Hipoglikemia nondiabetes mellitus dapat memiliki etiologi yang bervariasi, contohnya gangguan enzim bawaan, operasi bariatrik, insulinoma, gangguan hati, alkoholisme, dan penggunaan obat-obatan tertentu. Hipoglikemia semacam ini jarang terjadi tetapi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipoglikemia reaktif (postprandial) dan hipoglikemia puasa (fasting hypoglycemia).[1]
Menurut sebuah penelitian di Jepang terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit, hipoglikemia yang tidak terkait diabetes mellitus memiliki angka kematian 14,9%. Angka ini jauh lebih tinggi daripada angka kematian hipoglikemia yang terkait diabetes mellitus pada studi kohort lain, yaitu 3,8%.[2]
Etiologi Hipoglikemia Reaktif atau Postprandial
Hipoglikemia reaktif atau hipoglikemia postprandial adalah munculnya gejala simpatetik dan gejala neuroglikopenik akibat hipoglikemia, yang terjadi dalam rentang waktu 4 jam setelah makan. Hipoglikemia reaktif dapat disebabkan oleh gangguan enzim tertentu, contohnya pada kasus intoleransi fruktosa dan galaktosemia.
Selain itu, operasi saluran cerna atas (misalnya gastrektomi) juga dilaporkan dapat menyebabkan hipoglikemia reaktif karena meningkatkan absorpsi glukosa di usus dan meningkatkan sekresi insulin secara berlebihan.[1,3,4]
Insulinoma yang merupakan tumor neuroendokrin juga dilaporkan bisa menyebabkan hipoglikemia reaktif. Namun, kasus insulinoma yang menyebabkan hipoglikemia reaktif dikatakan lebih jarang daripada kasus yang menyebabkan hipoglikemia puasa.[5]
Etiologi Hipoglikemia Puasa
Hipoglikemia puasa disebabkan oleh penyakit-penyakit yang mengganggu metabolisme glukosa, sehingga tubuh tidak bisa meregulasi kondisi euglikemia saat puasa. Contoh etiologi hipoglikemia ini adalah insulinoma, non-β cell tumor, sindrom autoimun insulin, gangguan enzim hati bawaan, dan lain-lain.
Insulinoma
Insulinoma dapat terjadi sebagai penyakit independen atau sebagai bagian dari sindrom multiple endocrine neoplasia type I (MEN 1). Pada saat hipoglikemia terjadi, konsentrasi insulin, proinsulin, dan c-peptide dapat ditemukan meningkat.
Non-β Cell Tumor
Non-β cell tumor juga dapat menyebabkan hipoglikemia. Contohnya adalah tumor mesenkim maligna di mediastinum atau retroperitoneum, fibroma, karsinoid, myeloma, limfoma, karsinoma hepatoselular, dan kanker kolorektal. Hal ini diduga terjadi karena sel tumor mensekresikan insulin-like growth factor (IGF-2).
Sindrom Autoimun Insulin
Pada kondisi ini, ada antibodi yang mengikat insulin, proinsulin, atau reseptor insulin, sehingga insulin tidak dapat bekerja untuk mengurangi kadar glukosa saat makan. Setelah itu, insulin baru terlepas (terlambat) beberapa waktu kemudian, sehingga terjadi hipoglikemia puasa atau hipoglikemia postprandial terlambat.
Gangguan Enzim Hati Bawaan
Contoh gangguan enzim hati yang dapat menyebabkan hipoglikemia adalah defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) dan fructose-1,6-diphosphatase.
Gangguan Oksidasi Asam Lemak
Gangguan oksidasi asam lemak seperti yang terjadi pada defisiensi karnitin sistemik dan defek ketogenesis dapat menyebabkan hipoglikemia meskipun seseorang tidak memiliki diabetes mellitus.
Ketidakseimbangan Hormon dan Kondisi Kritis
Ketidakseimbangan hormon-hormon tertentu dapat menyebabkan hipoglikemia, seperti hipoadrenalisme, rendahnya growth hormone pada anak-anak, defisiensi glukagon, dan defisiensi epinefrin. Selain itu, hipoglikemia juga dapat ditemukan pada kondisi kritis, seperti gagal jantung, gagal ginjal, gagal liver, dan sepsis.[3,4,6-8]
Obat-obatan dan Zat yang Dapat Menyebabkan Hipoglikemia
Obat-obatan tertentu dilaporkan berhubungan dengan hipoglikemia. Contohnya adalah golongan kuinolon, seperti gatifloxacin, ciprofloxacin, dan levofloxacin. Namun, bukti yang ada terkait hubungan hipoglikemia dan obat-obat ini masih terbatas. Beberapa obat lain seperti pentamidin, kuinin, bloker beta, dan angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) juga pernah dilaporkan menyebabkan hipoglikemia.
Overdosis yang disengaja maupun tidak disengaja dengan agen-agen hipoglikemik oral seperti sulfonilurea juga perlu dipertimbangkan. Anak-anak berusia muda dapat secara tidak sengaja mengonsumsi sulfonilurea milik orang tuanya.
Penggunaan tramadol pada kasus nyeri yang bukan karena kanker dilaporkan memiliki risiko hipoglikemia yang membutuhkan rawat inap 2 kali lipat lebih tinggi daripada kodein. Selain itu, alkoholisme juga dilaporkan dapat memicu hipoglikemia.[9,10]
Pemeriksaan untuk Kasus Hipoglikemia Tanpa Diabetes Mellitus
Investigasi lebih lanjut harus dilakukan pada pasien yang memiliki trias Whipple, yaitu: (1) kadar glukosa plasma rendah; (2) manifestasi klinis sejalan dengan hipoglikemia; dan (3) manifestasi klinis membaik ketika kadar glukosa plasma meningkat.
Anamnesis perlu menanyakan gejala apa saja yang dialami, kapan gejala muncul, apa hubungan gejala dengan konsumsi makanan, riwayat penyakit, dan riwayat pemakaian obat-obatan.
Jika memungkinkan, pemeriksaan harus dilakukan saat episode hipoglikemia spontan. Contoh tes yang diperlukan adalah kadar glukosa plasma, insulin, proinsulin, c-peptide, dan β-hydroxybutyrate, serta skrining agen hipoglikemik oral seperti sulfonilurea. Glukagon 1 mg dapat diberikan secara intravena sambil monitor ketat respons glukosa tiap 10 menit selama 30 menit. Tindakan ini bermaksud untuk membedakan kasus hipoglikemia akibat hiperinsulinemia dari penyebab lain.
Jika tes tidak dapat dilakukan saat episode hipoglikemia spontan, dokter bisa memilih untuk melakukan tes puasa 72 jam atau tes mixed meal yang dilakukan dengan monitor ketat dan diikuti dengan pemberian glukagon.[8]
Penatalaksanaan Hipoglikemia yang Tidak Terkait Diabetes Mellitus
Pada hipoglikemia akut, asupan glukosa oral sebanyak 15–20 gram dapat diberikan tiap 15 menit pada pasien yang sadar sampai hipoglikemia teratasi. Namun, pasien yang tidak dapat menerima asupan oral dapat diberikan bolus dekstrosa 50% sebanyak 50 mL melalui jalur intravena.[8]
Glukagon bisa diberikan melalui jalur intramuskular atau subkutan bila larutan dekstrosa 50% tidak tersedia. Setelah mencapai kondisi euglikemia, dokter dapat memilih cairan infus rumatan berupa dekstrosa 10% atau 20% sesuai kondisi pasien.[7]
Pada keadaan hipoglikemia yang kronis, etiologi yang mendasari harus ditata laksana. Bila hipoglikemia disebabkan oleh obat tertentu, penggunaan obat tersebut sebaiknya dihentikan atau diganti dengan obat lain.[11]
Pasien hipoglikemia reaktif sebaiknya menghindari konsumsi gula sederhana. Pasien disarankan untuk mengonsumsi 6 porsi kecil makanan utama per hari dan juga mengonsumsi 2–3 makanan ringan per hari. Dalam beberapa kasus, penggunaan acarbose dan miglitol dapat menunda pencernaan karbohidrat setelah makan, sehingga bisa mengurangi hiperinsulinisme.[4,8]
Kesimpulan
Hipoglikemia dapat terjadi tanpa diabetes mellitus, misalnya akibat insulinoma, non-β cell tumor, sindrom autoimun insulin, operasi bariatrik, kelainan enzim bawaan, kelainan liver, dan penggunaan obat-obatan tertentu. Hipoglikemia ini dapat dibedakan menjadi hipoglikemia reaktif (postprandial) dan hipoglikemia puasa.
Anamnesis perlu menanyakan gejala, onset, hubungan dengan konsumsi makanan, riwayat penyakit, dan riwayat penggunaan obat. Pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan saat episode hipoglikemia spontan. Namun, bila tidak memungkinkan, dokter dapat melakukan tes puasa 72 jam atau tes mixed meal yang dilakukan dengan monitor ketat dan diikuti dengan pemberian glukagon.
Tata laksana hipoglikemia akut adalah dengan pemberian asupan karbohidrat oral atau intravena. Sementara itu, tata laksana hipoglikemia kronis perlu berfokus pada etiologi yang menjadi penyebab dasar hipoglikemia.
Direvisi oleh: dr. Andrea Kaniasari