Fraktur vertebra akibat osteoporosis atau spine osteoporotic fracture tidak selalu membutuhkan operasi. Tata laksana spine osteoporotic fracture sangat bervariasi dan dapat berbeda-beda di setiap negara, di mana saat ini belum ada panduan atau standar emas untuk tata laksana spine osteoporotic fracture.[1,2]
Seiring dengan bertambahnya angka harapan hidup, angka insidensi osteoporotic fracture semakin meningkat dengan tipe terbanyak spine osteoporotic fracture. Nyeri akut yang dirasakan pasien umumnya akan membaik dalam waktu 6‒12 minggu, sehingga tata laksana konservatif atau nonoperatif masih menjadi pilihan pertama.[1,2]
Tujuan tata laksana konservatif fraktur tulang belakang dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri, yaitu dengan tirah baring jangka pendek, analgesik, obat anti-osteoporosis, fisioterapi, dan penggunaan korset (spinal ostosis). Walaupun sebagian besar kasus spine osteoporotic fracture akan membaik dengan terapi nonoperatif pada 3 bulan pertama, tetapi 40% pasien mengalami nyeri kronik hingga akhir tahun pertama.[1-3]
Indikasi Operasi Fraktur Vertebra Akibat Osteoporosis
Sekitar 15‒35% pasien fraktur vertebra akibat osteoporosis akan membutuhkan terapi operasi, karena mengalami nyeri kronik, deformitas vertebra yang disertai, penurunan fungsi paru-paru, dan defisit neurologis.[1]
Umumnya, operasi diperlukan pada kondisi berikut:
- Fraktur vertebra yang tidak stabil
- Nyeri punggung yang terus menerus dan tidak membaik dengan terapi medikamentosa (nilai VAS > 3)
- Korpus vertebra yang kolaps berat sehingga menimbulkan defisit neurologis
- Postur tulang belakang menjadi kifosis
- Terdapat fragmen tulang yang signifikan masuk ke kanalis spinalis/retropulsion[1,3]
Gambar 1. Foto MRI Torakolumbal Pasien Osteoporosis dengan Gambaran Fraktur Kompresi di L1 dan L4.
Tujuan Operasi Fraktur Vertebra Akibat Osteoporosis
Tujuan utama dari tindakan operasi pada spine osteoporotic fracture adalah untuk memperbaiki keseimbangan dan kemampuan tulang belakang dalam menopang beban fisiologis.[2]
Teknik Operasi Fraktur Vertebra Akibat Osteoporosis
Manajemen operasi yang dapat dilakukan pada spine osteoporotic fracture adalah dengan penyuntikan vertebral augmentation atau pemasangan pedicle screw dengan augmentasi.[2]
Vertebral Augmentation
Vertebral augmentation pada spine osteoporotic fracture dapat dilakukan dengan teknik vertebroplasty, yaitu injeksi polymethylmethacrylate (PMMA) ke korpus vertebra. Selain itu, dapat dengan menggunakan balon untuk memperluas dan memperbaiki tinggi korpus vertebra yang kolaps, kemudian dilakukan injeksi PMMA untuk meningkatkan kepadatan dan kekuatan tulang. Teknik ini juga disebut kyphoplasty.[4,5]
Tujuan vertebral augmentation adalah untuk mengurangi nyeri, meningkatkan kualitas hidup pasien, menstabilkan biomekanik tulang belakang, mencegah deformitas kifosis, dan mengurangi komplikasi akibat tirah baring yang lama. Penelitian oleh Chen et al menunjukkan bahwa vertebral augmentation lebih cepat mengurangi nyeri daripada terapi konservatif, yaitu 6 bulan pertama pasca operasi.[5-7]
Namun, hasil luaran vertebral augmentation pada spine osteoporotic fracture masih bervariasi. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang baik, tetapi beberapa penelitian lainnya menunjukkan tidak memberikan manfaat, Selain itu, penelitian tentang nyeri jangka panjang dan status fungsional (luaran berjalan dan mobilitas) masih kurang. Waktu yang tepat untuk dilakukan vertebral augmentation masih menjadi perdebatan, di mana komite spine dari World Federation of Neurosurgery (WFNS) merekomendasikan waktu <6 minggu sejak kejadian nyeri akut.[5,6]
Gambar 2. Foto Rontgen Torakolumbal Pasien dengan Osteoporosis dan Fraktur Kompresi L1 yang Dilakukan Vertebral Augmentation.
Fiksasi Posterior
Pada pasien spine osteoporotic fracture dengan deformitas berat, di mana kifosis >25%, perlu dilakukan operasi fiksasi posterior dengan menggunakan screw. Akan tetapi, jika pasien mengalami defisit neurologis maka perlu dilakukan operasi fiksasi posterior dengan menggunakan screw, vertebral augmentation, dan dekompresi saraf.[4]
Beberapa penelitan menunjukan bahawa pemasangan pedicle screw yang diperkuat dengan semen PMMA dapat meningkatkan kekuatan screw, sehingga dapat mengurangi risiko screw longgar atau terlepas.[5]
Risiko Komplikasi Operasi Fraktur Vertebra Akibat Osteoporosis
Angka komplikasi intraoperasi, pasca operasi, dan kegagalan pemasangan implan (screw) pada pasien osteoporosis cukup tinggi, yaitu mencapai 18,1‒41,2%. Sedangkan risiko kebocoran semen polymethylmethacrylate (PMMA) saat tindakan vertebral augmentation, yang menimbulkan gejala penekanan pada radiks saraf, mencapai +3%.[4]
Risiko komplikasi sistemik adalah emboli paru, yaitu sebesar 1%.[4]
Kesimpulan
Operasi merupakan salah satu modalitas terapi fraktur vertebra akibat osteoporosis atau spine osteoporotic fracture. Namun, angka komplikasi operasi cukup tinggi sehingga keputusan tindakan harus dilakukan dengan indikasi yang tepat.
Indikasi operasi pada spine osteoporotic fracture adalah fraktur yang tidak stabil, kifosis >25%, defisit neurologis, fragmen dari fraktur berada di kanal tulang belakang, atau nyeri berkepanjangan. Operasi vertebral augmentation dapat dilakukan jika terdapat gangguan neurologis (paraparese). Sementara itu, deformitas tulang belakang (kifosis) memerlukan operasi fiksasi posterior, yang dapat disertai dengan laminektomi dekompresi.