Hingga saat ini belum banyak studi yang mempelajari manfaat terapi hipotermiaa pada pasien henti jantung dengan irama jantung non-shockable. Pasien henti jantung dengan irama non-shockable umumnya memiliki prognosis yang kurang baik dibandingkan dengan irama shockable. Hal ini menjadi alasan cukup sulit untuk melakukan penelitian dengan tingkat kepercayaan tinggi seperti RCT. Adapun beberapa studi yang telah dilaksanakan merupakan studi observasional dengan risiko bias yang tinggi.[1]
Implementasi Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) menyebabkan semakin banyak pasien yang mengalami resolusi sirkulasi spontan setelah mengalami henti jantung. Namun, kebanyakan pasien yang berhasil diresusitasi setelah dilakukan RJPO tidak memiliki prognosis yang baik. Sebagian besar pasien (75%) akan meninggal sebelum keluar dari rumah sakit atau mengalami gangguan neurologis akibat cedera otak hipoksia setelah mengalami henti jantung.[1-3]
Ischemia-reperfusion injury menjadi patofisiologi utama mortalitas pada pasien pasca henti jantung. Kondisi ini merupakan kombinasi jejas iskemik yang diperparah oleh jejas reperfusi. Pada proses reperfusi akan terjadi pelepasan radikal bebas dan sitokin inflamasi, yang dapat menimbulkan jejas yang lebih parah daripada kondisi iskemik.[1-3]
Kondisi hipotermia telah dimanfaatkan sejak tahun 1950 pada proses anestesi general untuk proteksi terhadap otak dan jantung. Beberapa studi telah dilakukan dan terbukti bahwa hipotermia dapat memberikan proteksi terhadap neuron dan meningkatkan angka survival.[1-2]
Penurunan suhu tubuh sebesar 1oC akan menurunkan metabolisme dari otak sebanyak 8% yang kemudian akan menurunkan kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak. Hal ini menjadi dasar bahwa kondisi hipotermia dapat mengurangi jejas akibat reperfusi dan bersifat neuroprotektif. Berdasarkan hal ini, terapi hipotermiaa dipertimbangkan untuk dilakukan pada pasien henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit, yang berhasil mengalami resusitasi sirkulasi spontan.[1-2]
Targeted Temperature Management (TTM) dengan moderate therapeutic hypothermia telah direkomendasikan oleh International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) untuk diterapkan pada pasien henti jantung di luar rumah sakit yang mengalami resolusi sirkulasi spontan namun tetap unresponsive setelah dilakukan pijat jantung. Pedoman American Heart Association (AHA) tahun 2020 merekomendasikan pelaksanaan TTM pada pasien henti jantung di luar rumah sakit dengan gambaran irama jantung yang shockable, yakni fibrilasi ventrikel (VF) dan takikardi ventrikel (VT). TTM dilakukan dengan mempertahankan core temperature tubuh di antara 32-36cC selama 24 jam. Beberapa Randomized Controlled Study (RCT) telah membuktikan manfaat dari TTM pada pasien henti jantung dengan irama VF dan VT.[1,3-5]
Melihat manfaat baik yang didapat dari TTM pada pasien henti jantung di luar rumah sakit dengan irama shockable, meningkatkan ketertarikan para ahli untuk menggunakannya pada pasien henti jantung dengan irama non-shockable seperti PEA/ asystole dan henti jantung yang terjadi di rumah sakit.
Pro dan Kontra Pelaksanaan TTM pada Pasien Henti Jantung dengan Irama Non-shockable
Hingga saat ini belum banyak studi yang mempelajari manfaat TTM pada pasien dengan irama non-shockable, sehingga sulit untuk diketahui secara pasti manfaatnya. Beberapa studi yang telah dilaksanakan merupakan studi observasional dengan risiko bias yang tinggi.[2]
Pasien henti jantung dengan irama non-shockable, pada umumnya memiliki prognosis yang kurang baik, dengan kondisi ongoing hypoxemia dan gangguan sirkulasi yang mungkin telah terjadi sebelum henti jantung. Hal ini menjadi alasan cukup sulit untuk melakukan penelitian dengan tingkat kepercayaan tinggi seperti RCT. Berkaca dari penelitian RCT pada pasien henti jantung dengan irama yang shockable, para ahli menduga bahwa TTM juga dapat bermanfaat pada setiap pasien henti jantung tanpa melihat penyebabnya.[2,6-7]
Studi terbaru HYPERION trial merupakan studi yang secara khusus membandingkan terapi moderate therapeutic hypothermia pada suhu 33oC dengan normotermia (37oC) pada pasien henti jantung dengan irama non-shockable. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa terapi hipotermia (33oC) selama 24 jam menunjukkan perbaikan luaran neurologis setelah 90 hari lebih banyak dibandingkan pada pasien yang diterapi dengan suhu normotermia. Hasil studi ini mendukung pelaksanaan TTM pada henti jantung dengan irama non-shockable.[5]
Manfaat dari TTM dalam mencegah kerusakan neuron diduga bersifat multifaktorial. Hal ini dimulai dari penurunan konsumsi energi otak, inflamasi, pelepasan radikal bebas, sitokin, metabolit toksik, dan apoptosis dari proses iskemia dan reperfusi. Patofisiologi ini terjadi pada pasien henti jantung, baik akibat gangguan irama jantung shockable maupun non-shockable. Hal ini menjadi dasar bahwa manfaat yang didapat dari TTM dapat pula diekstrapolasikan pada pasien henti jantung dengan penyebab apapun.[6-8]
Hipotermia akan memengaruhi seluruh sistem organ sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan risiko dan manfaat pelaksanaannya. Selain belum ditemukannya studi yang adekuat, beberapa risiko dari TTM juga menjadi dasar yang menentang dilaksanakannya TTM pada pasien henti jantung dengan irama non-shockable.[4,6]
Beberapa risiko dari TTM adalah meningkatkan efek samping terjadinya sepsis, memperlambat perbaikan kesadaran, memperpanjang durasi rawat inap pada ruang ICU, dan peningkatan biaya. Potensi manfaat yang didapatkan melebihi risiko menjadi dasar dari rekomendasi pelaksanaan TTM pada henti jantung dengan irama non-shockable.[4,6,8]
Kondisi henti jantung dengan irama non-shockable umumnya disebabkan oleh penyebab non-cardiac. Populasi dari pasien pada kondisi ini lebih heterogen, dengan berbagai penyebab henti jantung yang berbeda-beda, dan derajat jejas pada otak yang berbeda pula. Hal ini menjadi dasar bahwa potensi manfaat dan risiko dari TTM sulit diprediksi dan dapat berbeda tergantung pada penyebabnya.[6]
Pemilihan pasien yang tepat untuk TTM berperan besar dalam menentukan efektivitas TTM. Jenis irama jantung, etiologi henti jantung, komorbiditas, dan durasi pemberian CPR, juga penting dalam menentukan keefektifan TTM. Selain itu, penting pula untuk memperhatikan waktu yang tepat untuk inisiasi, durasi pemberian terapi, serta cara pelaksanaan TTM.[6]
Faktor klinis yang menentukan prognosis lebih baik, seperti witnessed arrest, irama jantung VT/VF, ROSC dalam 10 menit, dan usaha resusitasi efektif juga perlu dipertimbangkan dalam menilai keberhasilan TTM. Studi lebih lanjut dengan fokus pada karakteristik dari pasien dapat membantu untuk menentukan potensi manfaat dari TTM.[6-8]
Rekomendasi International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) 2020
ILCOR memberikan rekomendasi kuat terhadap pelaksanaan Targeted Temperature Management (TTM) pada pasien henti jantung di luar rumah sakit dengan irama jantung inisial shockable, yang unresponsive pasca resusitasi. Rekomendasi selanjutnya yaitu pelaksanaan TTM pada pasien henti jantung di luar rumah sakit dengan irama jantung inisial non-shockable, yang unresponsive pasca resusitasi, dan henti jantung yang terjadi di rumah sakit dengan irama jantung shockable dan non-shockable.[4]
ILCOR juga memberikan rekomendasi kuat untuk pelaksanaan TTM pada suhu yang konstan dan dipertahankan antara 32oC dan 36oC. Durasi pelaksanaan TTM minimal selama 24 jam. Pendinginan segera setelah didapatkan resolusi sirkulasi spontan pada pre-hospital tidak direkomendasikan terkait tidak terbukti adanya manfaat yang didapat.[4]
Kesimpulan
Terdapat berbagai argumen pro kontra yang mendukung dan menentang pelaksanaan TTM pada pasien henti jantung dengan irama non-shockable. Studi dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi dibutuhkan untuk membuktikan secara pasti manfaat dari TTM. Studi terbaru HYPERION menyatakan adanya manfaat perbaikan prognosis neurologis pada pasien yang diterapi dengan moderate hypothermia therapeutic. Terlepas dari pro kontra ini, ILCOR dan AHA merekomendasikan TTM untuk tetap dilaksanakan pada pasien henti jantung yang mengalami resolusi sirkulasi spontan pasca resusitasi dengan harapan dapat mengurangi kerusakan lebih lanjut dari otak dan meningkatkan survival dari pasien.