Obat antidepresan seperti trazodone dan doxepin sering digunakan untuk pengobatan insomnia. Hal ini karena berbagai obat antidepresan memiliki efek sedasi yang dapat membantu meredakan gejala insomnia.
Pasien dengan depresi juga kerap menunjukkan abnormalitas pola tidur dalam semua spektrum, termasuk perpanjangan latensi tidur, peningkatan jumlah dan durasi bangun dari tidur, penurunan efisiensi tidur, serta bangun dari tidur terlalu pagi. Keluhan insomnia telah dilaporkan hadir pada 60-90% pasien dengan depresi. Dalam studi STAR*D (Sequenced Treatment Alternatives to Relieve Depression) dilaporkan bahwa mid nocturnal insomnia adalah gejala sisa depresi yang paling banyak ditemukan, yaitu pada 79% pasien.
Di lain pihak, gangguan tidur pada pasien depresi juga telah dilaporkan berkurang seiring perbaikan gejala depresi, terutama jika perbaikan klinis terkait dengan meningkatnya minat dan kesenangan dalam aktivitas sehari-hari. Peningkatan aktivitas fisik di pagi dan siang hari dapat meningkatkan kebutuhan tidur, sehingga kedalaman dan durasi tidur turut membaik.[1,2]
Pengaruh Antidepresan Terhadap Pola Tidur
Beberapa kelas obat antidepresan dapat mengganggu kualitas tidur, terutama golongan obat yang bekerja melalui mekanisme aktivasi reseptor 5-HT2 serotonergik serta meningkatnya neurotransmisi noradrenergik dan dopaminergik. Jenis kelas obat tersebut di antaranya serotonin and norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI) seperti duloxetine, norepinephrine reuptake inhibitor (NRI) seperti reboxetine, monoamine oxidase inhibitor (MAOI) seperti selegiline, selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) seperti sertraline, dan antidepresan trisiklik (TCA) seperti desipramine.
Sebaliknya, antidepresan dengan mekanisme aksi antihistaminergik, seperti sedating TCA, mirtazapine, mianserine, atau obat dengan aksi antagonis yang kuat terhadap reseptor 5-HT2 serotonergik seperti trazodone dan nefazodone, dapat meningkatkan kualitas tidur. Beberapa pasien menunjukkan peningkatan kualitas tidur langsung setelah dosis obat pertama, terutama jika obat memiliki onset aksi yang cepat seperti pada penggunaan mirtazapine.[1,3]
Obat Antidepresan dalam Pengobatan Insomnia
Insomnia merupakan ketidakpuasan dengan kuantitas atau kualitas tidur yang berhubungan dengan kesulitan memulai tidur, mempertahankan tidur, kembali tidur setelah bangun pagi, atau kombinasinya. Kriteria diagnosis untuk gangguan insomnia mensyaratkan bahwa gejala tidur menyebabkan penderitaan atau gangguan fungsi yang signifikan secara klinis dan terjadi meskipun cukup kesempatan untuk tidur, serta dialami secara kronis (minimal 3 malam per minggu selama minimal 3 bulan).
Pilihan tata laksana untuk gejala insomnia mencakup edukasi sleep hygiene, intervensi perilaku dan psikologis, serta farmakoterapi. Pedoman pengobatan saat ini sangat merekomendasikan penggunaan cognitive behavioral therapy (CBT) sebagai pengobatan awal untuk gangguan insomnia dan hanya penggunaan jangka pendek farmakoterapi pada pasien dengan respon yang tidak memadai terhadap CBT. Namun, dalam praktiknya farmakoterapi sangat umum digunakan dalam terapi insomnia. Obat yang paling sering digunakan untuk mengobati insomnia selain benzodiazepin dan hipnotik non-benzodiazepin adalah antidepresan sedatif.[1,3]
Peran Antidepresan dalam Penatalaksanaan Insomnia
Walaupun belum mendapat persetujuan FDA, antidepresan sedatif banyak digunakan sebagai alternatif pada pengobatan insomnia yang masih memerlukan farmakoterapi meskipun dalam terapi CBT. Penggunaan antidepresan sedatif dapat juga dipertimbangkan ketika ada komorbiditas gangguan mood atau kecemasan karena pasien berada pada peningkatan risiko ketergantungan hipnosis.
Selain itu, sebagian besar pasien insomnia mengalami perubahan parameter fisiologis, misalnya sekresi hormon dan peningkatan metabolisme, yang mirip dengan kondisi pada pasien depresi atau dikenal dengan istilah hyperarousal. Antidepresan sedatif bermanfaat untuk menurunkan arousal dan memberi efek menenangkan. Meski demikian, efek ini telah dikaitkan dengan rasa mengantuk di siang hari (day time sleepiness) pada beberapa pasien.[1,3]
Antidepresan Trisiklik Sedatif: Amitriptyline
Amitriptyline merupakan antidepresan trisiklik sedatif dengan efek kuat sebagai inhibitor reuptake serotonergik dan efek menengah inhibitor reuptake norepinefrin. Amitriptyline pernah diteliti dalam pengobatan insomnia sekunder dan disimpulkan bahwa pasien dengan gangguan pola tidur mengalami peningkatan waktu tidur total, peningkatan slow wave sleep (SWS), dan penurunan fase rapid eye movement (REM).
Amitriptyline dinilai aman untuk digunakan, namun dilaporkan dapat menimbulkan beragam efek samping. Dilaporkan bahwa pasien merasa tidak enak badan selama pengobatan dengan amitriptyline, hal ini terjadi pada minggu ketiga dan keempat penggunaan obat hingga minggu pertama dan kedua setelah penghentian obat. Studi lain menemukan bahwa pasien merasa lebih sulit bangun tidur pagi hari ketika mengonsumsi amitriptyline dibandingkan dengan lorazepam.[1,6]
Antidepresan Trisiklik Sedatif: Doxepin
Doxepin merupakan satu-satunya antidepresan yang mendapat persetujuan FDA Amerika Serikat sebagai terapi farmakologis insomnia. Doxepin merupakan obat antidepresan trisiklik dengan efek antihistamin. Doxepin paling poten dibandingkan dengan antidepresan trisiklik lainnya, dengan potensi 4 kali lipat dibandingkan amitriptyline dan 800 kali lipat dibandingkan dengan diphenhydramine.
Doxepin pada dosis 25 mg sampai 300 mg adalah antidepresan trisiklik dengan penghambatan reuptake serotonin dan norepinefrin, serta aktivitas antihistamin dan antikolinergik. Pada dosis rendah 3-6 mg, doxepin merupakan antagonis reseptor H1 murni. Doxepin tidak boleh diberikan bersamaan dengan MAOI.
Beberapa bukti ilmiah menyimpulkan bahwa doxepin memiliki efek kecil hingga sedang dalam durasi tidur dan maintenance tidur, namun tidak efektif dalam menurunkan durasi memulai tidur. Doxepin dapat menyebabkan nyeri kepala, penurunan kesadaran (somnolen), dan mual. Meski demikian, berbagai studi yang membandingkan doxepin dengan plasebo mencatat bahwa efek samping doxepin ditemukan dengan frekuensi yang sama dengan kelompok plasebo.[1,3,6]
Antidepresan Trisiklik Sedatif: Trimipramine
Hampir sama dengan amitriptyline dan doxepin, trimipramine merupakan antidepresan trisiklik sedatif. Dosis rata-rata yang digunakan adalah 100 mg diminum malam hari.
Trimipramine memiliki ciri khas tidak mempengaruhi REM sleep, oleh karena itu obat tersebut mendapat sebutan “brighten up dreams”. Interaksi dan efek samping rata-rata sama dengan antidepresan trisiklik pada umumnya yaitu pusing, mulut kering, konstipasi, hingga takikardia. Trimipramine merupakan obat kategori C untuk ibu hamil.[1,3,6]
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI): Citalopram
Citalopram merupakan SSRI yang umum digunakan untuk pengobatan klinis depresi dan insomnia. Namun, terdapat kontroversi seputar peran SSRI dalam pengobatan insomnia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa SSRI dapat menyebabkan kecemasan dan insomnia. Sebaliknya, penelitian lain menunjukkan bahwa pengobatan SSRI pada pasien dengan insomnia dan gangguan kecemasan menyebabkan kualitas tidur yang lebih buruk di awal tetapi menghasilkan perbaikan yang lebih besar dalam waktu tidur beberapa minggu kemudian.[1,7]
Antidepresan Sedatif: Mirtazapine dan Trazodone
Mirtazapine dan trazodone adalah obat golongan antidepresan sedatif dan merupakan obat noradrenergik dan antidepresan spesifik serotonergik yang meningkatkan neurotransmisi adrenergik dan serotonergik secara berbeda dari obat-obat lain. Mirtazapine dan trazodone sebagai antidepresan sedatif mengatasi insomnia dengan meningkatkan sleep continuity dan SWS (slow wave sleep / delta sleep). Hingga saat ini mirtazapine dan trazodone masih belum mendapat persetujuan FDA untuk terapi insomnia.
Empat studi yang mempelajari penggunaan mirtazapine pada pasien kanker dengan gejala nyeri serta gejala mengganggu lainnya seperti insomnia, menyimpulkan bahwa mirtazapine dapat mengurangi gejala insomnia. Sementara itu, suatu tinjauan sistematik melaporkan bahwa trazodone efektif dalam mengurangi latensi tidur, meningkatkan durasi tidur dan kualitas tidur.
Efek samping yang paling umum dari kedua obat ini adalah kantuk, sakit kepala, dan hipotensi ortostatik. Pada pasien usia lanjut, hipotensi ortostatik akan meningkatkan risiko jatuh dan cedera.[1,4]
Penggunaan Antidepresan pada Pasien Hamil dengan Insomnia
Saat ini data yang tersedia tentang penggunaan antidepresan sedatif selama kehamilan masih terbatas. Sebagian besar penelitian tentang antidepresan dilakukan pada pasien yang menderita gangguan depresi mayor, dengan sangat sedikit penelitian yang berfokus pada insomnia. Hanya satu penelitian pada 54 pasien dengan insomnia selama trimester ketiga melaporkan peningkatan profil tidur actigraphy dan gejala depresi yang lebih rendah pasca-melahirkan untuk trazodone atau antihistamin diphenhydramine dibandingkan dengan plasebo. Mengenai antidepresan lain, hanya ada laporan kasus untuk mirtazapine dosis rendah untuk pengobatan insomnia dengan komorbiditas depresi selama kehamilan. [5,8]
Kesimpulan
Dokter perlu berhati-hati dalam menggunakan antidepresan pada penanganan insomnia. Hal ini karena beberapa antidepresan justru dapat memperparah gejala insomnia. Bukti ilmiah yang tersedia untuk mendukung penggunaan antidepresan sedatif pada insomnia juga masih sangat terbatas.
Hingga saat artikel ini ditulis, doxepin masih menjadi satu-satunya obat antidepresan yang disetujui penggunaannya untuk insomnia. Pedoman klinis untuk penanganan insomnia sendiri masih berfokus pada terapi nonfarmakologis, seperti cognitive behavioral therapy dan sleep hygiene.
Penulisan pertama oleh: dr. Alexandra Francesca Chandra