Injeksi kortikosteroid pada selubung pembungkus tendon merupakan salah satu opsi terapi trigger finger. Trigger finger atau stenosing tenosynovitis terjadi akibat penggunaan jari-jari secara berulang-ulang yang menyebabkan gangguan fungsional dan tenosinovitis pada selubung fleksor jari tangan dan ibu jari. Pada kasus di mana gejala berat atau berkepanjangan dan pendekatan non-invasif kurang efektif, injeksi kortikosteroid merupakan terapi yang dipilih.
Trigger finger disebabkan oleh mikrotrauma akibat gerakan repetitif atau kompresi yang kemudian menyebabkan inflamasi dan penyempitan selubung fleksor disertai dengan hipertrofi dan inflamasi pada selubung tendon. Inflamasi dapat menyebabkan munculnya nodul pada tendon. Trigger finger melibatkan selubung tendon A1 yang terletak pada sendi metakarpofalangeal, yakni bagian proksimal dari selubung tendon. Selain itu, trigger finger juga dapat terjadi di A2 pada sendi interfalangeal distal.[1]
Tabel 1. Derajat Keparahan Trigger Finger
Derajat | Presentasi Klinis |
0 | Gerakan normal |
I | Gerakan yang tidak simetris |
II | Dapat diperbaiki secara aktif |
III | Dapat diperbaiki secara pasif |
IV | Deformitas tetap |
Sumber: dr. Anyeliria Sutanto, Sp.S, Alomedika, 2024.[8]
Gejala yang timbul pada trigger finger dapat berupa jari terasa kaku disertai nyeri dan rasa “terkunci” selama ekstensi atau tidak mampu menggerakan jari dari posisi fleksi. Apabila jari digerakkan secara paksa dapat menyebabkan rasa nyeri atau suara gertakan. Gejala dapat berkembang secara bertahap ataupun bermanifestasi secara akut. Kondisi tersebut dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.[1]
Pilihan Terapi pada Trigger Finger
Terapi pada trigger finger dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni injeksi steroid dan bidai atau intervensi bedah. Prosedur non-invasif dilakukan pada kondisi awal akut. Injeksi steroid pada selubung tendon merupakan intervensi inisial yang sering dilakukan karena hemat biaya, mudah dilakukan, dan minimal invasif dibandingkan dengan pembedahan.
Splinting dilakukan dengan tujuan limitasi gerakan dan mengurangi inflamasi. Splinting dilakukan pada MCP (metakarpofalangeal) yang dipasang pada fleksi 10 hingga 15 derajat selama 6-10 minggu. Penggunaan splint kurang efektif pada pasien dengan gejala berat atau berkepanjangan.
Tindakan bedah merupakan standar emas untuk mengatasi trigger finger, yakni dengan teknik pelepasan terbuka (open release) A1 pulley. Tindakan bedah dilakukan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi injeksi steroid dan splint, jari yang sudah terkunci, dan kasus trigger finger pada bayi.[1]
Penggunaan Kortikosteroid pada Trigger Finger
Injeksi kortikosteroid lokal diberikan untuk mengurangi peradangan pada selubung tendon. Beberapa studi telah melaporkan bahwa injeksi kortikosteroid memiliki efisiensi terapeutik 60-93%.[2]
Injeksi kortikosteroid harus dilakukan secara tepat pada selubung tendon fleksor yang inflamasi untuk mencapai efek terapeutik yang maksimal dan meminimalisir efek samping berupa ruptur tendon, atrofi kulit, dan diskolorasi. Perbaikan gejala dengan injeksi kortikosteroid dapat mulai dirasakan pada minggu pertama hingga minggu ketiga pasca injeksi.[3,4]
Jenis Kortikosteroid untuk Pengelolaan Trigger Finger
Kortikosteroid yang diberikan pada trigger finger bervariasi, yakni dexamethasone, methylprednisolone, dan triamcinolone. Semua larutan steroid yang diinjeksi bekerja melalui jalur yang serupa, namun beberapa perbedaan farmakologis seperti ukuran, kelarutan, dan laju metabolisme mungkin mempengaruhi efikasi klinis.
Dexamethasone merupakan kortikosteroid yang larut dalam air sehingga dapat dimetabolisme dengan cepat dan berdifusi dengan cepat. Methylprednisolone dan triamcinolone tidak larut dalam air sehingga memberikan durasi efek yang lebih lama.
Terdapat studi yang menunjukkan bahwa pemberian triamcinolone memiliki rasio pengulangan injeksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan methylprednisolone dan dexamethasone. Sementara itu, pembedahan lebih banyak dilakukan pada pasien yang mendapat methylprednisolone, diikuti oleh dexamethasone dan triamcinolone.[5]
Keamanan Injeksi Kortikosteroid Repetitif pada Trigger Finger
Pengulangan injeksi kortikosteroid dapat dilakukan 3-4 minggu pasca injeksi inisial. Apabila injeksi kedua atau ketiga gagal memberikan resolusi yang adekuat pada gejala pasien, maka pasien disarankan untuk menjalani tindakan pembedahan. Injeksi repetitif dapat meningkatkan risiko ruptur tendon.[6]
Studi yang menilai efikasi jangka panjang injeksi kortikosteroid menyatakan hampir semua pasien tetap memerlukan pembedahan, di mana 50% pasien dengan terapi injeksi kortikosteroid repetitif mengalami resolusi gejala yang bertahan selama kurang lebih 1 tahun. Pengulangan injeksi kortikosteroid perlu dilakukan pada pasien yang memilih terapi non-pembedahan.[4]
Efikasi injeksi kortikosteroid juga bergantung pada faktor risiko lain, seperti derajat Quinnell, indeks massa tubuh, lamanya periode bebas gejala setelah injeksi, dan adanya komorbiditas seperti diabetes melitus. Semakin banyak faktor risiko prognosis buruk pasien, maka kemungkinan keberhasilan terapi semakin menurun. Efikasi injeksi kortikosteroid juga akan mengalami penurunan seiring dengan setiap pengulangan injeksi.[1,7]
Kesimpulan
Injeksi kortikosteroid merupakan terapi lini pertama pada pasien dengan trigger finger. Efikasi terapi ini dilaporkan berkisar 60-93%. Pasien biasanya mengalami perbaikan gejala pada satu hingga 3 minggu pasca injeksi. Apabila pada minggu ketiga pasca injeksi pasien belum merasakan perbaikan gejala yang adekuat, maka pengulangan injeksi kortikosteroid dapat dilakukan. Apabila injeksi kedua atau ketiga gagal memberikan resolusi yang adekuat, maka pasien disarankan untuk menjalani tindakan pembedahan.
Triamcinolone dilaporkan memiliki efek durasi yang lebih lama karena sifatnya yang tidak larut dalam air, serta menurut studi memiliki risiko pembedahan yang lebih rendah dibandingkan dexamethasone dan methylprednisolone. Meski demikian, triamcinolone juga telah dilaporkan memiliki tingkat pengulangan injeksi lebih tinggi.