Efficacy and Safety of Intravenous-to-oral Lefamulin, a Pleuromutilin Antibiotic, for the Treatment of Community-acquired Bacterial Pneumonia: The Phase III Lefamulin Evaluation Against Pneumonia (LEAP 1) Trial
File TM, Goldberg L, Das A, et al. Clinical Infectious Diseases. 2019 : 1–9. DOI: 10.1093/cid/ciz090
Abstrak
Latar Belakang: Lefamulin, sebuah antibiotik pleuromotilin, aktif terhadap patogen-patogen yang sering menyebabkan pneumonia komunitas bakterial (CABP). Studi Lefamulin Evaluation Against Pneumonia (LEAP 1) merupakan percobaan noninferior global untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan lefamulin dalam penatalaksanaan CABP.
Metode: Pada penelitian penyamaran ganda (double-blind) ini, pasien dewasa dengan CABP yang termasuk dalam Pneumonia Outcomes Research Team risk kelas ≥ III diacak secara 1:1 untuk mendapatkan lefamulin 150 mg intravena (IV) setiap 12 jam atau moxifloxacin 400 mg IV setiap 24 jam. Setelah 6 dosis, antibiotik dapat diganti ke obat studi oral jika memenuhi kriteria perbaikan yang sudah ditentukan. Jika diduga ada keterlibatan methicillin-resistant Staphylococcus aureus, maka linezolid akan ditambahkan pada grup moxifloxacin atau lefamulin. Luaran primer FDA adalah early clinical response (ECR) 96±24 jam setelah dosis pertama obat pada populasi intent-to-treat (margin noninferioritas 12,5%). Luaran koprimer European Medicines Agency (EMA) adalah pemeriksaan investigator terhadap respon klinis (IACR) 5-10 hari setelah dosis terakhir obat pada populasi modified Intention To Treat (mITT) dan clinically evaluable (CE) (margin noninferioritas 10%).
Hasil: Ada 551 pasien yang menjalani randomisasi (n= 276 lefamulin; n= 275 moxifloxacin). Lefamulin noninferior terhadap moxifloxacin untuk ECR (87,3% vs (90,2%; difference -2,9%) dan IACR (mITT 81,7% vs 84,2%, difference -2,6%; CE 86,9% vs 89,4%, difference -2,5%). Tingkat pemutusan pengobatan akibat efek samping adalah 2,9% untuk grup lefamulin dan 4,4% untuk grup moxifloxacin.
Kesimpulan: Lefamulin tidak inferior terhadap moxifloxacin untuk luaran efikasi primer dan secara umum aman serta dapat ditoleransi dengan baik.
Ulasan Alomedika
Tata laksana pneumonia komuniti bakterial atau community-acquired bacterial pneumonia (CABP) menjumpai tantangan besar akibat meningkatnya kasus resistensi antibiotik.
Lefamulin bekerja dengan cara menginhibisi subunit 50s ribosom pada pusat peptidil transferase. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa lefamulin mampu melawan pathogen penyebab CABP. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efikasi dan keamanan pemberian lefamulin pada kasus CABP.
Ulasan Metode dan Analisis Penelitian
Penelitian fase III ini menggunakan desain multicenter, acak, double-blind, double-dummy, active-controlled, dan parallel-group. Proses randomisasi ditetapkan 1:1 untuk grup lefamulin dan komparator aktif (moxifloxacin). Durasi terapi serupa antar kedua grup. Luaran studi menggunakan pedoman dari FDA dan European Medicines Agency (EMA). Sedangkan pemeriksaan keamanan mencakup treatment-emergent adverse events (TEAEs), paramater laboratorium, dan tanda vital pasien.
Analisis statistik penelitian ini dioptimalkan untuk menguji noninferioritas dan respond rate menurut pedoman FDA dan EMA. Margin 12,5% untuk ECR dan 10% untuk IACR disesuaikan menurut pedoman FDA dan EMA saat ini. Pengukuran dua sisi 95% confidence interval (CI) menggunakan continuity-corrected Z-statistic untuk mengukur perbedaan pada ECR. Sedangkan untuk IACR, digunakan metode Miettinen dan Nurminen. Tidak dibuat penyesuaian untuk perbandingan multipel karena masing-masing luaran primer diuji terpisah.
Ulasan Hasil Penelitian
Terdapat 551 pasien yang menjalani randomisasi dengan komposisi sebanding (n= 276 lefamulin; n= 275 moxifloxacin). Karakteristik demografi maupun baseline di antara kedua grup seimbang.
Untuk luaran primer FDA ditemukan bahwa lefamulin noninferior terhadap moxifloxacin untuk ECR (87,3% vs 90,2%). Hasil luaran primer EMA, lefamulin noninferior terhadap moxifloxacin untuk IACR (mITT 81,7% vs 84,2% dan CE 86,9% vs 89,4%).
Treatment-emergent adverse events (TEAEs) pada grup yang mendapatkan lefamulin adalah hipokalemia, mual, insomnia, dan nyeri di tempat infus. Sedangkan TEAEs yang paling sering dialami grup moxifloxacin adalah diare. Dilaporkan pula ada satu kasus angioedema pada grup moxifloxacin. Tingkat pemutusan obat penelitian yang disebabkan oleh TEAEs adalah 2,9% untuk grup lefamulin dan 4,4% untuk grup moxifloxacin.
Kelebihan Penelitian
Desain penelitian acak terkontrol dengan komparator aktif dan jumlah sampel yang adekuat mampu memberikan kekuaran analisis statistik yang optimal untuk menguji luaran primer sesuai dengan pedoman FDA maupun EMA. Dengan demikian, hasil yang diperoleh berkualitas baik dan minim potensi bias.
Penelitian ini mengeksklusi pasien CABP ringan dan membatasi penggunaan antibiotik sebelum percobaan. Selain itu, dilakukan uji diagnostik untuk mendeteksi patogen penyebab CABP yang menunjukkan hasil tinggi. Hal ini semakin memperkuat hasil analisis bahwa pengujian grup lefamulin betul-betul terfokus pada patogen CABP dan respon terapi dapat diuji dengan maksimal.
Pemilihan moxifloxacin sebagai komparator aktif memastikan assay sensitivity dan memungkinkan perbandingan noninferioritas secara klinis.
Limitasi Penelitian
Limitasi penelitian ini terletak pada kurangnya jumlah sampel pasien CABP PORT kelas risiko V yang berasal dari Amerika Utara, Eropa Barat, dan Amerika Latin. Hal tersebut tidak memungkinkan dilakukannya analisis sensitivitas berdasarkan regio geografis.
Selain itu, desain penelitian ini belum optimal untuk menguji profil keamanan dan potensi resistensi obat secara keseluruhan, sehingga dibutuhkan penelitian lanjutan untuk menjawab hal tersebut.
Aplikasi Hasil Penelitian Di Indonesia
Dengan meningkatnya kasus resistensi patogen CABP, hasil penelitian LEAP 1 untuk lefamulin benar-benar membawa harapan baru. Hasil penelitian ini menjanjikan untuk diterapkan di Indonesia. Namun, data penelitian yang masih terbatas, baik untuk data konsistensi hasil terapi, profil keamanan, maupun potensi resistansi obat dan analisis biaya. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut dan disesuaikan dengan situasi klinis di Indonesia.