Cognitive behavioral therapy atau CBT dan edukasi pasien merupakan dua pendekatan nonfarmakologis yang digunakan untuk mengatasi nyeri kronis. Secara definisi, nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung >3 bulan. Nyeri kronis memerlukan manajemen yang adekuat karena menyebabkan penurunan kualitas hidup, gangguan tidur, depresi, ansietas, penurunan aktivitas fisik dan performa kerja, serta gangguan relasi sosial.[1,2]
Nyeri kronis adalah proses kompleks yang melibatkan komponen objektif dan subjektif. Terapi farmakologis yang biasa digunakan adalah obat golongan opioid, antidepresan, antikonvulsan, atau analgesik nonsteroid. Namun, obat-obat ini kadang tidak memberi hasil yang memuaskan karena persepsi nyeri tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis, melainkan juga faktor psikologis dan sosial.[1,3]
Tinjauan sistematik dari Cochrane menyatakan bahwa hanya 30% pasien mengalami perbaikan nyeri setelah pemberian gabapentin. Selain itu, banyak pasien menghentikan terapi farmakologis jangka panjang karena efek samping yang timbul dan rasa takut terhadap ketergantungan. Hal ini menyebabkan tata laksana nyeri kronis memerlukan opsi pendekatan yang lain.[1,3]
Dalam 6 dekade terakhir, cognitive behavioral therapy atau CBT telah digunakan untuk mengatasi nyeri kronis. Pendekatan ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan terapi farmakologis, rehabilitasi, dan latihan fisik. Selain CBT, edukasi juga digunakan untuk mengatasi nyeri kronis.[1,4]
Efektivitas Cognitive Behavioral Therapy untuk Manajemen Nyeri Kronis
Suatu meta analisis terhadap 10 uji klinis (total 836 pasien) menemukan bahwa untuk kasus nyeri leher kronis, cognitive behavioral therapy lebih efektif memperbaiki nyeri, disabilitas, dan kualitas hidup bila dibandingkan kelompok tanpa terapi.[5]
Namun, meta analisis tersebut tidak menemukan perbedaan yang bermakna ketika membandingkan CBT dengan terapi lain maupun ketika membandingkan kombinasi CBT dan terapi lain dengan terapi lain saja.[5]
Meta analisis tersebut juga menemukan bahwa untuk kasus nyeri leher subakut, CBT lebih unggul mengurangi nyeri bila dibandingkan dengan terapi lain, tetapi CBT tidak menghasilkan perbedaan yang bermakna dalam hal disabilitas dan kinesiophobia (rasa takut untuk bergerak).[5]
Meta analisis lainnya menilai efektivitas CBT untuk mengurangi bermacam nyeri kronis, seperti fibromialgia, arthritis, dan nyeri punggung bawah. Hasilnya tampak heterogen. Sebanyak 18 studi (51,4%) menyatakan bahwa CBT secara signifikan mengurangi intensitas nyeri, sedangkan 17 studi lainnya menyatakan tidak ada penurunan intensitas nyeri bermakna. Sebanyak 30 studi (86%) mengatakan bahwa CBT memperbaiki depresi, ansietas, dan fungsi fisik.[2]
Penelitian yang digunakan pada kedua meta analisis di atas memiliki kualitas rendah hingga sedang karena terbatasnya jumlah sampel. Risiko bias juga bertambah karena tidak ada blinding saat studi. Selain itu, terdapat variasi antar studi mengenai jumlah pertemuan, bentuk CBT, serta tenaga kesehatan yang memberikan sesi CBT (psikolog klinis atau tenaga kesehatan yang sudah dilatih).[2,5]
Bentuk Cognitive Behavioral Therapy
Sesi cognitive behavioral therapy biasanya berdurasi sekitar 1–1,5 jam. Bentuknya bervariasi, tergantung pada tujuan, preferensi terapis, dan kondisi lain. Berikut adalah cognitive behavioral therapy yang sering diberikan untuk mengatasi nyeri kronis:
- Problem solving
- Rekondisi pola pikir yang salah
- Relaksasi
- Manajemen nyeri
- Manajemen perilaku menghindar
- Manajemen adaptasi (coping) yang salah[2,5]
Efektivitas Edukasi Pasien untuk Manajemen Nyeri Kronis
Suatu tinjauan sistematik pada tahun 2018 menilai efektivitas edukasi untuk mengatasi low back pain kronis. Hasilnya, kombinasi edukasi dan terapi lain (cognitive behavioral therapy, fisioterapi, atau latihan endurance) bisa mengurangi nyeri dan disabilitas secara lebih signifikan daripada terapi standar saja. Efek tersebut bertahan hingga 3 bulan setelah terapi.
Namun, tinjauan sistematik tersebut tidak menemukan perbedaan bermakna antara kedua kelompok dalam hal penurunan kinesiophobia. Jumlah sampel setiap penelitian juga masih sedikit, sehingga penelitian berskala lebih besar masih diperlukan. Hasil antar penelitian dalam tinjauan sistematik tersebut pun masih tidak konsisten.[6]
Bentuk Edukasi
Belum ada panduan atau protokol pasti mengenai bentuk edukasi yang harus diberikan. Edukasi biasanya diberikan sebagai terapi tambahan dan bukan sebagai terapi tunggal. Durasi edukasi berkisar antara 1–1,5 jam. Berikut adalah tema edukasi yang umumnya diberikan dalam manajemen nyeri kronis:
- Proses terjadinya nyeri
- Dampak nyeri
- Cara adaptasi terhadap nyeri[6]
Cognitive Behavioral Therapy dan Edukasi pada Populasi Sosioekonomi Rendah
Kondisi sosioekonomi yang rendah, area terpencil, kelompok minoritas, dan tingkat pendidikan yang rendah dapat menyebabkan tekanan ekonomi, isolasi geografis, serta kesulitan mendapatkan akses pelayanan medis yang layak.
Hal-hal tersebut dapat memperberat nyeri kronis yang sudah ada dan menimbulkan luaran yang lebih buruk (disabilitas dan penurunan produktivitas). Terapi farmakologis sering kali sulit didapatkan karena keterbatasan akses dan biaya. Dalam kondisi seperti ini, cognitive behavioral therapy dan edukasi pasien dapat diberikan.[1,4]
Suatu uji klinis acak terkontrol pada tahun 2011 menilai efektivitas cognitive behavioral therapy dan edukasi pada populasi sosioekonomi rendah. Tingkat drop-out lebih banyak ditemukan pada grup cognitive behavioral therapy daripada grup edukasi. Hal ini diduga terjadi karena protokol cognitive behavioral therapy yang digunakan masih terlalu sulit untuk populasi dengan pendidikan yang rendah.[4]
Pada kelompok cognitive behavioral therapy, terdapat berbagai aktivitas yang lebih kompleks, seperti menulis dan mengerjakan pekerjaan rumah. Sebaliknya, aktivitas kelompok edukasi lebih sederhana, yaitu mendengarkan edukasi yang diberikan.[4]
Dalam penelitian tersebut, cognitive behavioral therapy dan edukasi bisa memperbaiki parameter intensitas nyeri (34,4% subjek), gangguan akibat nyeri (49,2% subjek), disabilitas (13,1% subjek), dan kualitas hidup (14,8% subjek). Sementara itu, parameter depresi dan pain catastrophizing (persepsi pasien terhadap nyeri dan dampaknya) hanya membaik pada kelompok cognitive behavioral therapy.[4]
Penerapan Cognitive Behavioral Therapy dan Edukasi Pasien di Indonesia
Pada studi di atas, meskipun tidak semua subjek merespons CBT dan edukasi, hasil tampak tidak jauh berbeda dengan studi lain yang menggunakan terapi farmakologis (hanya sekitar 30% subjek merespons farmakoterapi). Oleh karena itu, mengingat populasi sosioekonomi rendah memiliki akses terbatas terhadap terapi farmakologi, CBT dan edukasi dapat menjadi pilihan dengan biaya yang lebih terjangkau.[3,4]
Penduduk Indonesia terdiri dari latar belakang sosioekonomi, pendidikan, dan tempat tinggal yang berbeda-beda. Namun, sebagian besar memiliki kondisi sosioekonomi dan pendidikan yang rendah, yang mirip dengan latar belakang subjek yang mengikuti penelitian di atas. Akses kesehatan di Indonesia pun belum merata, terutama di area pedesaan dan di luar Pulau Jawa.
Meskipun saat ini pemerintah sedang berbenah melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sistem ini masih belum mampu meratakan akses kesehatan di area terpencil. Apalagi, beberapa jenis farmakoterapi (antikonvulsan, antidepresan, dan opioid) untuk nyeri kronis hanya tersedia di fasilitas kesehatan tingkat dua. Padahal, tidak semua daerah memiliki fasilitas kesehatan tingkat dua. Oleh karena itu, cognitive behavioral therapy dan edukasi dapat dijadikan pilihan terapi.
Sayangnya, tingkat drop-out yang tinggi dalam penelitian tersebut merupakan masalah yang juga mungkin terjadi di Indonesia. Cognitive behavioral therapy dan edukasi sama-sama memerlukan pasien untuk aktif terlibat dalam terapi, sedangkan pasien dengan sosioekonomi dan pendidikan yang rendah mungkin lebih sulit bekerja sama. Mereka juga sering tidak puas jika tidak diberikan obat.
Cognitive behavioral therapy dan edukasi juga membutuhkan waktu konsultasi yang lebih lama daripada farmakoterapi. Dokter dan pasien sama-sama sering tidak memiliki waktu yang cukup. Selain itu, kemampuan tenaga medis untuk memberikan cognitive behavioral therapy dan edukasi juga akan memengaruhi hasil. Oleh karena itu, jika kedua metode tersebut hendak diterapkan, tenaga medis perlu menjalani pelatihan khusus terlebih dahulu.[7]
Kesimpulan
Nyeri kronis adalah proses kompleks yang melibatkan faktor biologis, psikologis, dan sosial. Farmakoterapi tidak selalu memberikan respons yang baik. Oleh karena itu, berbagai pendekatan untuk mengatasi nyeri kronis diperlukan, misalnya cognitive behavioral therapy, edukasi, rehabilitasi, dan latihan fisik.
Cognitive behavioral therapy dapat memberikan efek mendekati farmakoterapi. Edukasi juga dapat digunakan sebagai terapi tambahan dan dapat memberikan efek positif. Namun, kedua modalitas terapi ini masih memerlukan penelitian dengan perlakuan yang lebih terstandarisasi (bentuk, durasi, dan frekuensi cognitive behavioral therapy serta edukasi yang sama) dan jumlah sampel yang lebih banyak.
Keuntungan apabila cognitive behavioral therapy dan edukasi diterapkan di Indonesia adalah biaya yang lebih terjangkau dan akses yang lebih mudah bila dibandingkan dengan farmakoterapi nyeri kronis (terutama golongan antikonvulsan, antidepresan, dan opioid) di daerah tertentu. Namun, kendala penerapan cognitive behavioral therapy dan edukasi di Indonesia adalah:
- Kesulitan bekerja sama dengan pasien yang memiliki tingkat sosioekonomi atau pendidikan rendah
- Stigma masyarakat yang lebih memilih farmakoterapi
- Waktu konsultasi yang lebih lama
- Terbatasnya tenaga medis yang terlatih memberikan cognitive behavioral therapy dan edukasi
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur