Pencitraan otak sebelum melakukan pungsi lumbal pada pasien dengan meningitis awalnya dilakukan karena kekhawatiran terjadinya herniasi otak pasca tindakan pungsi lumbal. Akan tetapi, hal ini dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi karena pungsi lumbal adalah salah satu pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis meningitis.
Meningitis merupakan kondisi yang dapat mengancam nyawa dengan angka mortalitas sekitar sepertiga dari seluruh kasus. Penyintas meningitis juga berpotensi mengalami sekuele neurologis. Salah satu komplikasi meningitis adalah peningkatan tekanan intrakranial yang meningkatkan risiko herniasi otak jika dilakukan pungsi lumbal.[1]
Pungsi Lumbal dan Komplikasinya pada Meningitis
Pungsi lumbal merupakan salah satu tindakan diagnostik utama dalam tatalaksana infeksi intrakranial, termasuk meningitis. Analisis dari cairan serebrospinal dapat mengarahkan diagnosis etiologi dan terapi yang sesuai. Selain itu, tindakan pungsi lumbal juga dapat berperan sebagai tindakan terapeutik, seperti pada kasus meningitis kriptokokus.[1,2]
Kontraindikasi Pungsi Lumbal
Terdapat beberapa kontraindikasi dalam melakukan pungsi lumbal. Pada pasien dengan hidrosefalus, harus dibedakan apakah tipe hidrosefalus adalah communicating atau non communicating yang merupakan kontraindikasi absolut.
Pada pasien dengan lesi serebral yang menyebabkan pergeseran, pungsi lumbal dapat mengurangi tekanan, sehingga meningkatkan pergeseran atau herniasi yang dapat menekan struktur otak yang vital. Kompresi pada selubung saraf di atas tempat dilakukannya pungsi juga merupakan kontraindikasi. Selain itu, pungsi lumbal juga tidak boleh dilakukan pada pasien dengan gangguan perdarahan, pasien dalam terapi antikoagulan dan trombositopenia.[2]
Tabel 1. Kontraindikasi Relatif dan Absolut Pungsi Lumbal
Sumber: dr. Andriani Putri Bestari, Sp.S, 2020[2]
Komplikasi Pungsi Lumbal
Secara umum, tindakan pungsi lumbal merupakan prosedur yang aman. Sebagian besar komplikasi dari tindakan ini adalah komplikasi ringan (seperti nyeri punggung atau iritasi radiks) dan bersifat sementara (seperti sakit kepala pasca pungsi lumbal). Akan tetapi, komplikasi mayor seperti herniasi serebral, hematoma spinal, meningitis bakterialis, dan trombosis sinus vena serebral dapat terjadi.[2]
Herniasi serebral pasca pungsi lumbal merupakan komplikasi yang jarang. Mekanisme terjadinya herniasi adalah adanya ruang dalam otak yang tidak terisi akibat cairan serebrospinal yang diambil, sehingga terjadi pergeseran otak baik fokal atau difus.[3]
Peran Pencitraan dalam Mendeteksi Herniasi Otak pada Meningitis
Pencitraan otak sebelum pungsi lumbal dilakukan untuk memastikan keamanan karena adanya risiko herniasi. Akan tetapi, kenyataannya pencitraan otak merupakan pemeriksaan yang tidak sensitif dalam mendeteksi peningkatan tekanan intrakranial. Pemeriksaan klinis merupakan prediktor yang lebih berguna dalam mendeteksi kelainan intrakranial.[4]
Terdapat beberapa temuan dari gambaran CT scan kepala yang dapat menggambarkan pergeseran jaringan otak, yaitu:
- Pergeseran ke lateral struktur midline yang menunjukkan tekanan intrakranial supratentorial yang tidak seimbang
- Hilangnya sisterna suprakiasmatik dan basilar yang menunjukkan tekanan supratentorial lebih tinggi dari tekanan infratentorial, disertai ventrikel lateral yang kecil atau, pada kondisi hidrosefalus obstruktif, ventrikel lateral menjadi besar
- Tertutupnya atau bergesernya ventrikel keempat yang menunjukkan tingginya tekanan pada fossa posterior
- Tertutupnya sisterna pada bagian superior cerebellum dan area quadrigeminal, tetapi tanpa pengaruh pada sisterna ambiens, yang menunjukkan adanya herniasi transtentorial ke arah atas[3]
Pencitraan otak pada meningitis lebih banyak berperan dalam mendeteksi komplikasi dan kegagalan terapi. Komplikasi meningitis yang dapat terdeteksi pada CT scan kepala dapat berupa hidrosefalus, abses otak, cerebritis, trombosis vena dan infark, ventrikulitis, vaskulopati berupa spasme arteri dan arteritis, dan akumulasi cairan pada area ekstra aksial seperti empiema atau higroma.[5]
Kapan Sebaiknya Dilakukan Pencitraan Otak Sebelum Pungsi Lumbal pada Meningitis
Terdapat tiga pedoman utama dalam tatalaksana meningitis yang digunakan secara internasional yaitu pedoman dari European Conference on Clinical Microbiology and Infectious Diseases (ESCMID), Infectious Diseases Society of America (IDSA), dan Swedish Infectious Disease Society (SIDS). Indikasi penggunaan pencitraan otak sebelum pungsi lumbal diatur dalam pedoman-pedoman ini dan masing-masing memiliki indikasi yang berbeda-beda.[6-8]
Indikasi Menurut Pedoman European Conference on Clinical Microbiology and Infectious Diseases (ESCMID)
Indikasi dilakukan pencitraan otak sebelum pungsi lumbal menurut European Conference on Clinical Microbiology and Infectious Diseases (ESCMID) adalah:
- Kondisi imunokompromais berat
- Kejang onset baru
- GCS di bawah 10
- Defisit neurologis fokal, tidak termasuk gangguan saraf kranial[7]
Indikasi Menurut Pedoman Infectious Diseases Society of America (IDSA)
Indikasi dilakukan pencitraan otak sebelum pungsi lumbal menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) adalah:
- Imunosupresi, seperti infeksi HIV, dalam terapi imunosupresi, pasca transplantasi organ
- Riwayat penyakit sistem saraf pusat, seperti lesi massa, stroke, atau infeksi sistem saraf pusat lokal
- Kejang dalam satu minggu sebelumnya
- GCS di bawah 15
- Defisit fokal termasuk gangguan saraf kranial
- Papilledema[6,10]
Indikasi Menurut Pedoman Swedish Infectious Disease Society (SIDS)
Indikasi dilakukan pencitraan otak sebelum pungsi lumbal menurut Swedish Infectious Disease Society (SIDS) adalah:
- Herniasi iminen
- Defisit neurologis fokal, tidak termasuk gangguan saraf kranial
- Durasi gejala >4 hari dari gejala serebral[9,11]
Herniasi iminen ditandai dengan tidak sadar ditambah dengan salah satu atau lebih dari pupil dilatasi, peningkatan tekanan darah dan bradikardia, pernapasan tidak normal, opisthotonus (spasme otot yang menyebabkan tubuh melekung seperti pada tetanus), hilangnya semua reaksi.[9,11]
Pasien dengan papiledema sebaiknya menghindari pungsi lumbal, tetapi funduskopi tidak wajib dilakukan.[9,11]
Hasil Penelitian Terkait Indikasi Pencitraan Sebelum Pungsi Lumbal pada Meningitis
Glimaker et al melakukan studi komparatif luaran secara prospektif pada pasien-pasien meningitis yang dilakukan pungsi lumbal sebelum atau sesudah pencitraan otak berdasarkan pedoman IDSA, ESCMID, dan SIDS. Hasil studi menyatakan bahwa pedoman penggunaan pencitraan otak berdasarkan SIDS memiliki luaran mortalitas yang lebih rendah dan luaran keseluruhan yang lebih baik dibandingkan dengan dua pedoman lainnya.
Pada studi yang dilakukan oleh Glimaker et al didapatkan bahwa gangguan kesadaran dan kondisi imunokompromais sebaiknya tidak dipertimbangkan sebagai indikasi untuk dilakukan pencitraan otak sebelum pungsi lumbal pada meningitis.[9]
Salazar dan Hasbun melakukan studi retrospektif terhadap pasien dengan meningitis yang menjalani CT scan kepala sebelum pungsi lumbal. Pada studi tersebut didapatkan bahwa 89% pasien menjalani CT scan kepala sebelum pungsi lumbal dan 64% di antaranya tidak indikasi berdasarkan pedoman IDSA. Dari seluruh pasien dengan indikasi untuk menjalani CT scan, hanya 18,1% yang menunjukkan kelainan intrakranial. Sedangkan pada pasien tanpa indikasi, hanya 0,05% saja yang menunjukkan kelainan.
Hasil studi ini menunjukkan memiliki bahwa klinisi sering kali tidak mengikuti pedoman yang ada dalam menentukan pasien meningitis mana yang membutuhkan CT scan kepala sebelum dilakukan pungsi lumbal. Penggunaan CT scan kepala tanpa indikasi dapat memperlambat diagnosis dan menambah biaya perawatan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa studi ini dilakukan di Amerika Serikat, di mana budaya penerapan pemeriksaan pencitraan berbeda dengan Indonesia.[10]
Kesimpulan
Meningitis dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang meningkatkan risiko herniasi otak jika dilakukan pungsi lumbal. Hal inilah yang mendasari dogma perlu dilakukannya pencitraan otak sebelum pungsi lumbal pada kasus meningitis. Tetapi, pencitraan otak merupakan pemeriksaan yang tidak sensitif dalam mendeteksi peningkatan tekanan intrakranial. Terlebih lagi, penggunaan pencitraan otak yang tanpa indikasi akan menunda diagnosis dan terapi, serta menambah beban biaya medis.
Sebagai acuan klinisi dalam menentukan pasien meningitis mana yang memerlukan pencitraan otak sebelum dilakukan pungsi lumbal, dapat digunakan pedoman dari European Conference on Clinical Microbiology and Infectious Diseases (ESCMID), Infectious Diseases Society of America (IDSA), dan Swedish Infectious Disease Society (SIDS). Sebuah studi prospektif yang dipublikasikan pada tahun 2017 menunjukkan bahwa pedoman SIDS memiliki luaran yang lebih baik dibandingkan dua pedoman lainnya.
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli