Jangan Asal Meresepkan Antibiotik

Oleh :
dr. Nurul Falah

Tenaga medis sebaiknya tidak sembarangan meresepkan antibiotik. Antibiotik memang merupakan senyawa penting dalam pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Namun, pada kenyataannya banyak tenaga medis masih meresepkan antibiotik tanpa indikasi yang jelas, bahkan pada beberapa kasus, antibiotik diberikan meskipun kondisi pasien tidak mengindikasikan adanya infeksi bakteri sama sekali.[1,2]

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan dampak buruk yang cukup signifikan, baik bagi pasien secara individu maupun bagi kesehatan masyarakat secara luas. Peresepan antibiotik yang tidak tepat merupakan ancaman besar bagi kesehatan global karena berkontribusi memicu resistensi antimikroba (antimicrobial resistance).[3]

Asian,Woman,Thinking,And,Doubt,Of,Taking,Antibiotics,And,Anti-inflammatory

Pola Peresepan Antibiotik

Peresepan antibiotik diakui mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas pada kasus infeksi bakteri. Namun, sejumlah studi melaporkan adanya peresepan antibiotik yang tidak rasional dalam praktik klinis.[1,2]

Studi retrospektif potong lintang yang melibatkan 1102 pasien melaporkan bahwa >30% peresepan antibiotik di rumah sakit tidak sesuai dengan pedoman yang berlaku, yaitu tidak terdapat bukti infeksi. Hanya 15% pasien yang menjalani pemeriksaan sensitivitas kultur.[4]

Studi deskriptif di klinik layanan primer Veterans Affairs Healthcare System melaporkan bahwa dalam 12 bulan, ada 3880 kali peresepan antibiotik oleh petugas di layanan primer untuk 40.734 pasien. Indikasi paling umum untuk peresepan antibiotik adalah infeksi saluran pernapasan akut (28,3%), infeksi saluran kemih (23%), infeksi kulit dan jaringan lunak (15,7%), dan eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronis (6,3%). Dalam 5,7% kasus, tidak tercatat alasan untuk peresepan antibiotik.[5]

Dalam studi tersebut, sebanyak 49,7% kasus ternyata tidak memerlukan antibiotik. Pada 12,3% kasus, antibiotik memang diindikasikan, tetapi antibiotik yang diresepkan tidak sesuai dengan pedoman. Pada 14% kasus lainnya, antibiotik telah sesuai dengan pedoman yang diberikan, tetapi durasi pemberian tidak sesuai. Oleh karena itu, 76% resep yang ditinjau dianggap tidak tepat.[5]

Di Inggris, antibiotik umumnya diberikan kepada pasien dengan gejala gangguan pada saluran kemih dan saluran pernapasan, yaitu masing-masing 22,7% dan 46% dari total semua peresepan antibiotik.[6]

Studi potong lintang di Bangladesh melaporkan bahwa dari 20.303 pasien rawat inap di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit nonpendidikan, 66% diberikan resep antibiotik. Di rumah sakit pendidikan, tampak bahwa proporsi pasien demam yang diberikan antibiotik tanpa bukti infeksi bakteri lebih besar daripada di rumah sakit nonpendidikan, yakni 82% berbanding 71%.[1]

Dampak dari Peresepan Antibiotik yang Tidak Tepat

Peresepan antibiotik yang tidak tepat atau berlebihan dapat menimbulkan berbagai risiko, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Beberapa dampak yang dapat terjadi adalah munculnya resistensi antibiotik, peningkatan kasus efek samping obat, dan meningkatnya beban biaya pengobatan.

Munculnya Resistensi Antibiotik

Salah satu risiko terbesar dari pemberian antibiotik yang tidak sesuai adalah terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik atau antimicrobial resistance (AMR). Jika antibiotik diberikan dalam situasi yang tidak tepat, bakteri dapat berkembang menjadi lebih kebal, yang mempersulit pengobatan infeksi di masa depan.[7,8]

Fenomena ini telah menjadi masalah global yang semakin mengkhawatirkan, dan World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa AMR merupakan salah satu dari tiga ancaman kesehatan publik yang utama. Antimicrobial-resistant infections (AMI) juga menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab utama kematian setelah penyakit kardiovaskular.[7,8]

Studi dari berbagai sumber menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik berlebihan, baik di kalangan tenaga medis maupun masyarakat umum, berkontribusi terhadap masalah resistensi ini. Sebagai contoh, pemberian antibiotik pada infeksi yang disebabkan oleh virus, seperti influenza, jelas tidak akan memberikan manfaat dan justru meningkatkan kemungkinan bakteri berkembang menjadi resisten.[1,7]

Data dari Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) yang dilaporkan pada tahun 2019 untuk Indonesia menunjukkan peningkatan persentase resistensi pada beberapa bakteri seperti Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae, termasuk resistensi terhadap carbapenem, fluoroquinolone, dan sefalosporin generasi ketiga.[9]

Efek Samping yang Merugikan Pasien

Antibiotik, meskipun bermanfaat untuk mengatasi infeksi bakteri, juga mempunyai risiko efek samping. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat tidak memberikan manfaat dan justru memaparkan pasien terhadap risiko efek samping yang seharusnya tidak perlu dihadapi. Contohnya adalah reaksi alergi, gangguan pencernaan (seperti diare), hingga infeksi jamur sekunder.[10]

Penggunaan antibiotik pada pasien yang tidak terinfeksi bakteri dapat berujung pada penurunan kualitas hidup mereka, karena pasien berisiko mengalami efek samping tanpa mendapatkan manfaat pengobatan yang nyata.[1,2]

Beberapa efek samping dapat muncul saat pasien menerima terapi antibiotik di rumah sakit, tetapi sekitar setengah dari efek samping muncul setelah mengonsumsi antibiotik yang diresepkan di rawat jalan.[7,8]

Terlebih lagi, antibiotik tidak hanya membunuh bakteri patogen, tetapi juga mengganggu keseimbangan mikrobiota tubuh, yang justru berfungsi mendukung kesehatan tubuh, seperti mikroflora usus.[10]

Peningkatan Biaya Pengobatan

Pemberian antibiotik yang tidak perlu juga menyebabkan pembengkakan biaya medis. Jika pasien mengalami efek samping atau komplikasi akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat, pasien mungkin perlu menjalani terapi lebih lanjut. Hal ini tentunya meningkatkan biaya perawatan yang sebenarnya bisa dihindari jika antibiotik digunakan dengan lebih bijaksana. Dalam jangka panjang, penyalahgunaan antibiotik berpotensi memperburuk keadaan finansial sistem kesehatan secara keseluruhan.[11]

Studi tahun 2020 menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk kasus infeksi yang resisten antibiotik bervariasi mulai dari 2371 dollar Amerika Serikat (sekitar 38 juta rupiah) sampai 29289 dollar Amerika Serikat (sekitar 470 juta) per episode pasien.[11]

Kasus di Mana Peresepan Antibiotik Tidak Memberikan Manfaat

Ada beberapa kondisi medis yang sering dianggap membutuhkan antibiotik, padahal kenyataannya antibiotik sama sekali tidak memberikan manfaat.

Infeksi Virus

Banyak penyakit saluran pernapasan atas, seperti influenza, disebabkan oleh virus dan tidak dapat diobati dengan antibiotik. Pemberian antibiotik pada kondisi ini tidak hanya sia-sia, tetapi juga berisiko menambah masalah, seperti resistensi antibiotik.[1,3]

Misalnya, pada kasus rhinosinusitis yang disebabkan oleh virus, penggunaan antibiotik terbukti tidak memberikan efek positif. Berbagai pedoman klinis dari badan kesehatan internasional juga menyarankan agar antibiotik tidak diberikan pada kasus infeksi saluran pernapasan atas yang tidak rumit, yang disebabkan oleh virus.[1,3]

Infeksi Jamur dan Parasit

Antibiotik tidak efektif terhadap infeksi yang disebabkan oleh jamur atau parasit, seperti kandidiasis atau malaria. Pemberian antibiotik pada pasien dengan infeksi nonbakterial seperti ini hanya akan memperburuk kondisi mereka, menyebabkan efek samping, atau bahkan menyebabkan infeksi sekunder.[1,10]

Prevensi Infeksi pada Tindakan Medis Tertentu

Antibiotik kadang diberikan untuk prevensi infeksi pada tindakan medis tertentu. Salah satu contohnya adalah pada pemasangan posterior nasal tampon (PNT). Pemasangan PNT diikuti oleh risiko infeksi. Namun, studi menunjukkan bahwa risiko infeksi antara pasien PNT yang menerima antibiotik profilaksis dan yang tidak menerima antibiotik profilaksis ternyata tidak berbeda signifikan. Peresepan antibiotik profilaksis untuk PNT tidak dianjurkan kecuali bila ada risiko tinggi infeksi.[12]

Selain itu, terdapat juga studi-studi yang menunjukkan bahwa antibiotik profilaksis tidak diperlukan pada tindakan gigi kecuali pada kasus-kasus berisiko tinggi infeksi.

Optimalisasi dan Rasionalisasi Peresepan Antibiotik

Optimalisasi dan rasionalisasi peresepan antibiotik adalah salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah resistensi antibiotik dan efek samping antibiotik, serta menurunkan beban biaya medis. Optimalisasi dan rasionalisasi dapat dimulai dengan mengatur regulasi terkait peresepan dan penjualan antibiotik, mengingat saat ini akses untuk memperoleh antibiotik sangat mudah termasuk melalui internet.[5,6]

Upaya lain adalah meningkatkan kepatuhan pasien dan tenaga kesehatan. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, upayakan edukasi yang mumpuni terkait penggunaan obat-obatan termasuk antibiotik secara tepat. Dokter dan apoteker juga seharusnya memberikan informasi yang lengkap terkait obat yang diresepkan untuk pasien.[13,14]

Adapun upaya untuk meningkatkan kepatuhan tenaga medis dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan tenaga medis terkait peresepan antibiotik yang rasional. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah meluncurkan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba pada tahun 2005, yang kemudian diikuti dengan pembentukan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) pada tahun 2014 berdasarkan SK Menkes Nomor HK.02.02/2014.[13]

Untuk mendukung tugas KPRA di ruang rawat pasien, rumah sakit di Indonesia dapat membentuk Tim Penatagunaan Antimikroba (Tim PGA), yang merupakan bagian dari struktur organisasi KPRA. Penatagunaan Antimikroba (PGA) merupakan serangkaian kegiatan strategis dan sistematis yang terintegrasi di rumah sakit, bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotik dan antimikroba lainnya secara bijak, baik dari segi jumlah maupun kualitas.[13]

Pendekatan bijak ini diharapkan dapat mengurangi tekanan selektif terhadap bakteri, sehingga dapat mengendalikan resistensi antibiotik. Langkah-langkah dalam kegiatan PGA meliputi diagnosis penyakit infeksi yang tepat, penentuan terapi yang sesuai dengan indikasi, pemilihan jenis antibiotik atau antimikroba yang tepat, serta penentuan dosis, rute pemberian, waktu, dan durasi yang sesuai.[13]

Selanjutnya, lakukan pemantauan keberhasilan atau kegagalan terapi, reaksi obat yang tidak diinginkan, dan interaksi antibiotik dengan obat lain. Berbagai studi menunjukkan bahwa kegiatan PGA di rumah sakit meningkatkan kualitas penggunaan antimikroba, mengurangi angka kejadian infeksi dan kolonisasi mikroba resisten, memperpendek durasi rawat, menurunkan biaya rawat, dan mengurangi penggunaan antimikroba, yang pada ujungnya menurunkan biaya pengadaan antibiotik oleh rumah sakit.[14]

Kesimpulan

Penggunaan antibiotik yang tepat sangat penting untuk pengobatan infeksi bakteri. Namun, pemberian antibiotik tanpa indikasi yang jelas berisiko menyebabkan resistensi, efek samping, dan peningkatan biaya perawatan. Tenaga medis harus lebih bijaksana ketika akan meresepkan antibiotik dan memastikan bahwa peresepan antibiotik dapat dilakukan secara optimal dan rasional.

Peningkatan pengetahuan dan edukasi tentang penggunaan antibiotik yang rasional sangat penting untuk mencegah dampak buruk dari penyalahgunaan antibiotik. Selain itu, peran dari pemangku kebijakan juga sangat penting untuk mengatur regulasi terkait penggunaan antibiotik secara tepat guna.

Referensi