Do not resuscitate (DNR) merupakan kondisi yang sarat dengan pro dan kontra, sehingga perlu dikaji dari segi bioetik dan medikolegal secara hati-hati terhadap masing-masing kasus. DNR pada beberapa kepustakaan disebut juga sebagai do not attempt resuscitation (DNAR), do not attempt cardiopulmonary resuscitation (DNACPR), atau allow natural death (AND).[1]
Kontra Tindakan DNR
DNR adalah perintah untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru pada pasien henti jantung. Perdebatan mengenai aspek hukum DNR masih terus berlaku.[1]
Aspek Keadilan
Beberapa negara menetapkan hukum yang melarang DNR atas beberapa pertimbangan. Di Cina dan Korea Selatan, DNR dilarang berdasarkan asas keadilan bahwa tindakan pengobatan, termasuk RJP harus dilakukan sama pada setiap orang dalam kondisi dan tempat yang sama.[2]
Negara Inggris mengemukakan bahwa orang yang diberikan label DNR memiliki kemungkinan akan ditelantarkan dan tidak diberikan penatalaksanaan yang layak. Selain itu, ada pasien yang memiliki keinginan euthanasia, terutama pasien dewasa yang kompeten tetapi menolak RJP secara irasional.[2]
Aspek Etis dan Agama
Aspek lain yang banyak digunakan untuk menolak DNR adalah aspek etis dan agama. Agama tidak memberikan kuasa pada manusia untuk dapat menentukan hidup dan mati seseorang, sedangkan keputusan DNR dianggap dapat menentukan hidup dan mati seseorang.[3]
Pro Tindakan DNR
Beberapa pertimbangan yang digunakan kelompok pro terhadap DNR adalah aspek legal dan etis. Rekomendasi American Heart Association (AHA), sebagai salah satu panduan yang banyak digunakan di seluruh dunia, menyatakan bahwa RJP tidak diindikasikan pada semua pasien. RJP tidak perlu dilakukan pada pasien dengan kondisi terminal, penyakit irreversible, dan penyakit dengan prognosis kematian hampir pasti.[3]
Aspek Legal
Beberapa organisasi profesi, seperti organisasi profesi perawat dan dokter anestesi, memiliki konsensus yang mendukung hak pasien akan dirinya sendiri. Pasien yang dinyatakan dewasa secara hukum dan kompeten berhak menolak pengobatan, termasuk prosedur untuk menyelamatkan hidup mereka.[4]
Setelah mendapat informasi lengkap dan memahami betul implikasi keputusannya, maka pasien dapat menolak suatu terapi. Perintah DNR dianggap sebagai dokumen medis legal yang mencerminkan keputusan dan keinginan pasien untuk menghindari upaya dalam mempertahankan kehidupan.[4]
Aspek Etis
Pandangan etis terhadap DNR juga dipakai sebagai alasan pembenaran tindakan tersebut. Melakukan RJP harus mempertimbangan 4 kaidah bioetika, yaitu:
- Asas manfaat (beneficence),
- Prinsip do no harm (nonmaleficence)
- Perlakuan yang adil (justice)
- Hak otonomi pasien (autonomy) [3,6]
Selain itu, beberapa pandangan agama juga membenarkan dilakukannya DNR, terutama bila RJP tidak akan memberikan hasil yang terbaik dan justru menambah beban pasien dan keluarga.[3]
Keputusan Medis
Perintah DNR dapat juga merupakan bagian dari keputusan medis. Bila tim medis percaya bahwa RJP tidak akan berhasil, maka RJP tidak perlu dimulai karena dokter dapat menghentikan perawatan yang dianggap sia-sia (futile care). Hal ini memerlukan keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan dokter dan tim medis lainnya. Keputusan DNR harus dipandang sebagai bagian dari upaya resusitasi pasien.[3]
Kajian Etik pada DNR
Keputusan DNR dianggap sebagai bagian dari upaya resusitasi pasien. Oleh karena itu, prinsip etik harus berdasarkan pengkajian terhadap keseluruhan upaya RJP, termasuk mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitar. Misalnya, orang Asia sangat menekankan pada keputusan kelompok/keluarga, sedangkan orang di Amerika Serikat lebih menekankan pada prinsip otonomi individual.[3,6]
Prinsip Bioetika Beneficence
Beneficence adalah prinsip keuntungan dalam upaya pemulihan pasien. Pada prinsip ini, RJP dipandang bermanfaat sebagai upaya pemulihan kesehatan dan fungsi organ untuk meringankan kesakitan dan penderitaan pasien.[5,6]
RJP sangat efektif jika dilakukan pada pasien henti jantung yang disebabkan gangguan jantung. RJP jarang memperbaiki kondisi pasien gagal ginjal, kanker, atau penyakit kronis lain. Penyebab irreversible, seperti syok berkepanjangan, merupakan indikasi untuk tidak melakukan RJP. Namun, perlu diingat bahwa usia tua bukanlah kontraindikasi dilakukan RJP.[5,6]
Prinsip Bioetika Non Maleficence
Non maleficence atau do no harm adalah prinsip mencegah kesakitan pasien meningkat akibat terapi yang diberikan. Tindakan RJP berkepanjangan atau RJP yang diberikan terlambat dapat menyebabkan kesakitan lebih lanjut pada pasien.[5,6]
Pasien dapat bertahan hidup tetapi berada dalam kondisi koma persisten, atau status vegetatif. Berdasarkan prinsip ini, RJP dapat dihentikan jika kerugiannya lebih besar daripada keuntungan.[5,6]
Prinsip Bioetika Otonomi
Hak otonomi pasien harus dihormati secara etik, bahkan secara legal. Dalam menggunakan hak otonominya, pasien harus dipastikan layak untuk memutuskan setuju atau tidak dalam suatu tindakan medis, termasuk RJP.[5,6]
Pasien dianggap dewasa sesuai dengan peraturan negara, yakni berusia 18 tahun. Dokter wajib mendapatkan informed consent, sebagai bukti bahwa pasien telah menerima dan memahami informasi terkait kondisi penyakit, prognosis, tindakan medis yang diusulkan, tindakan alternatif, risiko, dan manfaat dari masing-masing pilihan. Baik edukasi maupun penjelasan yang diberikan kepada pasien harus menjadi dasar shared decision making.[5,6]
Jika kapasitas pasien menurun akibat obat-obatan atau komorbid, maka kondisinya harus dikembalikan terlebih dahulu hingga mampu memberikan keputusan. Pada kondisi kegawatdaruratan dan pasien belum sempat mengambil keputusan, maka pilihan yang bijaksana adalah dokter memberikan perawatan medis sesuai standar.[5,6]
Prinsip Bioetika Keadilan
Prinsip keadilan menjamin hak-hak pasien terpenuhi, dengan menyeimbangkan tujuan pribadi dan sosial. Prinsip keadilan diperlukan untuk mengurangi ketidaksamaan perlakuan pada pasien.[5,6]
Namun, diperlukan nilai moral untuk menilai keadilan perawatan medis yang diberikan. Prinsip keadilan menjamin semua pasien henti jantung mendapatkan RJP, tetapi nilai moral akan menentukan pada pasien mana RJP akan memberikan manfaat yang paling baik. Dalam menjamin keadilan, penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan apakah tindakan medis dapat:
- Mengobati, mencegah dan memberikan harapan hidup yang tinggi
- Menghasilkan lebih sedikit efek samping dan kesakitan
- Memberikan manfaat
- Secara nyata memberikan dampak positif daripada dampak negatif[5,6]
Hukum Terkait DNR di Indonesia
Belum ada peraturan yang secara jelas mengatur DNR di Indonesia. Dasar perundang-undangan yang banyak digunakan sebagai landasan dalam mempertahankan kehidupan manusia adalah UUD 1945 pasal 28A perubahan kedua, yaitu setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Hukum Persetujuan Pasien
Pelaksanaan setiap tindakan kedokteran di Indonesia harus didasarkan pada persetujuan pasien, setelah mendengarkan penjelasan yang cukup oleh dokter. Hal ini tertulis pada Undang-Undang no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39: Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien, dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan.[7]
Diperkuat dengan pasal 45: Ayat (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.[7]
Hukum Tindakan Kegawatdaruratan
Pada kondisi gawat darurat, tindakan untuk menyelamatkan nyawa sering dilakukan bersama atau sebelum mendapatkan persetujuan tindakan. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) pasal 17: Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas peri kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.[11]
Pada penjelasan pasal 17, dinyatakan bahwa salah satu alasan yang dapat menggugurkan kewajiban dokter untuk memberikan pertolongan gawat darurat adalah pada pasien yang telah mendapat keputusan medis DNR yang diberikan pada pasien paliatif.[11]
Hukum Khusus DNR
Saat ini belum ada kepastian hukum yang khusus mengatur DNR. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) no. 37 tahun 2014 mengenai penentuan kematian dan pemanfaatan organ memiliki bab dan pasal terkait penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.[12]
Pada dasarnya, penghentian dan penundaan terapi bantuan hidup harus diputuskan oleh tim dokter yang menangani pasien, setelah berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik. Keluarga pasien dapat meminta hal ini, tetapi harus dengan syarat tertentu di antaranya pasien telah mewasiatkan pesannya.[12]
Penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup dapat dilakukan pada pasien dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi (terminal state), atau tindakan medis sudah sia-sia (futile care).[12]
Pelaksanaan DNR
Pada pelaksanaannya, DNR pada dasarnya adalah permintaan pasien atas kepentingan dirinya. Persetujuan DNR harus dilakukan dengan mempertimbangkan segala aspek, terutama untung rugi sebuah upaya penyelamatan. DNR hanya dilakukan untuk melindungi otonomi pasien, dan mencegah bahaya lebih lanjut pada pasien.[1]
Penilaian ketidakberhasilan terapi oleh dokter tidak serta merta menjadi alasan DNR. Penilaian kesia-siaan sepihak oleh dokter tidak menjadi prioritas jika dibandingkan dengan keputusan keluarga. Oleh karena itu, pelaksanaan DNR membutuhkan upaya komunikasi dan dokumentasi.[1,8,9]
Upaya Komunikasi
Komunikasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pengambilan keputusan DNR. Perlu diketahui bahwa pemahaman dokter atau tenaga medis mengenai DNR tidak sama dengan apa yang pasien dan keluarganya pahami. Beberapa pasien mungkin memahami DNR sebagai penolakan pemberian obat-obatan. Dokter harus menjelaskan bahwa DNR berarti tidak akan dilakukan RJP bila terjadi kasus henti nafas dan henti jantung, sehingga pasien tetap mendapatkan terapi maksimal termasuk perawatan intensif jika diperlukan.[8]
Tidak ada waktu yang paling tepat untuk mendiskusikan DNR dengan pasien, karena seringkali pasien dan keluarga mempercayakan keputusan dokter. Namun, dokter harus mempertimbangkan kondisi dan kesiapan pasien menerima informasi tersebut.[8]
Upaya Dokumentasi
Setelah komunikasi yang baik, pasien akan dapat memberikan keputusan bersama dokter. Hasil keputusan tersebut harus didokumentasikan secara baik. DNR harus dituliskan dengan jelas pada status pasien, termasuk detail diskusi yang terjadi dan kesimpulan yang diambil. Penjelasan dokter, pertanyaan pasien, serta jawabannya harus dituliskan dalam rekam medis.[10]
Dokumen DNR harus memuat tindakan dan obat yang ditolak pasien, lengkap dengan hal-hal pengecualian. Misalnya, pasien menolak untuk dilakukan RJP dan pemberian obat bantuan hidup saat mengalami henti jantung, kecuali henti jantung yang disebabkan komplikasi prosedur, seperti syok anafilaksis akibat penggunaan obat/zat dan komplikasi kateterisasi jantung.[10]
Pendokumentasian harus diikuti dengan pemberian tanda khusus, yang dapat dikenali oleh semua petugas kesehatan.[10]
Keputusan DNR Tidak Kaku
Keputusan DNR tidak bersifat kaku. Bila dalam perjalanan penyakitnya pasien berkeinginan mengubah keputusannya, maka pendokumentasian harus dilakukan dengan baik. Revisi keputusan DNR harus diketahui oleh semua dokter dan petugas kesehatan yang merawat pasien, misalnya dengan menarik tanda khusus sebelumnya.[10]
Kesimpulan
Do not resuscitate (DNR) adalah perintah untuk tidak melakukan upaya penyelamatan pasien henti jantung dengan melakukan resusitasi jantung paru (RJP). Keputusan DNR perlu dikaji dari segi bioetik dan medikolegal secara hati-hati terhadap masing-masing kasus.
Sebenarnya, melakukan RJP harus mempertimbangan 4 kaidah bioetika, yaitu asas manfaat (beneficence), prinsip do no harm (nonmaleficence), perlakuan yang adil (justice), dan hak otonomi pasien (autonomy). Oleh karena itu perintah DNR dapat menjadi bagian keputusan medis, di mana RJP tidak perlu dimulai jika perawatan dianggap sia-sia (futile care).
Akan tetapi, pelaksanaan DNR pada dasarnya adalah permintaan pasien atas kepentingan dirinya. DNR hanya dilakukan untuk melindungi otonomi pasien, dan mencegah bahaya lebih lanjut pada pasien.
Di Indonesia, tidak ada kepastian hukum yang khusus mengatur DNR. Berbagai hukum dan undang-undang yang berlaku menyebutkan bahwa setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, setiap tindakan medis harus berdasarkan kesepakatan antara dokter dengan pasien, dan setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas peri kemanusiaan. Namun kewajiban dokter untuk memberikan pertolongan gawat darurat dapat gugur pada pasien yang telah mendapat keputusan medis DNR yang diberikan pada pasien paliatif.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra