Teknologi berbasis komputer dan ponsel mulai dimanfaatkan dalam manajemen berbagai kondisi medis, termasuk untuk penyokong self management pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi kronik pada saluran napas dan paru. Eksaserbasi dan komorbiditas dapat mempengaruhi keparahan penyakit ini.[1]
PPOK merupakan penyebab kematian tertinggi ke-4 di dunia. Penderita PPOK biasanya akan mengalami keluhan rekuren dan progresif, seperti sesak atau batuk kronik, yang dapat menurunkan kualitas hidup, meningkatkan angka kesakitan, dan menyebabkan kematian. Edukasi dan manajemen berkelanjutan diperlukan untuk mencegah progresi penyakit dan mengurangi risiko eksaserbasi.[2]
Edukasi dan Self-Management pada PPOK
Tujuan dari edukasi dan self-management pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah untuk motivasi, mengarahkan pasien menjalankan kebiasaan baik, meningkatkan pemahaman terhadap penyakit, dan meningkatkan peran aktif dalam terapi, yang pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan eksaserbasi dan meningkatkan prognosis pasien.[3-5]
Edukasi yang dapat diberikan antara lain berhenti merokok, cara pemakaian inhaler, pengenalan gejala eksaserbasi, serta proses pengambilan keputusan dan mencari pertolongan jika muncul perburukan gejala. Intervensi yang dilakukan dalam self-management meliputi pencatatan kondisi fisiologis mandiri, pencatatan dan kontrol perilaku kesehatan (misalnya konsumsi obat dan aktivitas fisik), serta rencana yang akan dilakukan jika terjadi perburukan gejala.[1,6]
Berbagai studi telah menunjukkan bahwa edukasi dan self-management, yang didukung dengan interaksi pasien dengan petugas kesehatan kompeten, dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas PPOK. [1,3,7]
Efikasi Penggunaan Teknologi Berbasis Komputer dan Ponsel dalam Manajemen PPOK
Sebuah uji klinis mencoba mengevaluasi efikasi program berbasis internet selama 12 bulan dalam mengontrol gejala sesak pada pasien PPOK. Studi yang melibatkan 125 pasien ini tidak menemukan perbedaan bermakna terkait perbaikan gejala sesak pada kelompok yang mendapatkan program berbasis internet dengan kontrol.
Namun, pasien dilaporkan memiliki kepuasan tinggi terhadap program, serta dilaporkan perbedaan bermakna terkait self-efficacy dalam tata laksana sesak dan perilaku terkait aktivitas fisik.[8]
Studi lain, berupa sebuah tinjauan sistematik, berusaha mengevaluasi efikasi aplikasi berbasis ponsel dalam menunjang self-management sebagai bagian intervensi untuk mengurangi frekuensi dan durasi rawat inap pada pasien PPOK. Studi ini menganalisis 6 uji klinis dengan total 391 partisipan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan aplikasi ponsel memiliki risiko rawat inap lebih rendah dibandingkan mereka yang hanya mendapat terapi standar (risk ratio 0,73). Namun, tidak ditemukan perbedaan bermakna pada jumlah hari rawat (durasi).
Pada studi ini, aplikasi di ponsel pintar digunakan untuk menyokong pasien dalam mencatat dan memantau status fisiologis mereka sendiri, termasuk saturasi oksigen, denyut nadi, pedometer, dan tekanan darah. Aplikasi juga digunakan untuk mencatat dan memantau perilaku kesehatan pasien, seperti konsumsi obat, asupan diet, dan aktivitas fisik.
Pasien mengunggah data ke ponsel mereka dan mengirimkan data tersebut ke jejaring atau sistem pemantauan untuk dilakukan follow up oleh tenaga kesehatan. Selanjutnya, pasien akan mendapat umpan balik personal (personalize feedback).[9]
Tinjauan Cochrane tahun 2017 membandingkan efikasi intervensi yang diberikan melalui komputer atau ponsel dengan intervensi tatap muka, media digital, atau media cetak dalam self-management pasien PPOK. Tinjauan ini menganalisis 3 studi dengan total 1580 partisipan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa intervensi berbasis teknologi komputer dan ponsel efektif dalam meningkatkan kualitas hidup dan aktivitas fisik pasien. Meskipun begitu, peneliti menyebutkan bahwa bukti ini memiliki tingkat bias yang tinggi dan kualitas yang rendah, sehingga masih dibutuhkan uji klinis lebih lanjut.[10]
Tinjauan Cochrane terbaru pada tahun 2021 juga memiliki kesimpulan yang sama, intervensi berbasis teknologi dinilai dapat memberikan manfaat untuk kualitas hidup dalam penggunaan jangka pendek, tetapi manfaat dalam jangka panjang belum diketahui. Bukti tersebut juga dinilai memiliki tingkat bias yang tinggi serta kualitas yang rendah.[11]
Adakah Pengaruh Usia dan Pengalaman Terhadap Penggunaan Intervensi Berbasis Komputer dan Ponsel
Sebuah studi kualitatif mencoba mengeksplorasi ekspektasi dan pengalaman pasien yang menggunakan intervensi telehealth berbasis komputer atau ponsel. Peneliti ingin mengetahui apakah terdapat kelompok pasien tertentu yang mengalami kesulitan karena penggunaan intervensi berbasis teknologi, misalnya populasi geriatri.
Dalam studi kualitatif ini, diikutkan 19 pasien berusia 50-85 tahun dengan kemampuan komputer bervariasi. Hasil studi menunjukkan bahwa seluruh pasien mampu menggunakan aplikasi, menginterpretasi data klinis, dan mengintegrasikannya dalam self-management mereka tanpa kesulitan atau kendala bermakna.[12]
Kesimpulan
Bukti ilmiah yang ada menunjukkan potensi penggunaan intervensi edukasi dan self-management berbasis komputer atau ponsel dalam tata laksana penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Intervensi ini telah dilaporkan mampu meningkatkan kualitas hidup, aktivitas fisik, serta menurunkan risiko rawat inap.
Penggunaan teknologi berbasis komputer dan ponsel ini tampaknya juga tidak menyulitkan pasien, baik berdasarkan usia ataupun kemampuan menggunakan aplikasi. Namun, studi lebih lanjut dengan risiko bias yang rendah dan kualitas bukti lebih baik masih dibutuhkan sebelum kesimpulan lebih pasti dapat ditarik.
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja