Rendahnya kadar vitamin D yang terkandung dan ditransmisikan melalui air susu ibu (ASI) menyebabkan bayi berisiko mengalami defisiensi vitamin D, khususnya mereka yang hanya mendapat ASI sebagai satu-satunya sumber nutrisi. Defisiensi vitamin D pada bayi dan anak dapat menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang, seperti riketsia nutrisional, osteomalasia, sampai gangguan tumbuh kembang.
Vitamin D merupakan hormon steroid larut lemak yang berperan dalam pertumbuhan sel, metabolisme tulang, sistem imun, dan sistem saraf. Sebanyak 80% vitamin D dalam tubuh manusia diproduksi ketika kulit terpapar oleh sinar ultraviolet B dari radiasi matahari, sedangkan 20% lainnya didapat dari asupan makanan.[1,2]
Suplementasi vitamin D pada bayi direkomendasikan oleh berbagai konsensus dan lembaga kesehatan internasional untuk mencegah masalah kesehatan yang diakibatkan oleh defisiensi vitamin D. Efek suplementasi vitamin D terhadap kejadian defisiensi vitamin D serta dosis dan rute pemberian suplementasi vitamin D telah banyak diteliti lebih lanjut dalam studi-studi ilmiah terkini.[3,5]
Pentingnya Suplementasi Vitamin D pada Bayi
ASI merupakan sumber nutrisi yang paling optimal untuk bayi sampai dengan usia 6 bulan. World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, yang selanjutnya dikombinasikan dengan makanan pendamping ASI untuk anak 6 bulan sampai usia 2 tahun. Namun, bayi yang mendapat ASI, khususnya ASI eksklusif, berisiko mengalami defisiensi vitamin D. Risiko defisiensi meningkat secara progresif pada bayi yang masih mendapat ASI setelah usia 1 tahun jika tidak diberikan suplementasi vitamin D. Defisiensi vitamin D terjadi akibat rendahnya kadar vitamin D yang terkandung dan ditransmisikan melalui ASI. Selain itu, kadar vitamin D maternal yang rendah dan paparan sinar matahari yang terbatas juga berkontribusi terhadap terjadinya defisiensi vitamin D pada bayi.[2,4,5]
Fungsi utama vitamin D adalah mempertahankan kadar kalsium dalam tubuh dengan cara meningkatkan absorpsi dari gastrointestinal, meningkatkan resorpsi kalsium dari tulang, dan meningkatkan reabsorpsi kalsium pada tubulus distal ginjal. Salah satu dampak dari defisiensi vitamin D yang sering terjadi adalah riketsia nutrisional, yaitu abnormalitas mineralisasi tulang dan kartilago yang berujung pada gangguan pertumbuhan dan deformitas muskuloskeletal. Prevalensi riketsia nutrisional di berbagai negara berkisar antara 2,9-7,5 per 100.000 anak.[3,5,6]
Defisiensi vitamin D berat dapat menyebabkan hipokalsemia yang berujung pada kelemahan otot, iritabilitas, dan kejang (hypocalcemic seizure) pada anak. Dampak nonmuskuloskeletal dari defisiensi vitamin D antara lain adalah peningkatan risiko infeksi saluran napas atas, kondisi atopik, autoimun, hiperglikemia, hipertensi, dan penyakit metabolik lain di masa mendatang.[3,5,6,8]
Rekomendasi dan Bukti Ilmiah Terkait Suplementasi Vitamin D pada Bayi
American Academy of Pediatrics (AAP), United Kingdom- National Institute for Health and Care Excellence (UK NICE), dan Institute of Medicine Amerika Serikat telah merekomendasikan suplementasi vitamin D untuk bayi lahir cukup bulan yang mendapat ASI. Kebutuhan minimal vitamin D yang direkomendasikan untuk mencegah riketsia dan defisiensi vitamin D adalah 400 IU/hari. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, suplementasi vitamin D dengan dosis 400 IU/hari dapat diberikan sejak beberapa hari setelah bayi lahir. Suplementasi dilanjutkan sampai anak disapih dan mampu mengonsumsi susu murni atau susu terfortifikasi vitamin D sebanyak 1 liter/hari. Durasi pemberian suplementasi vitamin D belum ditetapkan secara pasti, namun beberapa ahli merekomendasikan untuk diberikan sampai anak usia 2 tahun dengan pertimbangan laju pertumbuhan anak yang masih sangat pesat.[5-7]
Konsensus global yang dipublikasikan oleh Munns et al (2016) mengklasifikasikan status vitamin D menjadi :
- Cukup: vitamin D-25 OH > 50 nmol/L
- Insufisiensi: vitamin D-25 OH 30-50 nmol/L
- Defisiensi: vitamin D-25 OH < 30 nmol/L
Konsensus tersebut merekomendasikan pemberian suplementasi vitamin D 400 IU/hari untuk mencegah riketsia pada seluruh bayi usia 0-12 bulan tanpa terkecuali. Untuk anak usia di atas 12 bulan, kebutuhan vitamin D sebesar 600 IU/hari diharapkan dapat terpenuhi dari asupan makanan maupun suplemen jika perlu.[3]
Tinjauan Sistematik Terkini Tentang Suplementasi Vitamin D
Sebuah tinjauan sistematik Cochrane (2018) menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D 400 IU/hari dapat mencegah insufisiensi vitamin D sekaligus meningkatkan kadar vitamin D-25 OH dalam tubuh bayi dengan rerata peningkatan sebesar 22,63 nmol/L. Namun, belum didapatkan bukti yang cukup untuk mengetahui efikasi suplementasi dalam mencegah defisiensi vitamin D pada bayi sampai dengan usia 6 bulan. Suplementasi vitamin D maternal yang diberikan kepada ibu menyusui juga diketahui dapat meningkatkan kadar vitamin D-25 OH pada bayi serta mencegah insufisiensi maupun defisiensi vitamin D pada bayi. Suplementasi vitamin D yang diberikan secara langsung kepada bayi meningkatkan kadar vitamin D-25 OH lebih baik dibandingkan suplementasi maternal.[5]
Tinjauan sistematik lain mencoba membandingkan efikasi suplementasi vitamin D maternal dan suplementasi vitamin D dosis intermiten dengan suplementasi vitamin D dosis standar (400 IU/hari). Dari tinjauan tersebut, didapatkan hasil yang inkonklusif. Meskipun bukti ilmiah yang ada masih sangat lemah untuk merekomendasikan suplementasi maternal dan dosis intermiten sebagai pedoman standar, keduanya berpotensi menjadi alternatif dalam pemberian suplementasi vitamin D untuk pencegahan defisiensi pada bayi.[8]
Risiko Efek Samping Suplementasi Vitamin D
Defisiensi vitamin D telah diketahui sebagai faktor risiko berbagai penyakit, misalnya Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) dan sakit kepala tegang (tension type headache). Meski demikian, suplementasi vitamin D juga dapat menimbulkan berbagai efek samping, misalnya mual, muntah, dan terbentuknya batu kalsium di ginjal.
Toksisitas vitamin D didefinisikan sebagai kadar vitamin D-25OH >250 nmol/L yang disertai hiperkalsemia, hiperkalsiuria, dan supresi fungsi hormon paratiroid (PTH). Intoksikasi umumnya terjadi pada bayi atau anak yang mendapat suplementasi vitamin D dosis tinggi (240.000-4.500.000 IU). Dosis vitamin D 400 IU/hari telah dianggap aman dan memiliki risiko toksisitas dan overdosis yang relatif rendah pada bayi [3,5,7].
Kesimpulan
Vitamin D berperan penting dalam menjaga keseimbangan kadar kalsium yang dibutuhkan oleh sistem muskuloskeletal, khususnya untuk metabolisme tulang. Defisiensi vitamin D dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan pada bayi, terutama riketsia nutrisional. Kadar vitamin D yang rendah dalam ASI membuat bayi yang hanya mendapat ASI (ASI eksklusif) berisiko mengalami defisiensi vitamin D. Maka dari itu, suplementasi vitamin D direkomendasikan untuk mencegah riketsia nutrisional dan komplikasi lain dari defisiensi vitamin D. Sejauh ini, suplementasi vitamin D yang disarankan adalah pemberian langsung ke bayi secara oral dengan dosis 400 IU/hari. Durasi dan frekuensi pemberian suplemen vitamin D, efek samping, serta alternatif cara pemberian (seperti suplementasi maternal dan suplementasi intermiten) masih perlu diteliti lebih lanjut.