Hentikan Pemeriksaan Rutin Kadar Vitamin D

Oleh :
dr.Megawati Tanu

Saat ini pemeriksaan kadar vitamin D sering dilakukan di populasi umum karena hasil beberapa studi menunjukkan adanya asosiasi antara kadar vitamin D yang rendah dan bermacam penyakit. Contohnya adalah penyakit kardiovaskular, autoimun, infeksi, dan muskuloskeletal. Namun, hubungan kausatif sebenarnya belum dapat ditegakkan dari studi-studi tersebut. Pemeriksaan kadar vitamin D secara rutin di populasi umum juga belum didukung oleh bukti manfaat yang jelas.[1]

Hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dan kejadian berbagai penyakit tersebut juga menyebabkan peningkatan suplementasi vitamin D di populasi umum. Di Amerika Serikat, prevalensi suplementasi vitamin D ≥1000 IU per hari meningkat dari 0.3% pada tahun 1999–2000 menjadi 18.2% pada tahun 2013–2014. Artikel ini akan membahas bagaimana anjuran pemeriksaan dan suplementasi vitamin D yang sebenarnya sesuai bukti klinis.[1]

Hand,Holding,Blood,Sample,For,Vitamin,D,Test

Sekilas tentang Sintesis dan Metabolisme Vitamin D

Vitamin D sebenarnya bisa disintesis secara endogen jika ada paparan sinar matahari yang cukup. Namun, penurunan paparan sinar matahari akibat pakaian atau kurangnya waktu di luar ruangan membuat populasi umum semakin tergantung pada asupan vitamin D oral.[1]

Vitamin D dari asupan oral maupun dari kulit akan dikonversi di hati menjadi 25(OH)D. Setelah itu, terjadi hidroksilasi untuk membentuk metabolit aktif di berbagai jaringan, yaitu 1,25-dihydroxyvitamin D. Untuk pemeriksaan kadar vitamin D, konsentrasi yang dinilai umumnya adalah 25(OH)D.[1]

Evaluasi Perlu Tidaknya Pemeriksaan Rutin Kadar Vitamin D

Beberapa studi telah dilakukan untuk mengevaluasi ada tidaknya manfaat pemeriksaan kadar vitamin D terhadap luaran klinis populasi asimtomatik, serta efektivitas biayanya. Hasil-hasil studi tidak menemukan bukti yang adekuat tentang efektivitas pemeriksaan kadar vitamin D terhadap luaran klinis pasien yang memiliki vitamin D rendah tetapi asimtomatik. Pemeriksaan kadar vitamin D juga tidak selalu ditranslasi ke perbaikan status vitamin D.[2]

Studi tentang efektivitas biaya masih menunjukkan hasil pro dan kontra. Suplementasi vitamin D dinilai berbiaya terjangkau dan berisiko rendah, sehingga bisa dimulai tanpa harus tes kadar vitamin D terlebih dahulu. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa tes dapat mengurangi biaya yang diperlukan dalam jangka panjang.[2,3]

Pada umumnya, mayoritas organisasi kesehatan tidak merekomendasi pemeriksaan kadar vitamin D rutin. The US Preventive Services Task Force (USPSTF) menyatakan bahwa belum ada bukti manfaat skrining kadar vitamin D pada populasi umum yang asimtomatik. The National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) dan The Ontario Health Technology Advisory Committee (OHTAC) juga tidak merekomendasi pemeriksaan kadar vitamin D rutin, kecuali pada kasus tertentu.[2,4]

Menurut The Endocrine Society 2024, pada populasi dewasa usia <50 tahun maupun 50–74 tahun, pemeriksaan kadar vitamin D rutin juga tidak dianjurkan. Pada populasi dewasa yang sehat tanpa indikasi spesifik, tidak ada bukti manfaat tes vitamin D. Oleh sebab itu, tes vitamin D rutin tidak dianjurkan, baik untuk menentukan apakah perlu suplementasi vitamin D ataupun menentukan dosis suplementasi vitamin D. Selain itu, belum ada level cut-off kadar vitamin D yang jelas untuk prevensi penyakit.[1]

Risiko Pemeriksaan Kadar Vitamin D yang Tidak Perlu

Pemeriksaan rutin kadar vitamin D mungkin menyebabkan misklasifikasi seseorang sebagai kasus defisiensi vitamin D karena nilai cut-off yang belum jelas. Misklasifikasi bisa menyebabkan overdiagnosis. Overdiagnosis mungkin menyebabkan penggunaan suplementasi vitamin D berlebihan yang tidak diperlukan. Meskipun vitamin D bersifat relatif aman, level vitamin D yang berlebihan dapat menyebabkan toksisitas.[4]

Seleksi Kandidat untuk Pemeriksaan Kadar Vitamin D

The Endocrine Society menyatakan bahwa pemeriksaan vitamin D mungkin dilakukan untuk populasi khusus yang membutuhkan asupan vitamin D lebih dari rekomendasi vitamin D harian, seperti kasus malabsorpsi (sindrom usus pendek, bypass gaster, dan penyakit usus besar), individu dengan peningkatan katabolisme vitamin D, dan individu dengan gangguan ginjal (sindrom nefrotik).[1]

Sementara itu, NICE menyarankan tes vitamin D untuk pasien dengan gejala defisiensi vitamin D yang jelas, pasien yang berisiko tinggi defisiensi (misalnya kurang paparan sinar matahari), atau memiliki penyakit pendasar seperti osteomalacia. OHTAC juga hanya merekomendasi tes vitamin D pada individu dengan risiko tinggi, yaitu dengan osteoporosis, rickets, osteopenia, malabsorpsi, penyakit ginjal, atau pemakaian obat yang mengganggu absorpsi atau metabolisme vitamin D.[2]

Individu dengan dark complexion dinilai lebih berisiko memiliki kadar vitamin D yang rendah, tetapi tidak dianjurkan untuk tes rutin. Dark complexion didefinisikan sebagai fenotipe yang melibatkan warna mata, rambut, dan kulit lebih gelap. Pigmentasi kulit ditentukan oleh jumlah melanin, yang dapat mengganggu produksi vitamin D sebagai respons terhadap paparan sinar UV-B. Namun, tes rutin tetap tidak dianjurkan pada kelompok ini karena belum adanya bukti manfaat.[1]

Individu dewasa dengan obesitas juga dinilai lebih berisiko memiliki kadar vitamin D yang rendah, tetapi tidak dianjurkan untuk tes rutin. Hal ini dikarenakan belum ada bukti manfaat yang jelas.[1]

Rekomendasi Suplementasi Vitamin D pada Anak-Anak

Menurut rekomendasi The Endocrine Society 2024, suplementasi vitamin D empiris untuk anak berusia 1–18 tahun disarankan untuk mencegah rakhitis akibat kekurangan nutrisi dan menurunkan risiko kejadian infeksi saluran napas.[1]

Vitamin D empiris mencakup makanan yang diperkaya ‘fortified’, formulasi vitamin yang mengandung vitamin D, maupun suplementasi vitamin D3 atau D2 dalam bentuk pil atau drop. Berdasarkan hasil uji klinis termasuk tinjauan sistematik terkait vitamin D dan infeksi saluran pernapasan pada anak-anak, dosis vitamin D yang dibutuhkan berkisar 300-2000 IU setiap hari. Rata-rata dosis 1200 IU/hari.[1]

Rekomendasi Suplementasi Vitamin D pada Orang Dewasa dan Lansia

Suplementasi vitamin D empiris dan pemeriksaan rutin kadar 25(OH)D pada dewasa usia 19-74 tahun tidak disarankan kecuali bila ada indikasi. Panel tidak menyarankan suplementasi vitamin D rutin yang melebihi jumlah yang diperlukan untuk memenuhi pedoman referensi diet karena tidak ada bukti mengenai keuntungan suplementasi.[1]

Dietary Reference Intake (DRI) vitamin D menurut US Institute of Medicine adalah 600 IU. Pada orang usia >50 tahun yang mempunyai indikasi terapi vitamin D, suplementasi sebaiknya diberikan setiap hari dibandingkan dosis tinggi intermiten.[1]

Suplementasi vitamin D empiris disarankan untuk individu berusia ≥75 tahun untuk menurunkan risiko mortalitas, tetapi pemeriksaan rutin kadar 25(OH)D tidak disarankan. Perkiraan rata-rata dosis vitamin D setiap hari adalah 900 IU. Rekomendasi DRI vitamin D menurut US Institute of Medicine untuk usia >70 tahun adalah 800 IU. [1]

Rekomendasi Suplementasi Vitamin D pada Ibu Hamil

Suplementasi vitamin D empiris selama kehamilan disarankan dan dapat menurunkan risiko pre-eklampsia, mortalitas intrauterin, kelahiran prematur, small gestational birth,  dan mortalitas neonatus. Namun, pemeriksaan kadar 25(OH)D rutin selama kehamilan tidak disarankan.[1]

Dosis vitamin D pada uji klinis berkisar 600–5000 IU/hari ekuivalen, diberikan setiap hari atau setiap minggu. Perkiraan rata-rata dosis sekitar 2500 IU/hari. Recommended Daily Allowance (RDA) menurut American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) selama kehamilan adalah 600 IU.[1]

Kesimpulan

Berdasarkan studi-studi yang ada saat ini, belum ada bukti adekuat untuk mendukung pemeriksaan rutin kadar vitamin D pada populasi umum yang sehat dan asimtomatik. Oleh sebab itu, berbagai organisasi kesehatan tidak merekomendasikan pemeriksaan rutin kadar vitamin D pada populasi umum, baik untuk menentukan perlu tidaknya mulai suplementasi vitamin D maupun menentukan dosis suplementasi.

Pemeriksaan kadar vitamin D disarankan hanya untuk indikasi tertentu, misalnya pasien dengan gejala defisiensi vitamin D yang jelas, pasien yang berisiko tinggi defisiensi, atau pasien yang memiliki penyakit pendasar. Pemeriksaan vitamin D yang dilakukan tanpa seleksi yang tepat berisiko menyebabkan overdiagnosis dan penggunaan dosis suplementasi yang melebihi kebutuhan.

Pemeriksaan rutin kadar vitamin D juga tidak selalu ditranslasi menjadi perbaikan status vitamin D. Berbagai studi juga menunjukkan bahwa pemeriksaan rutin kadar vitamin D tidak memperbaiki luaran klinis pasien secara signifikan.

Selain itu, suplementasi vitamin D umumnya dapat diberikan secara empiris tanpa tes kadar vitamin D terlebih dahulu, mengingat biaya suplementasi vitamin D yang cukup terjangkau dan keamanannya yang baik. Selain itu, saat ini belum ada nilai cut-off yang jelas dalam pemeriksaan kadar vitamin D untuk menentukan titik prevensi penyakit yang optimal.

Referensi