Intoksikasi alkohol diketahui sebagai salah satu faktor yang meningkatkan risiko bunuh diri. Berdasarkan catatan WHO, setiap tahunnya >700.000 orang meninggal karena bunuh diri. Oleh karena itu, setiap negara harus memiliki program untuk mencegah bunuh diri yang komprehensif, termasuk program pencegahan penyalahgunaan alkohol.[1]
Konsumsi Alkohol dan Risiko Tindakan Bunuh Diri
Tindakan bunuh dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti psikologis, biologis, sosial, lingkungan, dan budaya. Tidak ada tindakan bunuh diri yang disebabkan hanya karena satu alasan.[1]
Penurunan kesehatan psikis dapat meningkatkan konsumsi alkohol, di mana peningkatan konsumsi alkohol merupakan salah satu faktor risiko tindakan bunuh diri. Sebuah penelitian tahun 2014 di Amerika Serikat telah mengukur kadar alkohol dalam darah pelaku bunuh diri, dan dibandingkan dengan populasi pengkonsumsi alkohol yang masih hidup.[2]
Data pelaku bunuh diri diambil dari national violent death reporting system (NVDRS). Terdapat 16 negara bagian di Amerika Serikat yang tergabung dalam NVDRS, sehingga data yang didapat beragam dan dapat mewakili seluruh negara. Data pembanding didapat dari national epidemiologic survey on alcohol and related conditions (NESARC).[2]
Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat kandungan alkohol di dalam darah 36% pelaku bunuh diri laki-laki dan 28% pelaku bunuh diri perempuan. Hampir ¼ pelaku bunuh diri di bawah usia 21 tahun memiliki kandungan alkohol di dalam darah waktu meninggal. Hal ini mengkhawatirkan karena usia minimal yang dapat mengonsumsi alkohol secara legal di Amerika Serikat adalah 21 tahun.[2]
Kadar alkohol dalam darah pada sebagian besar pelaku bunuh diri >0,08 g/dL. Jika dibandingkan dengan pengkonsumsi alkohol yang masih hidup, pelaku bunuh diri memiliki kadar alkohol dalam darah yang lebih besar.[2]
Studi meta analisis oleh Darvishi et al, pada tahun 2015 dan direvisi pada tahun 2020, meneliti hubungan antara konsumsi alkohol dengan risiko pemikiran bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan tindakan bunuh diri yang berhasil. Hasil studi menyatakan bahwa alcohol use disorder secara signifikan meningkatkan risiko pemikiran bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan tindakan bunuh diri yang berhasil.[3,4]
Kasus Intoksikasi Alkohol di Instalasi Gawat Darurat dan Risiko Bunuh Diri
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa konsumsi alkohol yang berlebih dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Oleh sebab itu, pasien yang masuk ke instalasi gawat darurat akibat intoksikasi alkohol atau kasus lain yang berhubungan dengan alkohol (kecelakaan, perkelahian, atau percobaan bunuh diri) merupakan populasi yang harus diberikan perhatian khusus.[5]
Namun, sebuah penelitian di salah satu instalasi gawat darurat (IGD) di Amerika Serikat menunjukkan hasil yang tidak ideal, yakni terdapat perbedaan dalam penanganan pasien yang mabuk dan mencoba melakukan tindakan bunuh diri dengan pasien yang tidak mabuk dan mencoba melakukan tindakan bunuh diri. Hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar pasien yang masuk ke IGD karena mabuk dan mencoba melakukan tindakan bunuh diri tidak menerima konseling dari psikiater saat ditangani di IGD.[5]
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh anggapan bahwa percobaan tindakan bunuh diri pada pasien yang mabuk merupakan tindakan impulsif yang dipicu oleh intoksikasi alkohol. Terdapat keyakinan bahwa ketika pasien sudah tidak mabuk, maka risiko untuk percobaan bunuh diri sudah berkurang. Selain itu, konseling dengan psikiater lebih sulit dilakukan jika pasien dalam keadaan mabuk.[5]
Penilaian Risiko Bunuh Diri pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol
Pasien yang masuk ke IGD akibat intoksikasi alkohol sebaiknya ditangani sama seperti pasien yang melukai dirinya sendiri atau percobaan bunuh diri lainnya. Dokter harus melakukan penilaian risiko bunuh diri pada pasien karena intoksikasi alkohol meningkatkan resiko bunuh diri.[6]
Sebuah penelitian mempelajari hubungan antara kasus gawat darurat yang berkaitan dengan intoksikasi alkohol dengan risiko tindakan bunuh diri di beberapa rumah sakit di Wales, United Kingdom. Dari penelitian yang berlangsung selama 6 tahun ini, terdapat 28.425 kasus gawat darurat yang berhubungan dengan intoksikasi alkohol, di mana 1.562 kasus diantaranya merupakan kasus bunuh diri.[6]
Dari kasus bunuh diri tersebut, 125 kasus bunuh diri terjadi setelah pasien dirawat di IGD dan 11 kasus (9%) terjadi dalam kurun waktu 4 minggu setelah pasien diijinkan pulang. Kesimpulan penelitian ini adalah pasien yang dilarikan ke IGD akibat kasus emergensi yang berhubungan dengan intoksikasi alkohol memiliki risiko untuk melakukan tindakan bunuh diri.[6]
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih menyeluruh untuk identifikasi dan evaluasi psikososial bagi pasien yang dilarikan ke IGD akibat kasus emergensi yang berhubungan dengan intoksikasi alkohol sebelum mereka diizinkan pulang.[6]
Kesimpulan
Tindakan bunuh diri dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti faktor psikologis, biologis, sosial, lingkungan, dan budaya, sehingga tidak ada tindakan bunuh diri yang disebabkan hanya karena satu alasan. Banyak penelitian yang telah menyatakan bahwa konsumsi alkohol yang berlebih merupakan salah satu faktor risiko dari tindakan bunuh diri.
Dibutuhkan pemeriksaan yang menyeluruh dan penanganan yang spesifik dalam penanganan pasien yang masuk ke instalasi gawat darurat (IGD) akibat intoksikasi alkohol. Walaupun pasien yang mengalami intoksikasi alkohol tersebut tidak melakukan tindakan percobaan bunuh diri, pasien tersebut harus ditangani layaknya seorang pasien yang melukai dirinya sendiri.
Ketika pasien sudah dalam keadaan stabil, pemeriksaan oleh psikiater penting untuk dilakukan. Pemeriksaan psikiater untuk mencari penyebab dari konsumsi alkohol berlebih, sehingga dapat ditangani secara tepat dan dapat menurunkan risiko tindakan bunuh diri di kemudian hari.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini