Keamanan Jangka Panjang Kehamilan Pasca Kanker Payudara

Oleh :
dr. Tanessa Audrey Wihardji

Keamanan jangka panjang kehamilan pada wanita dengan kanker payudara terutama tipe reseptor estrogen (ER)-positif masih menjadi perdebatan, tertutama karena kemungkinan rekurensi kanker dan kematian yang dapat terjadi.

Kanker payudara yang menyerang pada usia muda bisa sangat menghancurkan harapan untuk memiliki keturunan bagi wanita karena kehamilan diduga dapat meningkatkan kemungkinan rekurensi dan metastasis akibat stimulasi hormonal. Selain itu, efek kemoterapi juga ditakutkan menyebabkan infertilitas dan kemungkinan cacat bawaan lahir.

Melihat semua risiko ini, kehamilan pada wanita dengan riwayat kanker payudara merupakan keputusan yang harus dipertimbangkan matang-matang, terutama mengenai keamanan efek jangka panjang dari kehamilan terhadap rekurensi kanker payudara.

Keamanan Jangka Panjang Kehamilan Pasca Kanker Payudara-min

Data American Cancer Society menunjukkan terdapat 252,710 wanita terdiagnosa kasus baru kanker payudara invasif pada tahun 2017, dimana sebesar 11,160 (4,4%) berusia kurang dari 40 tahun. Penelitian terdahulu menyarankan wanita usia muda dengan kanker payudara menunda atau menghindari kehamilan untuk mengurangi kemungkinan stimulasi hormonal yang dapat menyebabkan metastasis. Namun dengan adanya perkembangan opsi terapeutik, memungkinkan pasien usia muda menerima terapi intensif dengan durasi yang lebih pendek dan dapat mempertahankan fungsi fertilitas. [1,2]

Alasan dokter dan pasien takut akan kehamilan setelah kanker payudara adalah diduga meningkatnya kemungkinan terjadi rekurensi kanker terutama pada wanita dengan kanker payudara tipe ER-positif. Peningkatan hormon estrogen pada saat kehamilan dikuatirkan akan ‘menyuburkan’ sisa sel kanker yang masih ada didalam tubuh setelah terapi.

Alasan lainnya adalah kemungkinan untuk menghentikan terapi adjuvan, seperti modulator reseptor estrogen selektif (tamoxifen), yang berguna untuk mencegah rekurensi, dimana terapi adjuvant ini harus dilakukan setidaknya 5 tahun dan pada beberapa kasus bisa mencapai hingga 10 tahun lamanya. [3,4]

Terapi Kanker Payudara dan Infertilitas

Adanya risiko infertilitas pada pasien kanker payudara seringkali dikaitkan dengan efek dari kemoterapi. Salah satu efek kemoterapi yang dikaitkan dengan penurunan fertilitas adalah adanya disfungsi ovarium (seringkali ditandai dengan chemotherapy-related amenorrhea) dan menopause dini.

Sebuah randomized controlled trial (RCT) meneliti efektifitas dari regimen fluorouracil, epirubicin, dan siklofosfasmid (FEC) selama 2 minggu dibandingkan dengan penggunaan selama 3 minggu. Studi ini melaporkan bahwa amenorrhea timbul pada 64% subjek studi dengan komposisi yang sama antara regimen 2 minggu dengan 3 minggu. Namun, analisis subgrup menunjukkan tidak adanya asosiasi yang signifikan antara kedua regimen kemoterapi dengan timbulnya menopause dini. [5]

Studi lain oleh Fornier et al melaporkan hasil yang sedikit berbeda, dimana insidensi amenorrhea dilaporkan jauh lebih sedikit. Pada studi ini, dari 166 subjek studi yang menderita kanker payudara dan mendapatkan tatalaksana anthracycline atau taxane, hanya 15% subjek studi menderita amenorrhea jangka panjang.

Pada 84 subjek studi yang mendapatkan tatalaksana anthracycline, 13% dilaporkan menderita amenorrhea jangka panjang. Sedangkan dari 82 pasien yang mendapatkan terapi taxane, 17% menderita amenorrhea jangka panjang. Analisis statistik lanjutan menunjukkan bahwa subjek studi dengan usia lebih tua lebih rentan terkena amenorrhea jangka panjang. [6]

Studi kohort lain dari International Breast Cancer Study Group Trials menyimpulkan bahwa wanita yang tetap menunjukkan tanda premenopause setelah 6-7 siklus CMF-kemoterapi (regimen siklofosfamid, methotrexate, dan fluorouracil), berisiko untuk mengalami menopause lebih dini dibandingkan pasien yang tidak menjalani kemoterapi. [7]

Hasil dari ketiga studi ini mengindikasikan adanya pengaruh kemoterapi terhadap fertilitas dan fungsi ovarium, namun karena regimen pengobatan yang digunakan berbeda-beda, simpulan yang adekuat mengenai hubungan antara penatalaksanaan kanker payudara secara umum dengan masalah fertilitas masih inkonklusif.

Penelitian Mengenai Keamanan Jangka Panjang Kehamilan pada Kanker Payudara

Berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa kehamilan tidak memengaruhi survival rate  dan rekurensi kanker payudara. Sebuah meta analisis tahun 2011 menganalisis 9 studi yang memenuhi kriteria penelitian. Meta analisis tersebut melaporkan bahwa pada pasien dengan kanker payudara primer yang berusia <45 tahun, kehamilan yang terjadi dalam jangka 10 bulan setelah terdiagnosis tidak memengaruhi prognosis.

Hasil meta analisis ini juga mengindikasikan adanya efek protektif dari kehamilan terhadap survival pasien kanker payudara. Namun keabsahan dampak protektif ini perlu ditelurusi lebih lanjut karena masih adanya kemungkinan recall bias penelitian, serta tidak dilakukan pemeriksaan terhadap status ER/PR (Estrogen Receptor/Progesteron Receptor).[8]

Sebuah penelitian kohort meneliti keamanan jangka panjang kehamilan pada wanita kanker payudara menurut status ER dengan median follow-up hingga 7,2 tahun setelah kehamilan. Sebanyak 333 pasien hamil dan 874 pasien tidak hamil diikutkan dalam analisis, dimana 686 diantaranya memiliki status ER positif.

Hasil penelitian ini menyebutkan tidak ada perbedaan disease free survival (DFS) pada pasien ER positif dan negatif yang hamil dan tidak hamil. Walaupun demikian, juga dilaporkan bahwa kelompok pasien yang hamil memiliki overall survival (OS) yang lebih baik. Selain daripada itu, penelitian ini juga melaporkan bahwa keluaran pada kehamilan serta interval antara diagnosis-kehamilan tidak memengaruhi risiko terjadinya rekurensi kanker payudara. [9]

Hasil berbeda diungkapkan pada sebuah studi lain di Australia yang mengidentifikasi adanya kehamilan pada 123 subjek studi yang hamil setelah terdiagnosis kanker payudara. Pada studi ini diketahui bahwa 48 subjek (39%) mengalami rekurensi setelah kehamilan, dengan median waktu tanpa rekurensi adalah 42 bulan. Namun, perlu diingat bahwa studi ini hanyalah studi populasi, sehingga tidak dapat menyimpulkan adanya asosiasi langsung antara kehamilan dan risiko rekurensi kanker payudara. [10]

Keluaran Kehamilan pada Wanita dengan Riwayat Kanker Payudara

Sebuah studi oleh Kranick et al menganalisis prognosis pasien kanker payudara dengan atau tanpa kehamilan di kemudian hari. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada perubahan signifikan terhadap tingkat rekurensi dan kematian dari kedua kelompok selama 12 tahun follow up. Terdapat 33 dari wanita yang terdiagnosis mengalami  dua kehamilan atau lebih dalam 12 bulan setelah diagnosis.

Keluaran kehamilan juga diteliti pada studi ini, dan didapatkan 53% kehamilan melahirkan bayi hidup, sedangkan 46% kehamilan berakhir dengan abortus spontan ataupun terinduksi (dibandingkan dengan 15-20% pada populasi umum). [2]

Studi lain di Australia juga menunjukkan hasil serupa, dimana dari 62 pasien (54%) yang hamil setelah terdiagnosis kanker payudara, 29 diantaranya melakukan abortus, 27 kehamilan berakhir dengan kelahiran hidup, dan 6 mengalami keguguran. [10] Meta analisis yang dipublikasikan tahun 2017, meneliti kehamilan setelah terapi kanker payudara pada 16 studi yang sesuai kriteria inklusi (6 studi population-based, 4 studi kohort, dan 1 studi kasus-kontrol).

Hasil dari analisis ini terdapat 14% kehamilan terjadi pada wanita yang menjalani terapi sistemik setelah operasi kanker payudara. Namun, dari 14% wanita yang berhasil hamil ini, 12%-nya mengalami keguguran, dan 21% melakukan terminasi kehamilan. [11]

Studi yang lebih spesifik mengenai keluaran fetal dan maternal, seperti adanya malformasi kongenital ataupun berat badan lahir rendah, masih sangat terbatas.

Kesimpulan

Studi yang ada mengindikasikan adanya pengaruh terapi kanker payudara terhadap fungsi ovarium dan fertilitas, namun hasil studi yang ada masih berbeda-beda karena regimen pengobatan yang digunakan juga berbeda-beda. Selain daripada itu, studi-studi terbaru menunjukkan bahwa kehamilan masih dapat terjadi walaupun pasien memiliki riwayat kanker payudara, dan riwayat tersebut tidak memperburuk prognosis survival pasien.

Kelahiran hidup pada pasien yang hamil dengan riwayat kanker payudara dilaporkan cukup tinggi, namun keluaran fetal dan maternal yang lebih spesifik (seperti adanya malformasi kongenital ataupun berat badan lahir rendah) masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Rata-rata studi yang ada juga menunjukkan bahwa kehamilan tidak memengaruhi rekurensi kanker payudara.

Referensi