Kultur darah pada pasien pneumonia komuniti tidak dianjurkan untuk dilakukan secara rutin, karena dapat mengganggu efisiensi tata laksana dan meningkatkan biaya medis pasien. Perlu tidaknya kultur darah untuk diagnosis pasien pneumonia komuniti perlu dipertimbangkan dengan saksama oleh klinisi, sesuai kondisi tiap pasien.
Kultur darah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bakteri penyebab pneumonia secara pasti, sehingga pemberian antibiotik menjadi lebih spesifik dan efektif. Hal ini diharapkan bisa mengurangi risiko yang mungkin timbul dari terapi antibiotik empiris.
Akan tetapi, kultur darah membutuhkan biaya yang tidak murah. Selain itu, ada risiko penundaan terapi akibat waktu menunggu hasil kultur yang lama dan ada risiko hasil kultur positif palsu atau negatif palsu. Hasil palsu bisa menyebabkan tata laksana justru menjadi tidak efektif.[1-3]
Pengaruh Kultur Darah pada Pneumonia Komuniti Orang Dewasa
Zhang, et al melakukan studi observasional terhadap rekam medik pasien rawat inap (akibat pneumonia) di suatu rumah sakit di Amerika Serikat. Dari 456 pasien, terdapat 30 kasus bakteremia. Dari 30 kasus bakteremia tersebut, terdapat perubahan tata laksana pada 16 kasus akibat hasil kultur darah.
Dari 16 perubahan tata laksana tersebut, hanya 8 perubahan dianggap “tepat”. Pada 8 kasus lainnya, perubahan tata laksana tidak dianggap “tepat” karena antibiotik empiris yang diberikan sebelumnya telah efektif terhadap organisme yang terdeteksi dari kultur darah. Studi ini menarik kesimpulan bahwa kultur darah rutin pada pneumonia memiliki manfaat yang rendah.[4]
Studi kohort lain dilakukan oleh Linsenmeyer, et al terhadap pasien yang menjalani kultur darah di rumah sakit di Amerika Serikat. Dari 576 permintaan kultur darah terhadap 363 pasien rawat inap, 101 (17,5%) kasus merupakan pneumonia. Studi ini menemukan kemungkinan kultur darah pneumonia dengan hasil positif palsu lebih tinggi, yakni dengan likelihood ratio positive (LR+) 1,8 bila dibandingkan dengan kemungkinan hasil true positive dengan LR+ 0,1.
Adanya riwayat pemberian antibiotik sebelum kultur darah terbukti menyebabkan tingginya kemungkinan hasil false positive dengan LR+ 0,6 bila dibandingkan dengan kemungkinan hasil true positive dengan LR+ 0,4.[5]
Studi epidemiologi tahun 2023 di Jepang memberikan hasil bahwa melakukan kultur darah pada hari pertama rawat inap pasien pneumonia komuniti dikaitkan dengan penurunan angka kematian. Namun, tidak tersedia data informasi klinis secara terperinci mengenai patogen dan sensitivitas obat, sehingga tidak dapat dilakukan evaluasi proses pengobatan, termasuk pilihan dan kecukupan antibiotik yang digunakan.[9]
Pengaruh Kultur Darah pada Pneumonia Komuniti Anak-Anak
Seperti pada pasien dewasa, kultur darah secara rutin pada pasien pneumonia anak juga masih diperdebatkan. Neuman, et al melakukan studi terhadap 7.509 data rekam medik pasien anak yang dirawat inap dengan pneumonia komuniti dari berbagai negara bagian di Amerika Serikat.
Dari seluruh data rekam medik, 34% (2.568 kasus) menjalani kultur darah. Hasil positif hanya ditemukan pada 2,5% (65 kasus) dari total kasus yang menjalani kultur darah atau hanya 0,9% dari total data rekam medik yang diikutkan dalam studi ini. Prevalensi hasil kultur darah positif ditemukan lebih tinggi pada pneumonia berat, yakni sebesar 4,2% bila dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia berat sebesar 2,2%.[6]
Studi lain dilakukan oleh Davis, et al terhadap 215 pasien anak dengan pneumonia di suatu rumah sakit di Australia. Sebanyak 82,3% (177) pasien menjalani kultur darah. Hasil positif pada kultur darah ditemukan pada 4% (7 kasus) dari total sampel kultur. Kasus positif palsu didapatkan pada 5 kasus dan kasus true positive didapatkan hanya pada 2 kasus atau 1,1% dari total kasus. Pada kasus true positive, tidak satu pun pasien menerima perubahan tata laksana setelah hasil kultur darah diketahui.[7]
Kwon, et al juga melakukan penelitian terhadap 2.705 pasien anak dengan pneumonia komuniti yang menjalani kultur darah di suatu rumah sakit pendidikan di Korea Selatan. Dari jumlah tersebut, ada 12 kasus atau 0,4% dari total subjek penelitian dengan hasil kultur darah positif.
Dari 12 kasus tersebut, 9 merupakan kasus positif palsu akibat kontaminasi, sehingga hasil true positive ditemukan hanya pada 3 kasus atau 0,11% dari total subjek penelitian. Pada pasien dengan hasil kultur true positive, tidak ditemukan perubahan tata laksana antibiotik setelah hasil kultur diketahui.[8]
Kapan Kultur Darah Sebaiknya Dilakukan pada Pasien Pneumonia
Kultur darah pada pneumonia dapat dilakukan bila ada kecurigaan klinis bloodstream infection (BSI) atau bakteremia. Hingga saat ini, terdapat berbagai jenis model prediktor terjadinya BSI, yaitu kriteria systemic inflammatory response syndrome (SIRS), kriteria Shapiro, dan quick Sequential Organ Failure Assessment (qSOFA).
Kriteria SIRS dan Shapiro memiliki sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas yang rendah. Kedua kriteria ini membutuhkan pemeriksaan laboratorium yang sulit diakses di negara ekonomi menengah ke bawah, sehingga tidak dapat digunakan dengan rutin.
Penilaian klinis dengan qSOFA lebih sering digunakan dalam penilaian BSI dan risiko sepsis. Skoring qSOFA mencakup adanya 2–3 kriteria yang terkait dengan peningkatan mortalitas pasien rawat inap, yaitu:
- Gangguan status mental (Glasgow Coma Scale <15)
- Laju pernapasan tinggi (≥22 kali per menit)
- Tekanan darah sistolik rendah (≤100 mmHg)[1-3]
Kesimpulan
Kultur darah dilakukan dengan tujuan memberikan terapi antibiotik yang lebih spesifik terhadap patogen penyebab pneumonia. Kultur darah dapat dilakukan pada pneumonia komuniti dengan bukti bakteremia atau pneumonia berat.
Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan secara rutin pada pasien pneumonia karena studi tentang kultur darah pada orang dewasa maupun anak menunjukkan hasil true positive yang rendah. Pada kelompok kecil yang true positive pun, hasil kultur darah tidak mengubah terapi antibiotik. Oleh karena itu, kultur darah tidak bermanfaat bagi pasien.
Keputusan untuk melakukan kultur darah perlu dipertimbangkan ulang pada pasien yang telah menerima terapi antibiotik empiris. Saat ini tidak ada bukti yang mendukung kultur darah rutin untuk pasien pneumonia komuniti. Kultur darah sebaiknya dilakukan bila tidak ada respons terhadap antibiotik yang telah diberikan. Dokter juga perlu mewaspadai kemungkinan positif palsu pada kultur darah akibat kontaminasi.
Saat ini opsi lain untuk diagnosis pneumonia komuniti yang sedang dikembangkan adalah aplikasi analisis batuk. Pengembangan aplikasi ini diharapkan dapat memudahkan diagnosis pneumonia komunitas pada kondisi di mana pemeriksaan klinis, radiologi, dan laboratorium tidak memungkinkan.
Penulisan pertama oleh: dr. Nathania S. Sutisna
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini