Kebersihan tangan yang baik dapat mengurangi hari sakit dan absen pada anak sekolah. Perihal kebersihan tangan dan praktik mencuci tangan menjadi topik hangat karena adanya Coronavirus disease 2019 (COVID-19).
Bahkan, bulan Maret 2020 lalu, WHO menyerukan gerakan #SafeHandsChallenge untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan mencuci tangan dalam upaya mencegah penyebaran COVID-19.[1]
Pencegahan penyebaran infeksi penting pada populasi anak, karena populasi ini memiliki sistem imun yang belum sempurna. Sekolah juga merupakan lokasi semi tertutup di mana para murid dalam jumlah besar berkumpul setiap hari, sehingga akan memudahkan penyebaran infeksi.[2]
Alasan kesehatan berkontribusi sebesar 75% dari total ketidakhadiran siswa di sekolah. Di Amerika Serikat, ketidakhadiran siswa di sekolah akibat sakit meningkat selama musim flu. Rata-rata jumlah ketidakhadiran siswa akibat sakit adalah 4,5 hari/tahun.2-[6]
Ketidakhadiran kronis, didefinisikan sebagai ketidakhadiran lebih dari 15 hari atau 10% dalam satu tahun ajaran, dapat berakibat pencapaian akademik yang buruk, putus sekolah, serta kecenderungan terlibat dalam perilaku yang membahayakan kesehatan seperti merokok, seks bebas, serta konsumsi ganja, alkohol, dan narkotika lainnya.
Pada sisi lain, ketidakhadiran siswa juga memberikan beban ekonomi, karena dapat memaksa orang tua atau wali cuti bekerja untuk merawat anak yang sakit. Kedepannya, ketidakhadiran kronis di sekolah dapat berdampak pada kualitas hidup siswa saat dewasa, seperti kualitas kesehatan yang lebih rendah, kesulitan mendapat pekerjaan, kualitas hidup yang lebih rendah, dan risiko mortalitas yang lebih tinggi.[5,7]
Mencuci Tangan Mencegah Penyebaran Infeksi pada Anak Usia Sekolah
Mencuci tangan telah lama diketahui sebagai upaya preventif yang efektif untuk mencegah penyebaran mikroorganisme dan penyakit infeksi. Sebuah studi kohort prospektif pada 773 siswa sekolah dasar di Chicago menunjukkan bahwa intervensi kebersihan tangan meningkatkan jumlah kehadiran selama musim flu. Pada penelitian ini, siswa diberikan akses terhadap fasilitas kebersihan tangan berupa sabun dan antiseptik, serta instruksi singkat repetitif.[9]
Pada tahun 2017, Wang et al mempublikasikan tinjauan terhadap 19 studi yang menunjukkan intervensi kebersihan tangan dapat mengurangi ketidakhadiran siswa yang diakibatkan oleh penyakit gastrointestinal akut, tetapi tidak ada bukti yang cukup untuk kasus respirasi akut. Sayangnya, studi-studi yang diikutkan dalam tinjauan tersebut memiliki banyak kekurangan terkait desain penelitian, seperti tidak adanya pengacakan sampel dan blinding.[5]
Tinjauan lain yang dilakukan pada 18 randomized controlled trial (RCT) menunjukkan bahwa intervensi kebersihan tangan dapat mengurangi ketidakhadiran siswa dan inisiden infeksi saluran pernapasan, tetapi tidak ada bukti yang cukup terhadap infeksi saluran pencernaan. Namun, serupa dengan studi Wang et al, studi ini menyatakan bahwa RCT yang ada memiliki kualitas yang kurang baik, terutama dari segi pengacakan dan jumlah klaster.[2]
Keterbatasan Mencuci Tangan dengan Sabun dan Air
Sayangnya, praktik mencuci tangan dengan air dan sabun memiliki banyak hambatan. Diketahui hanya 19% dari populasi dunia yang mencuci tangan dengan sabun dan air setelah kontak dengan kotoran, seperti setelah buang air.[8]
Di Indonesia sendiri, tidak semua masyarakat memiliki akses terhadap fasilitas cuci tangan dengan sabun dan air bersih. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 fasilitas tersebut hanya dapat diakses oleh 79,59% penduduk dengan cakupan yang lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding pedesaan.
Angka tersebut meningkat dari tahun 2019 (persentase cakupan 76,07%). Tidak ada satupun provinsi dengan tingkat cakupan fasilitas lebih dari 90%. Jakarta sebagai ibu kota bahkan tidak masuk dalam sepuluh besar, dengan cakupan fasilitas 79,52% saja. Penyebaran fasilitas cuci tangan juga tidak merata, dengan posisi terendah ditempati oleh Papua (36,97%).[10]
Keterbatasan Praktik Mencuci Tangan dengan Air dan Sabun pada Setting Sekolah
Institusi seperti sekolah atau tempat penitipan anak memiliki hambatan sendiri dalam praktik mencuci tangan dengan air dan sabun. Hambatan ini mencakup kurangnya fasilitas cuci tangan, kebutuhan akan air mengalir, keharusan mengeringkan setelah mencuci tangan, keterbatasan waktu, dan kesulitan untuk mencuci tangan di kamar mandi selama kelas berlangsung.[11,12]
Mencuci Tangan Tanpa Air sebagai Alternatif
Mencuci tangan dengan antiseptik (hand sanitizer) tanpa air dapat menjadi alternatif yang cepat, mudah, dan efektif, dengan beberapa keunggulan seperti:
- Antiseptik dapat dengan mudah didistribusikan atau dibawa mandiri
- Antiseptik dapat diletakkan di dalam kelas tanpa air mengalir
- Tidak membutuhkan pengering seperti kertas tisu atau pengering otomatis
- Membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk dilakukan[11,12]
Antiseptik yang paling sering digunakan untuk mencuci tangan tanpa air memiliki bahan aktif alkohol dengan konsentrasi etanol 60-95%. Satu kali aplikasi membutuhkan 3-5 ml cairan antiseptik dengan minimal waktu 30 detik.[13]
Beberapa penelitian melaporkan sekolah yang menerapkan program kebersihan tangan menggunakan antiseptik berbasis alkohol menunjukkan penurunan 19-50% penyebaran infeksi pernapasan dan pencernaan.[12,14]
Pada tahun 2020, Cochrane mempublikasikan tinjauan sistematik mengenai pengaruh praktik mencuci tangan tanpa air terhadap jumlah hari absen siswa sekolah dibandingkan dengan kontrol (praktik mencuci tangan dengan sabun dan air). Tinjauan tersebut mencakup 30.747 sampel dari 19 penelitian, dengan 14 di antaranya dianalisis secara kuantitatif menggunakan metode meta analisis.
Secara kuantitatif, tinjauan ini menunjukkan bahwa praktik dan kepatuhan terhadap program mencuci tangan tanpa air berpotensi mengurangi jumlah hari tidak masuk ke sekolah karena sakit dibandingkan kontrol. Sebagian besar siswa dan guru juga memberikan masukan umpan balik yang positif dan menunjukkan kepatuhan terhadap praktik mencuci tangan tanpa air. Beberapa guru mengamati banyak murid yang tanpa sadar mencuci tangan setiap mereka melewati gel antiseptik yang diletakkan dekat pintu kelas. Antiseptik juga memungkinkan siswa untuk mencuci tangan selama kelas berlangsung, misalnya setelah batuk atau bersin.
Meskipun demikian, peneliti Cochrane menggarisbawahi kualitas yang rendah dari studi yang ada, termasuk keterbatasan metode, data yang tidak lengkap, dan inkonsistensi data.[11]
Kesimpulan
Kebersihan tangan yang baik telah banyak dilaporkan mampu menurunkan angka kesakitan dan mencegah penyebaran penyakit. Hal ini terutama penting pada anak karena sistem imun mereka yang belum matur dan kegiatan mereka di sekolah yang sering kali berada di ruang semi tertutup dengan banyak anak dalam satu waktu.
Walaupun demikian, praktik mencuci tangan dengan air dan sabun terhadang berbagai kesulitan, seperti ketersediaan air bersih, air mengalir, sabun, dan keperluan mengeringkan tangan setelah mencuci tangan.
Beberapa studi yang ada menunjukkan bahwa praktik cuci tangan tanpa air, menggunakan antiseptik, memiliki potensi dan efikasi yang baik untuk mencegah penularan penyakit dan mengurangi hari sakit anak sekolah dan prasekolah. Tetapi, studi-studi ini masih memiliki berbagai keterbatasan, sehingga masih diperlukan studi lanjutan dengan jumlah sampel lebih besar dan metodologi penelitian yang lebih baik.
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja