Suplementasi kalsium dan vitamin D3 direkomendasikan untuk mencegah osteoporosis pada pasien yang mengonsumsi kortikosteroid jangka panjang, atau >3 bulan. Setidaknya lebih dari 10% pasien dengan terapi kortikosteroid jangka panjang berisiko mengalami defisiensi kalsium. Sedangkan fraktur dapat terjadi pada 30−50% pasien yang mengonsumsi kortikosteroid jangka panjang.[1,2]
Osteoporosis akibat penggunaan kortikosteroid atau glucocorticoid induced osteoporosis merupakan jenis osteoporosis sekunder yang paling banyak dijumpai, terutama pada pasien berusia 20−45 tahun. Pencegahan osteoporosis perlu dilakukan, di mana sejumlah ahli melaporkan peranan penting dari suplementasi kalsium dan vitamin D3 pada pengguna kortikosteroid jangka panjang.[3]
Insidensi Osteoporosis Akibat Penggunaan Kortikosteroid
Peningkatan risiko osteoporosis akibat penggunaan kortikosteroid dikaitkan dengan semakin tingginya peresepan kortikosteroid sebagai obat antiinflamasi dan imunosupresan. Diestimasikan +1% penduduk di Amerika Serikat mendapatkan terapi kortikosteroid jangka panjang. Kortikosteroid kadang digunakan lebih dari 3 bulan dengan dosis tinggi pada kondisi tertentu, misalnya arteritis, vaskulitis, lupus, dermatomyositis, dan pasca transplantasi.[1,2]
Sementara itu di Inggris, kortikosteroid oral diresepkan untuk 2,5% penduduk dengan rentang usia 70−79 tahun untuk sejumlah penyakit, seperti autoimun, kanker, dan transplantasi. Fraktur dilaporkan terjadi pada 30−50% pasien pada populasi tersebut.[1,4]
Osteoporosis akibat penggunaan kortikosteroid jarang pada tulang kortikal, tetapi lebih banyak terjadi pada tulang trabekula, yaitu area tulang vertebra seperti lumbal dan femoral neck dari tulang panggul. Pada studi lain, dilaporkan bahwa 30−40% pasien yang menggunakan kortikosteroid jangka panjang mengalami fraktur vertebra.[1,4]
Mekanisme Osteoporosis Akibat Penggunaan Kortikosteroid
Mekanisme kortikosteroid dapat menyebabkan osteoporosis adalah terganggunya osteogenesis. Namun, osteoporosis akibat penggunaan kortikosteroid tidak hanya disebabkan langsung penggunaan kortikosteroid, tetapi kondisi inflamasi juga memiliki peran terhadap tingkat kerapuhan tulang.[3]
Kejadian osteoporosis dipengaruhi oleh lama dan dosis terapi kortikosteroid yang diberikan. Peningkatan risiko fraktur dapat terjadi dalam 3 bulan sejak awal terapi, dan menurun dengan penghentian terapi kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid dalam dosis kecil, seperti prednison sebesar 2,5−5 mg/hari pun dapat meningkatkan risiko fraktur jika digunakan jangka panjang.[3,5]
Pengaruh Kortikosteroid pada Tulang
Dalam satu studi, efek langsung dan utama dari kortikosteroid pada tulang adalah gangguan osteogenesis. Secara cepat dan signifikan, penggunaan prednison 5 mg/hari dapat menurunkan kadar serum P1NP (procollagen type I N-terminal propeptide) dan osteocalcin, yang merupakan penanda spesifik untuk pembentukan tulang. Dilaporkan pula bahwa kenaikan P1NP dan osteocalcin terjadi saat pemberian prednison dihentikan.[3]
Kortikosteroid konsentrasi tinggi dapat menurunkan secara drastis tingkat pembentukan tulang, jumlah osteoblas, serta jumlah dan aktivitas osteosit. Penurunan fungsi osteoblas diduga akibat efek anti-anabolik dari kortikosteroid, seperti penurunan growth hormone (GH), insulin-like growth factor-1 (IGF1), dan IGF-binding proteins (IGFBP).[3]
Pada osteosit, kortikosteroid juga dapat menurunkankan matriks yang mengelilingi lakuna osteosit. Penurunan bone mineral density (BMD) dilaporkan mulai terjadi pada pemakaian kortikosteroid selama 3−6 bulan, sebagai akibat dari resorpsi tulang yang berlebihan.[3]
Peran Inflamasi pada Tulang
Alasan utama penggunaan kortikosteroid jangka panjang utamanya adalah untuk menekan inflamasi. Sejumlah studi observasional dan biologis melaporkan peran inflamasi terhadap proses remodelling tulang, seperti memicu peningkatan resorpsi dan penurunan formasi tulang.[3]
Dalam populasi umum, kenaikan kadar C-reactive protein (CRP) yang minimal saja dapat meningkatkan risiko fraktur non-traumatik. Pada sejumlah studi lainnya, penanda inflamasi dan sitokin dalam kadar rendah dapat memprediksi hilangnya massa tulang, sehingga peningkatan kadar penanda inflamasi dapat menjadi prognostik terjadinya fraktur.[3]
Risiko Hiperkalsiuria
Studi menunjukkan penggunaan prednisolon peroral meningkatkan rasio kalsium/kreatinin dalam urin, sedangkan kadar osteocalcin menurun. Kondisi ini menunjukkan terapi kortikosteroid sistemik dapat menekan pembentukan tulang pada anak. Studi ini, melibatkan penderita sindrom nefrotik usia 1‒15 tahun yang diberikan prednisolon 2 mg/kgBB/hari.[6]
Peran Suplementasi Kalsium dan Vitamin D3 untuk Mencegah Osteoporosis akibat Penggunaan Kortikosteroid
Mengingat efek samping osteoporosis yang signifikan, maka pencegahannya perlu dilakukan pada pasien yang menggunakan kortikosteroid terutama dalam jangka panjang. Terapi lini pertama osteoporosis akibat penggunaan kortikosteroid yang diketahui antara lain bifosfonat kombinasi dengan suplementasi kalsium dan vitamin D3.[1,5]
Kalsium dan vitamin D merupakan nutrisi yang krusial untuk menjaga kesehatan tulang. Defisiensi kalsium berkaitan erat dengan penurunan massa tulang dan juga osteoporosis, sementara defisiensi vitamin D berkaitan dengan osteomalacia. Sejumlah studi telah mengevaluasi efektivitas dan keamanan suplementasi vitamin D dan kalsium dalam pencegahan dan penanganan osteoporosis pada pasien yang menggunakan kortikosteroid jangka panjang.[5]
Manfaat Suplementasi Kalsium dan Vitamin D3
Studi meta analisis oleh Tai et al tahun 2015 mengidentifikasi 59 randomised controlled trials (RCT) yang mempelajari sumber makanan tinggi kalsium (15 RCT dengan 1.533 subjek) dan yang mempelajari suplementasi kalsium (51 RCT dengan 12.257 subjek).[7]
Peningkatan asupan kalsium dari sumber makanan tampaknya dapat meningkatkan BMD sebesar 0,6−1,0% dari total tulang pinggul dan total tubuh setelah 1 tahun, serta sebesar 0,7−1,8% pada tulang pinggul, vertebra lumbal, dan leher femoralis setelah 2 tahun. Namun, tidak dijumpai perubahan BMD di tulang lengan bawah. Sedangkan suplemen kalsium dilaporkan meningkatkan BMD sebesar 0,7−1,8% di semua lima lokasi tulang, setelah 1 tahun, 2 tahun, dan >2,5 tahun. Namun, peningkatan BMD pada waktu selanjutnya serupa dengan peningkatan pada 1 tahun.[7]
Dalam studi meta-regresi tahun 2002, dilaporkan bahwa penggunaan vitamin D dapat meningkatkan efektivitas kerja bifosfonat dalam tata laksana osteoporosis yang dipicu penggunaan kortikosteroid (effect size 1,31; 95% CI 1,07).[9]
Rekomendasi Dosis Suplementasi Kalsium dan Vitamin D3 untuk Mencegah Osteoporosis akibat Penggunaan Kortikosteroid
Suplementasi kalsium minimal 500 mg/hari dilaporkan dapat meningkatkan bone mineral density (BMD). Berdasarkan rekomendasi The American College of Rheumatology, semua pasien dewasa yang mendapatkan prednison dengan dosis ≥2,5 mg/hari selama >3 bulan perlu mengoptimalkan asupan kalsium dan vitamin D.[1]
Untuk semua orang dewasa (wanita tidak hamil dan pria) yang mengonsumsi prednison dengan dosis ≥2,5 mg/hari selama >3 bulan, direkomendasikan untuk mendapatkan asupan kalsium 1000−1200 mg/hari dan vitamin D3 600−800 IU/hari. Sebaiknya disertai modifikasi gaya hidup, seperti diet gizi seimbang, mempertahankan berat badan ideal, berhenti merokok, rutin olahraga, dan mengurangi konsumsi alkohol.[1]
Pasien dewasa >40 tahun yang memiliki risiko rendah mengalami fraktur harus mengoptimalkan asupan kalsium dan vitamin D3 serta modifikasi gaya hidup. Sedangkan pasien dengan risiko tinggi mengalami fraktur akan kurang bermanfaat jika hanya diberikan kalsium dan vitamin D, sehingga mengonsumsi kalsium dan vitamin D kombinasi dengan bifosfonat atau dengan obat osteoporosis lainnya, seperti teriparatide, denosumab atau raloxifene.[1]
Keamanan Suplementasi Kalsium dan Vitamin D3
Terdapat kekhawatiran potensi bahaya dari suplementasi kalsium dan vitamin D. Telah banyak studi yang mempelajari risiko suplementasi kalsium terhadap kejadian kardiovaskular, keluhan gastrointestinal, dan pembentukan batu ginjal. Sedangkan vitamin D yang tidak larut dalam air memiliki risiko toksisitas.[1,12,13]
Risiko Kejadian Kardiovaskular
Efek samping pemberian kalsium telah lama difokuskan pada penyakit kardiovaskular,. Penyakit kardiovaskular, terutama infark miokard dan iskemia miokard, adalah salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Namun, hal ini belum cukup terbukti secara ilmiah sehingga suplementasi kalsium untuk pasien dengan riwayat penyakit jantung dan pembuluh darah harus diresepkan dengan hati-hati. Sebagai catatan, pasien dengan hiperkalsemia harus menghindari konsumsi suplemen kalsium.[12]
Risiko Keluhan Gastrointestinal
Masalah keamanan lain sehubungan dengan kalsium adalah penyakit gastrointestinal, yaitu konstipasi, diare, dan nyeri abdomen. Akan tetapi, temuan terkait efek samping ini tidak konsisten karena penelitian lain telah menunjukkan pengurangan risiko kanker kolorektal dengan suplemen kalsium.[12]
Risiko Pembentukan Batu Ginjal
Beberapa penelitian memang menunjukkan kalsium memiliki efek positif pada pembentukan batu ginjal, tetapi literatur mengenai hubungan antara kalsium dan pembentukan batu ginjal tidak konsisten. Umumnya, pembentukan batu pada saluran kemih normal relatif jarang dan dipengaruhi multifaktor, seperti kondisi kesehatan, keasaman urin, kebiasaan diet, dan variasi asupan suplemen kalsium (kalsium oksalat, kalsium sitrat, dan kalsium karbonat).[12]
Risiko Toksisitas Vitamin D
Toksisitas vitamin D biasanya dimediasi melalui hiperkalsemia, dan lebih berisiko pada pasien lansia. Gejala toksisitas bisa ringan seperti haus dan poliuria, hingga gejala berat termasuk kejang, koma, dan kematian.[13]
Keamanan dan Efikasi Kalsium Fosfat
Kalsium fosfat merupakan suplemen gabungan mineral kalsium dan fosfat. Jenis kalsium ini sangat penting dalam proses pembentukan tulang. Kalsium fosfat dilaporkan memiliki efek samping yang lebih minim daripada kalsium karbonat. Beberapa efek samping penggunaan kalsium pada umumnya antara lain konstipasi, dispepsia, mual muntah, dan penurunan nafsu makan.[10,11]
Namun, kalsium fosfat memiliki efektivitas yang tak kalah baik daripada kalsium karbonat. Studi acak single blind yang dilakukan selama 12 bulan mencoba membandingkan efikasi kalsium fosfat dan kalsium karbonat. Pada kedua kelompok, dilaporkan BMD tulang belakang bagian lumbal meningkat sebesar 7,2% dan BMD panggul meningkat sebesar 2,1%.[10,11]
Meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua kelompok, tetapi pemberian kalsium fosfat dapat menjadi alternatif bagi pasien pengguna kortikosteroid jangka panjang yang juga mengalami defisiensi fosfat.[10,11]
Kesimpulan
Peningkatan penggunaan kortikosteroid jangka panjang menjadi penyebab utama peningkatan kasus osteoporosis sekunder akibat penggunaan obat. Kortikosteroid digunakan untuk kondisi inflamasi, dan dapat diberikan dalam jangka panjang (>3 bulan) misalnya pada kondisi autoimun, arteritis, vaskulitis, lupus, penyakit paru obstruksi kronis, atau pasca transplantasi.
Nutrisi kalsium dan vitamin D penting untuk kesehatan tulang. Kekurangan kalsium dapat menurunkan massa tulang, sehingga berisiko mengalami osteoporosis. Sedangkan kekurangan vitamin D dapat berisiko terjadi osteomalacia.
Pencegahan osteoporosis perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pada pasien yang menggunakan kortikosteroid jangka panjang. Sejumlah ahli melaporkan peranan penting dari suplementasi kalsium dan vitamin D3 pada pengguna kortikosteroid, seperti prednison dengan dosis ≥2,5 mg/hari selama lebih dari 3 bulan.