Kortikosteroid antenatal umumnya diberikan untuk membantu maturasi paru janin yang berisiko lahir prematur atau preterm. Praktik ini dilakukan secara luas di negara maju maupun negara berkembang karena bukti terdahulu mendukung efektivitasnya. Akan tetapi, keraguan tentang efektivitas tindakan ini masih disampaikan oleh beberapa peneliti, terutama di negara-negara berkembang.[1-3]
Persalinan preterm didefinisikan sebagai adanya kontraksi uterus dengan frekuensi dan intensitas yang cukup untuk menyebabkan pembukaan serviks uteri sebelum cukup masa gestasi. Persalinan preterm masih merupakan masalah kesehatan global yang memengaruhi 11% dari total bayi yang lahir hidup.[4]
Blencowe, et al. memperkirakan bahwa antara dekade 1990 hingga 2010, ada sekitar 12.000.000 kelahiran preterm yang terjadi di negara berkembang, yang menyumbang 80% dari total bayi yang lahir preterm di dunia. Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan tingkat kelahiran preterm yang tinggi, yaitu 15,5% dari seluruh kelahiran hidup.[4-6]
Selain meningkatkan risiko kematian neonatal, prematuritas juga meningkatkan risiko kesehatan jangka panjang, seperti gangguan panca indra, penyakit paru kronis, risiko kardiovaskular jangka panjang, dan gangguan perilaku dan perkembangan saraf. Hal ini juga berdampak signifikan terhadap beban ekonomi, sosial, dan emosional keluarga.[4]
Efektivitas Kortikosteroid Antenatal untuk Mencegah Gangguan Pernapasan pada Bayi Prematur
Hasil randomized controlled trial (RCT) mengenai efektivitas kortikosteroid antenatal untuk mencegah gangguan pernapasan pada bayi prematur masih berbeda-beda antar studi. Suatu RCT triple blind terhadap 320 wanita hamil melaporkan bahwa pemberian betamethasone 12 mg intramuskular selama 2 hari berturut-turut pada kehamilan 34–36 minggu tidak menurunkan insiden gangguan pernapasan pada neonatus.[7]
Penggunaan kortikosteroid dalam RCT tersebut juga tidak menurunkan morbiditas respirasi dan tidak menurunkan kebutuhan penggunaan ventilator. Namun, studi tersebut memiliki kekurangan berupa lost-to-follow-up pada 13% subjek studi.[7]
Suatu RCT double blind multisenter yang melibatkan 1.858 wanita hamil melaporkan hasil serupa. Pada penelitian ini, 935 pasien diberikan kombinasi 6 mg betamethasone sodium fosfat dan 6 mg betamethasone sodium asetat secara intramuskular sebanyak 2 dosis dengan jarak 24 jam. Sementara itu, 918 pasien diberikan plasebo. Subjek yang tetap berisiko mengalami kelahiran preterm kemudian diberikan kortikosteroid lanjutan setiap 14 hari hingga usia kehamilan 33 minggu.[8]
Studi tersebut menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid antenatal dosis multipel tidak memperbaiki outcome kelahiran preterm dan diasosiasikan dengan penurunan berat badan lahir bayi, panjang badan lahir, serta lingkar kepala.[8]
Suatu RCT lain yang menganalisis efek pemberian kortikosteroid antenatal mingguan terhadap morbiditas neonatus juga melaporkan hasil mirip. Penelitian ini mengikutkan wanita hamil yang mendapatkan betamethasone dan dexamethasone dalam 7–10 hari sebelum perlakuan, serta memiliki risiko tinggi persalinan preterm atau memiliki diagnosis plasenta previa dan abrupsio kronis.[9]
Studi ini melaporkan tidak ada perbedaan angka kejadian respiratory distress syndrome (RDS) antara kelompok perlakuan dan plasebo. Selain itu, studi ini juga melaporkan peningkatan kejadian kecil masa kehamilan (KMK) pada subjek yang mendapatkan terapi kortikosteroid.[9]
Suatu RCT lain melaporkan hasil berbeda. Pada studi yang melibatkan 982 wanita yang berisiko mengalami kelahiran preterm, kelompok perlakuan diberikan betamethasone 11,4 mg, sedangkan kelompok lain diberikan plasebo. Hasil menunjukkan bahwa lebih sedikit bayi di kelompok perlakuan menderita RDS (33% vs 41% dengan RR 0,82).[10]
Studi tersebut juga melaporkan bahwa penyakit paru berat ditemukan lebih sedikit pada kelompok kortikosteroid daripada kelompok plasebo (12% vs 20% dengan RR 0.60). Studi ini juga melaporkan rerata berat, tinggi, dan lingkar kepala saat lahir yang tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.[10]
Bukti Klinis Penggunaan Kortikosteroid Antenatal di Negara Berkembang
Meta analisis Cochrane (2020) mempelajari 27 studi dengan total 11.272 ibu dan 11.952 neonatus dari 20 negara. Dari 27 studi tersebut, 10 studi (4.422 ibu) berasal dari negara berpendapatan menengah hingga rendah. Meta analisis ini menemukan bukti kuat bahwa kortikosteroid antenatal bisa mengurangi risiko kematian perinatal, kematian neonatus, RDS, dan perdarahan intraventrikuler di area yang berpendapatan rendah, menengah, maupun tinggi.[1]
Namun, beberapa studi lain menunjukkan hasil yang berbeda. Secara khusus, telaah efektivitas kortikosteroid antenatal di negara berkembang seperti Indonesia memiliki beberapa tantangan unik. Hal ini dipengaruhi oleh persediaan obat yang umumnya terbatas di fasilitas kesehatan tingkat lanjut.[11]
Selain itu, penentuan usia kehamilan berdasarkan USG biasanya jarang dilakukan di daerah terpencil, sehingga dasar penggunaan kortikosteroid yang dibatasi rentang usia kehamilan menjadi samar dan membuat penggunaan kortikosteroid berisiko bagi wanita hamil yang tidak jelas usia kehamilannya.[11]
Penelitian tentang kortikosteroid antenatal di negara berkembang juga tidak sebanyak penelitian serupa di negara maju, sehingga akumulasi bukti ilmiah yang ada belum cukup untuk mengungkap efektivitas terapi ini sebaik di negara maju.[11]
Suatu penelitian oleh Global Research Network menggunakan rancangan uji klinis acak berkelompok untuk menguji efektivitas kortikosteroid antenatal di lokasi terpencil di Afrika, Asia Selatan, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Dalam penelitian tersebut, sebagian besar bayi dilahirkan di rumah maupun klinik sederhana.[11]
Sebagai pengganti peran USG dalam memperkirakan usia kehamilan, populasi studi difokuskan pada wanita yang berisiko melahirkan janin dengan berat lahir kurang dari persentil 5. Selain itu, outcome yang diamati adalah tingkat kematian neonatal pada bayi dengan berat lahir kurang dari persentil 5.[11]
Penelitian oleh Althabe, et al. tersebut menemukan bahwa tingkat kematian neonatal tidak berbeda antara kelompok yang mendapat kortikosteroid dan kelompok kontrol. Risiko infeksi maternal setelah pemberian kortikosteroid justru meningkat sebesar 67% pada pasien yang berisiko persalinan preterm. Pada bayi dengan perkiraan berat janin lebih dari persentil 25, terjadi peningkatan risiko kematian neonatal pada kelompok yang mendapat kortikosteroid bila dibandingkan kelompok kontrol.[11]
Studi tentang Penggunaan Kortikosteroid Antenatal di Indonesia
Suatu RCT dilakukan oleh Ernawati, et al. terhadap 48 pasien berusia kehamilan 30–34 minggu dengan preeklampsia awitan dini, yang seluruhnya mendapat dexamethasone untuk pematangan paru kemudian diacak untuk mendapat metilprednisolon 25 mg intravena selama 7 hari. Dosis lalu diturunkan perlahan pada minggu berikutnya.[12]
Hasil menunjukkan bahwa rerata interval waktu antara rekrutmen dan persalinan tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok, yakni 14 hari. Pemberian metilprednisolon tidak memperbaiki luaran kematian perinatal dan neonatal. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa penggunaan kortikosteroid di area dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi berpotensi meningkatkan risiko perburukan gejala tuberkulosis.[12]
Ke depannya, RCT yang menjaring lebih banyak peserta di tingkat komunitas maupun di fasilitas kesehatan Indonesia masih perlu dilakukan untuk mengonfirmasi besaran dampak terapi kortikosteroid antenatal ini.
Rekomendasi Internasional tentang Pemberian Kortikosteroid Antenatal
Panduan World Health Organization (WHO) menjabarkan beberapa syarat pemberian kortikosteroid antenatal, yaitu:
- Ada metode perkiraan usia kehamilan yang akurat (bila memungkinkan melalui pemeriksaan USG)
- Persalinan memungkinkan untuk dilangsungkan antara 1–7 hari sejak diagnosis ditegakkan dan kortikosteroid mulai diberikan
- Tidak ada bukti infeksi maternal
- Ada dukungan pelayanan kesehatan tingkat lanjut dan asuhan persalinan serta neonatal yang memadai[13]
Edukasi tentang Dampak Kortikosteroid Antenatal pada Ibu dan Bayi
Dampak kortikosteroid antenatal terhadap kesehatan ibu hamil perlu disampaikan oleh dokter. Kortikosteroid bisa meningkatkan perubahan metabolisme tulang, risiko fraktur, dan risiko tromboembolisme, bahkan hanya dengan pemakaian singkat seperti pada terapi pematangan paru janin preterm. Risiko lain yang mungkin terjadi pada ibu adalah perubahan kontrol glikemik dan risiko infeksi.[14-16]
Pengaruh jangka pendek pada kesehatan bayi bisa sangat bervariasi dan melibatkan beberapa sistem organ. Paparan kortikosteroid eksogen mungkin menekan produksi kortisol endogen fetus. Hal ini diduga berlangsung sementara lalu akan kembali normal. Namun, ada bukti yang melaporkan perubahan menetap pada aksis hipotalamus, pituitari, dan adrenal (HPA).[17]
Perubahan menetap pada aksis HPA tersebut ditunjukkan oleh adanya penumpulan respons bayi terhadap rangsang nyeri berupa tusukan jarum di tumit, yang dapat terjadi hingga usia 4–6 minggu setelah kelahiran. Namun, implikasi jangka panjang dari penumpulan respons nyeri tersebut belum diketahui dengan pasti.[17]
Pada wanita hamil preterm lanjut yang mendapat kortikosteroid antenatal, hipoglikemia neonatal juga merupakan salah satu risiko yang perlu diedukasikan. Namun, kondisi ini biasanya bersifat sementara. Bukti menunjukkan bahwa hipoglikemia neonatal tidak menyebabkan perbedaan lama perawatan maupun mortalitas neonatal dalam 72 jam pertama setelah persalinan.[18,19]
Kesimpulan
Kortikosteroid antenatal umumnya diberikan pada ibu hamil dengan janin yang berisiko lahir prematur. Tindakan ini bertujuan untuk menurunkan risiko kematian perinatal, kematian neonatal, distress pernapasan, dan perdarahan intraventrikuler. Namun, mayoritas bukti yang ada saat ini berasal dari negara-negara maju. Padahal, pemberian kortikosteroid antenatal di negara berkembang mungkin memiliki tantangan tersendiri dan dampak yang berbeda.
Meta analisis Cochrane yang melibatkan cukup banyak partisipan dari negara-negara berpendapatan menengah dan rendah menyatakan bahwa kortikosteroid antenatal juga bermanfaat di negara-negara ini. Namun, beberapa studi lain di negara berkembang melaporkan bahwa kortikosteroid antenatal ini tidak terbukti efektif, khususnya di area dengan fasilitas kesehatan terbatas. Bahkan, ada studi yang melaporkan peningkatan risiko infeksi maternal dan kematian neonatal terkait kortikosteroid antenatal.
Bukti ilmiah tentang efektivitas penggunaan kortikosteroid antenatal di Indonesia juga masih sangat terbatas. Saat ini, kelangsungan pemberian kortikosteroid pada wanita hamil yang berisiko mengalami persalinan preterm hanya bersifat empiris berdasarkan hasil penelitian di negara maju. Ke depannya, studi dengan lebih banyak peserta di tingkat komunitas maupun di fasilitas kesehatan Indonesia masih perlu dilakukan.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur