Psikoterapi adalah intervensi untuk salah satu dampak serius dari kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan, yaitu risiko timbulnya masalah dan gangguan kejiwaan yang signifikan. Beberapa laporan penelitian mengarah pada dampak kejiwaan seperti risiko perulangan perilaku melukai diri pada korban anak dan dewasa, penyalahgunaan zat, dan perasaan malu dan takut yang dialami seumur hidup.
Selain itu, dampak kejiwaan yang dapat muncul antara lain gangguan makan, posttraumatic stress disorder (PTSD), kecemasan, depresi, dan bahkan keinginan mengakhiri hidup.[1]
Dampak Kejiwaan Pasca Pelecehan Seksual dan Pemerkosaan
Masalah kejiwaan tidak selalu muncul secara langsung beberapa hari setelah terjadinya pemerkosaan dan pelecehan seksual. Pada beberapa kasus, penyintas memiliki kenangan dan emosi yang bersifat bangkitan (muncul kembali) dan traumatis hingga beberapa tahun setelah kejadian, termasuk di dalamnya pengembangan stigma di masyarakat.[2,3]
Sebanyak 13% pasien PTSD memiliki catatan pengalaman pelecehan seksual dalam hidup mereka. Hal ini terkait dengan munculnya memori intrusif, mimpi buruk, kecenderungan menghindar dari situasi yang dianggap serupa atau mengancam, serta gangguan konsentrasi dan tidur, yang dapat terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan.[4]
Intervensi Psikososial untuk Mengatasi Dampak Kejiwaan Pasca Pelecehan Seksual dan Pemerkosaan
Intervensi psikososial mencakup beragam aktivitas interpersonal, penyampaian informasi, teknik, dan strategi yang berfokus pada faktor-faktor biologis, perilaku, kognitif, emosional, interpersonal, sosial, atau lingkungan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan fungsi dan kesejahteraan kesehatan secara holistik.
Intervensi psikososial yang ditetapkan oleh The Cochrane Depression, Anxiety and Neurosis Group (CCDAN) dan The Cochrane Common Mental Disorders Group (CCMD) mencakup cognitive behavioral therapy (CBT), terapi perilaku, third-wave CBT, terapi integratif, terapi humanistik, dan intervensi psikologi serta dukungan dan layanan lainnya.[5]
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Salah satu metode terapi yang efektif untuk mengatasi PTSD adalah cognitive behavioral therapy (CBT), termasuk trauma-focused CBT (TF-CBT) dan teknik CBT lainnya. Pendekatan ini difokuskan pada proses kognitif dan perilaku, yang dikelompokkan dalam tiga hal utama:
- Restrukturisasi kognitif: Berfokus pada keyakinan internal yang menjadi dasar pola pikir dan perilaku, tujuannya adalah mengubah pola pikiran yang tidak adaptif
- Terapi koping keterampilan: Menargetkan identifikasi dan perubahan kognisi perilaku untuk meningkatkan dampak negatif dari kejadian eksternal
- Terapi penyelesaian masalah: Mengombinasikan restrukturisasi kognitif dan terapi koping keterampilan untuk mengubah pola pikiran internal dan respon positif terhadap kejadian eksternal yang bersifat negatif[5]
Pendekatan TF-CBT, yang didasarkan pada exposure-based therapies, membimbing klinisi dalam menerapkan cognitive processing therapy dan prolonged exposure therapy. Ini melibatkan konsep teori emosional, intervensi terhadap struktur aktivasi perasaan takut, kebiasaan, dan diskonfirmasi kognisi serta keyakinan terhadap ancaman terjadinya PTSD.[5]
Terapi Perilaku
Terapi perilaku antara lain adalah teknik relaksasi dan eye desensitization and reprocessing (EMDR).[5]
Third-wave CBT
Third-wave CBT antara lain adalah acceptance and commitment therapy serta mindfulness yang memprioritaskan proses psikologis dan tingkah laku yang berhubungan dengan penurunan gejala psikologis dan emosi.[5]
Terapi Integratif
Terapi integratif melibatkan pendekatan terapi interpersonal yang mencampurkan elemen atau metode yang berbeda.[5]
Terapi Humanistik
Terapi humanistik mencakup pendekatan seperti Gestalt dan eksperiensial, seiring dengan terapi suportif dan non-direktif. Person-centred therapy berfokus pada penyediaan dukungan, diskusi, dan pemahaman terhadap permasalahan yang sedang dialami klien saat ini.[5]
Intervensi Psikologi Lain
Berbagai bentuk intervensi psikologi lainnya melibatkan terapi seni, meditasi, hipnoterapi, trauma-informed body-based practices (seperti embodied relational therapy, yoga, tai chi), dan terapi naratif.
Contohnya, present-centred therapy merupakan bagian dari hubungan terapi suportif. Dalam terapi ini, penekanan diberikan pada pemahaman gejala, langkah-langkah untuk memperbaiki gejala yang dialami, pengalaman terkait permasalahan, upaya membentuk lingkungan yang aman, dan membentuk keinginan serta harapan positif.[5]
Dukungan dan Layanan Lain
Bentuk dukungan dan layanan lain mengarah pada dukungan verbal dan perilaku yang dapat diperoleh dari mentor, pekerja sosial, penasehat, advokat dan kelompok layanan masyarakat.[5]
Evaluasi dan Rekomendasi Intervensi Psikososial untuk Penyintas Trauma Seksual
Beberapa intervensi yang telah dilakukan dalam lingkungan klinis dan telah dievaluasi secara evidence-based termasuk eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), trauma-focused CBT (TF-CBT), cognitive processing therapy (CPT), dan prolonged exposure (PE).
Namun, ini juga melibatkan penerapan pendekatan psikososial lain, seperti cognitive and behavioral approaches dengan intensitas rendah (seperti trauma-sensitive yoga, reconsolidation of traumatic memories, dan lifespan integration), serta pendekatan-pendekatan serupa yang berkembang di berbagai pusat layanan kesehatan mental.[6–9]
Studi oleh O’Doherty et.al
Tinjauan sistematik oleh O’Doherty et.al. pada tahun 2023 mengevaluasi pelaksanaan intervensi psikososial dari 36 studi (tahun 1991 hingga 2021) terhadap penyintas pelecehan seksual dan pemerkosaan yang terjadi ketika sudah dewasa. Hasilnya menunjukkan perbaikan gejala PTSD dan depresi dalam beberapa hari dan pekan setelah intervensi, meskipun hasil tersebut tidak dapat diikuti setelah tiga bulan pasca intervensi.[5]
Intervensi CBT (trauma focused dan prolonged exposure) dinilai mampu mengurangi gejala PTSD dan depresi dibandingkan kelompok kontrol yang tidak aktif. Penerapan trauma-focused intervention memberikan penurunan gejala PTSD dan depresi dalam 3 bulan. Namun, efek positif yang terlihat sedikit dan tidak dapat dipertahankan, sebagaimana tidak dicerminkan oleh hasil studi pada interval 6 dan 12 bulan.[5]
Dalam mencapai perbaikan kondisi kesehatan mental, penting untuk mencari keseimbangan antara kebutuhan penerimaan terhadap proses terapi. Hal ini mengarah pada kondisi di mana penyintas yang sudah merasa aman dan tidak lagi terpapar pada kondisi traumatik dapat mencapai stabilitas dan menunjukkan kenyamanan terhadap pendekatan intervensi psikososial yang diberikan.[5]
Tantangan Intervensi Psikososial pada Penyintas Trauma Seksual:
Studi terkait intervensi psikososial lain, seperti EMDR dan pendekatan psikososial model baru seperti lifespan integration (LI), neurofeedback, reconsolidation of traumatic memories (RTM) dan trauma-sensitive yoga belum cukup untuk menentukan efektivitas dalam membantu penyintas trauma seksual yang dialami saat dewasa.[5-12]
Meskipun demikian, intervensi tersebut masih memiliki potensi untuk membantu penyintas. Pendekatan seperti LI dan RTM memiliki masa terapi yang singkat dibandingkan prolonged exposure dan cognitive processing therapy, sehingga dianggap efektif dalam penerapannya pada setting klinis dengan sumber daya terbatas dan untuk menghindari risiko drop-out dari penyintas terhadap intervensi psikososial yang diberikan.[6-12]
Penerapan intervensi psikososial dalam skala luas bagi para penyintas pelecehan seksual dan pemerkosaan tetap memerlukan pendekatan personal yang sesuai dengan kondisi dan kerentanan yang berkembang, dan sesuai dengan konteks budaya setempat.[5]
Kesimpulan
Masalah kejiwaan yang sering dihadapi para penyintas dewasa dengan riwayat pelecehan seksual dan pemerkosaan dapat muncul beberapa saat setelah kejadian dan bertahan dalam beberapa tahun seperti PTSD, depresi, dan kecemasan.
Intervensi psikososial yang berkembang saat ini dapat terbagi atas beberapa tindakan seperti CBT (trauma focused dan prolonged exposure), terapi humanistik, terapi integratif, third wave CBT, dan lain-lain. Masing-masing memiliki keunggulan yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi PTSD dan depresi maupun keseluruhan masalah kejiwaan yang dialami penyintas namun belum ada bukti yang cukup untuk menilai efektivitasnya.
Trauma-focused intervention dinilai memberikan efek terapeutik yang mampu mengurangi gejala PTSD dan depresi dalam 3 bulan, namun efek tersebut tidak terlalu signifikan dan belum terbukti bahwa efek tersebut dapat dipertahankan. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan intervensi psikososial yang efektif untuk penyintas trauma seksual pada usia dewasa.