochrane oleh Lee et al. menganalisis 4 uji klinis acak terkontrol yang melibatkan 559 partisipan dari Spanyol, Meksiko, dan India. Sebanyak 3 studi mengikutkan partisipan anak dan dewasa, sedangkan 1 studi lainnya hanya mengikutkan pasien dewasa.
Dalam 3 studi yang dianalisis, clotrimazole dibandingkan dengan obat golongan azole topikal lainnya (eberconazole, fluconazole, atau miconazole). Kemudian, terdapat 1 studi yang membandingan bifonazole krim dengan tetes. Tidak ada studi yang membandingkan azole topikal dengan plasebo atau tanpa perawatan.[1]
Tinjauan sistematik ini menemukan bahwa hanya ada sedikit hingga tidak ada perbedaan bermakna antara clotrimazole topikal dengan obat golongan azole topikal lainnya dalam hal efikasi dan keamanan.
Akan tetapi, peneliti menyatakan bahwa bukti ilmiah yang ada belum cukup untuk menentukan superioritas maupun inferioritas clotrimazole dibandingkan obat golongan azole lainnya. Dalam hal perbandingan efikasi dan keamanan bifonazole krim dengan tetes, studi menyatakan bahwa bukti ilmiah yang ada belum adekuat untuk menentukan mana yang lebih baik.[1]
Kesimpulan
Saat ini tersedia beragam antifungal untuk mengatasi otomikosis, dimana golongan azole adalah yang paling sering digunakan. Terdapat bukti ilmiah terbatas yang menunjukkan bahwa clotrimazole mungkin lebih efektif dalam tata laksana otomikosis dibandingkan tolnaftate dan asam borat, serta memiliki efikasi sebanding dengan povidone iodine.
Meski demikian, kekuatan bukti dari studi-studi tersebut belum begitu baik. Masih dibutuhkan uji klinis acak terkontrol dengan jumlah sampel lebih besar untuk mengetahui antifungal yang lebih superior dalam penatalaksanaan otomikosis.
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli