Keamanan penggunaan psikostimulan pada ibu hamil dan menyusui masih dipertanyakan, karena dicurigai dapat menyebabkan morbiditas pada ibu, janin, maupun bayi. Psikostimulan termasuk amfetamin, metilfenidat, kafein, dan kokain. Dampak buruk pada ibu hamil termasuk efek teratogenik, preeklampsia, kelahiran prematur, abruptio plasenta, dan bayi berat lahir rendah. Sedangkan pada ibu menyusui dapat menyebabkan iritabilitas dan gangguan tidur bayi.[1-4]
Indikasi Penggunaan Psikostimulan pada Ibu Hamil dan Menyusui
Psikostimulan merupakan obat yang bersifat simpatomimetik, seperti kokain, amfetamin, metilfenidat, dan kafein. Golongan obat ini dapat menyebabkan euforia, peningkatan kepercayaan diri dan adiksi, sehingga psikostimulan dapat disalahgunakan dan menyebabkan kecanduan.[1]
Namun, psikostimulan dibutuhkan untuk terapi gangguan psikiatri, di antaranya attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan narkolepsi. Di mana terapi kondisi ini membutuhkan penggunaan jangka panjang, termasuk pada perempuan yang hamil dan menyusui.[1]
Psikostimulan untuk ADHD
Psikostimulan pengobatan ADHD adalah amfetamin dan metilfenidat. Pada ADHD yang cukup parah, pemberhentian sementara psikostimulan pada kehamilan dan menyusui perlu dipertimbangkan keuntungan dan kerugiannya. Pasien ADHD tanpa terapi berisiko mengalami gangguan kecemasan, bahkan dapat melakukan tindakan yang agresif dan berujung menjadi gangguan fungsi maternal, seperti tidak mau mengurus dan menyusui bayi. Selain itu, juga dapat mengganggu hubungan sosial dengan anggota keluarga lainnya.[1,3]
Psikostimulan untuk Narkolepsi
Narkolepsi atau kondisi mengantuk yang berlebihan pada ibu hamil atau menyusui tentu akan mengganggu kualitas hidupnya. Penggunaan amfetamin pada ibu hamil yang menderita gangguan tidur dianggap membahayakan. Jumlah subjek dalam penelitian masih terlalu sedikit untuk dapat menyimpulkan efikasi dan keamanan penggunaan amfetamin pada ibu hamil dengan narkolepsi.[6]
Walaupun risiko teratogenik akibat psikostimulan yang sesuai dengan dosis terapeutik ditemukan rendah, tetapi pemberian obat-obatan ini tetap tidak direkomendasikan sebagai pilihan pertama. Tata laksana nonfarmakologi, seperti sleep hygiene yang baik dan pekerjaan yang tidak mengacaukan siklus tidur, dapat dilakukan pada ibu hamil atau menyusui yang menderita narkolepsi.[5]
Penghentian obat-obatan untuk narkolepsi sebaiknya dimulai sejak program hamil, saat konsepsi, kehamilan, hingga menyusui. Konsultasi dan persiapan penghentian psikostimulan diperlukan agar tidak terjadi withdrawal syndrome.[7]
Risiko Penggunaan Psikostimulan pada Ibu Hamil
Psikostimulan amfetamin dapat melewati sawar plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi janin dan cairan amnion. Eliminasi obat-obatan pada janin lebih lama dibandingkan ibu, sehingga menyebabkan kadar amfetamin pada sirkulasi janin lebih tinggi daripada di ibu.[2]
Risiko Teratogenik
Amfetamin pada bayi dicurigai berefek teratogenik, khususnya pada sel-sel jantung dan saraf. Pada suatu penelitian, ditemukan peningkatan >10 kali lipat defek kongenital kardiovaskular dan muskuloskeletal pada janin yang terekspos amfetamin. Namun, terdapat faktor perancu yang tidak disingkirkan pada penelitian ini, di antaranya penggunaan substansi lain dalam jumlah besar seperti rokok tembakau. Oleh karena itu, penyataan ini belum dapat dibuktikan.[2]
Studi pada tahun 2007 menyebutkan bahwa bukti yang tersedia tidak menunjukkan amfetamin meningkatkan risiko malformasi janin tidak kuat, terutama jika penggunaan amfetamin sesuai dosis terapeutik. Selain itu, data manusia terkait efek metilfenidate dan atomoxetine pada kehamilan sangat terbatas.[5]
Risiko Gangguan Plasenta
Amfetamin dan obat simpatomimetik lain, seperti dekstroamfetamin dan metilfenidat dapat menyebabkan vasokonstriksi akibat peningkatan epinefrin. Keadaan ini dapat berujung pada insufisiensi plasenta, abrupsio plasenta, dan hambatan pertumbuhan janin di dalam rahim.[1,3]
Akan tetapi, pada penelitian kohort tahun 2017 yang melibatkan lebih dari 5.000 ibu hamil termasuk yang menggunakan obat-obatan ADHD, tidak ada peningkatan risiko abruptio plasenta dan berat lahir rendah yang signifikan secara statistik. Penemuan ini sejalan dengan studi lain yang melakukan penyesuaian faktor insufisiensi plasenta lain, seperti usia, merokok tembakau, dan status paritas.[3,4]
Risiko Preeklampsia dan Persalinan Preterm
Penelitian kohort pada tahun 2017 tersebut di atas menemukan peningkatan risiko preeklampsia sebanyak 1,3 kali lipat pada subjek yang menggunakan psikostimulan di trimester 1 dan setengah awal trimester 2. Terdapat pula peningkatan risiko persalinan preterm 1,3 kali lipat bila pengobatan psikostimulan dilanjutkan hingga kehamilan trimester akhir.[3]
Atomoxetine, obat pilihan lain untuk ADHD, tidak mempengaruhi risiko preeklampsia, prematur, abruptio placenta, dan berat lahir rendah. Hal ini kemungkinan karena atomoxetine merupakan selective norephinephrine reuptake inhibitor (SNRI) yang bekerja pada korteks prefrontal, sehingga efek vasokonstriksi sistemik lebih rendah. Namun, studi pada binatang uji yang diberikan atomoxetine menunjukkan peningkatan morbiditas janin pada dosis >25 mg/kgBB.[3,5]
Risiko Abortus
Studi kohort pada tahun 2015, yang melibatkan 461 ibu hamil dengan ADHD dan 186 di antaranya menggunakan metilfenidat atau atomoxetine, menyimpulkan bahwa pada ibu hamil dengan ADHD terjadi peningkatan risiko abortus. Peningkatan tidak berbeda, baik pada subjek dengan atau tanpa obat psikostimulan. Namun, neonatus dari ibu hamil yang mengonsumsi psikostimulan berisiko mengalami penurunan skor APGAR hingga 2,06 kali lipat.[4]
Risiko Penggunaan Psikostimulan pada Ibu Menyusui
Pada bayi yang menyusu dari ibu yang mengonsumsi amfetamin, dilaporkan dapat mengalami iritabilitas dan gangguan pola tidur. Selain itu, penyalahgunaan amfetamin dapat menurunkan kemampuan bayi untuk menyusu. Berdasarkan rekomendasi American Academy of Pediatrics, amfetamin dikontraindikasikan untuk ibu yang sedang menyusui.[8]
Monitoring Terapi Psikostimulan pada Ibu Hamil dan Menyusui
Pemberian psikostimulan pada ibu hamil dan menyusui harus diperlakukan sebagai terapi yang memiliki risiko. Asuhan antenatal harus dilakukan secara intensif, termasuk evaluasi risiko komplikasi pada plasenta, pertumbuhan janin, nutrisi ibu dan janin, serta hubungan sosial ibu. Sangat perlu dipertimbangkan keuntungan dan kerugian terapi ini.[9]
Penghentian konsumsi amfetamin pada trimester 3 sebaiknya dipertimbangkan, agar terjadi penurunan risiko withdrawal syndrome pada neonatus. Sedangkan pada ibu yang harus mendapatkan terapi psikostimulan, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI kepada bayi.[10]
Pada perempuan usia produktif atau ibu hamil yang menderita penyalahgunaan obat-obatan psikostimulan, harus mendapat penanganan yang tepat dan rutin untuk mengurangi morbiditas. Penanganannya termasuk cognitive behavioral therapy, konseling pribadi, dan edukasi keluarga. Belum ada terapi farmakologi yang terbukti efektif hingga saat ini.[9]
Kesimpulan
Obat-obatan psikostimulan adalah obat-obatan yang bersifat simpatomimetik, misalnya kokain, amfetamin, metilfenidat, dan kafein. Obat golongan ini dapat digunakan untuk attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan narkolepsi.
Pemberhentian sementara psikostimulan pada ibu hamil dengan ADHD berat perlu dipertimbangkan keuntungan dan kerugiannya, terutama terkait dengan masalah sosial. Terdapat studi dengan subjek ibu hamil penderita ADHD yang menunjukkan bahwa amfetamin pada kehamilan dapat meningkatkan risiko preeklampsia dan persalinan prematur, tetapi belum terbukti meningkatkan teratogenik, abruptio plasenta, dan berat bayi lahir rendah.
Sedangkan pada kasus narkolepsi, tata laksana nonfarmakologis, seperti sleep hygiene, lebih disarankan daripada pemberian psikostimulan. Demikian pula pada ibu menyusui, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI jika harus mengonsumsi psikostimulan. Agen psikostimulan diekskresikan melalui ASI sehingga dapat menyebabkan iritabilitas dan gangguan pola tidur.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini