Pemberian obat profilaksis pada anak dengan kejang demam sering kali dilakukan. Namun, berdasarkan penelitian tidak semua golongan obat dapat mencegah terjadinya kejang demam selanjutnya maupun tidak ssemua anak dengan kejang demam membutuhkan profilaksis.
Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan- 5 tahun. Penyakit ini seringkali menyebabkan kecemasan pada orang tua. Sebagian besar dari kejang demam tidak berbahaya tetapi pengobatan anti kejang memiliki efek samping yang cukup serius bila dikonsumsi dalam jangka waktu panjang.[1]
Akan tetapi, berdasarkan penelitian terbaru, ada konsekuensi jangka panjang akibat kejang demam berulang. Oleh karena itu, penting untuk praktisi memberikan konseling, informasi dan edukasi kepada orang tua pasien tentang penyakit ini serta pencegahannya.
Klasifikasi Kejang Demam
Kejang demam adalah gangguan kejang yang paling umum ditemukan pada masa anak-anak. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh rektal diatas 38 derajat Celsius. Kejang ini disebabkan karena ekstrakranium dan paling sering terjadi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun.[1-3]
Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu
- Kejang demam sederhana: Durasi < 15 menit, umumnya berhenti sendiri, kejang umum (tonik dan/atau klonik), dan maksimal 1 bangkitan kejang dalam 24 jam
- Kejang demam kompleks, salah satu dari ciri berikut: Durasi > 15 menit, atau berulang lebih dari 2 kali dan ada fase tidak sadar di antara 2 bangkitan kejang, kejang fokal atau parsial, atau kejang umum yang didahului kejang parsial, dan bangkitan kejang lebih dari 1 kali dalam 24 jam[3]
Indikasi Pemberian Terapi Profilaksis Kejang Demam
Terjadinya kejang demam berulang dikaitkan dengan faktor risiko kejang demam. Semakin banyak faktor risikonya, semakin tinggi kemungkinan terjadi kejang demam berulang.
Faktor risiko tersebut adalah:
- Riwayat keluarga dengan kejang demam (derajat pertama)
- Durasi yang terjadi antara demam dan kejang kurang dari 1 jam
- Usia < 18 bulan
- Temperatur yang rendah yang membangkitkan bangkitan kejang[4]
Bila terdapat 1 dari 4 faktor risiko ini, kemungkinan terjadi kejang demam berulang dalam 2 tahun adalah 20%, 2 dari 4 faktor risiko: 30%, 3 dari 4 faktor risiko: 60% dan bila terdapat semua faktor risiko: 70%.[5]
Pemberian Antipiretik
Pemberian antipiretik ditemukan tidak efektif pada pencegahan kejang demam. Dalam sebuah penelitian meta-analisis, 22.7% kelompok yang diberikan antipiretik dan 24.4% pada kelompok plasebo mengalami kejang demam berulang.
Perbedaan ini ditemukan tidak berbeda bermakna secara statistik. Obat antipiretik diberikan untuk menurunkan demam pada pasien dengan dosis dan pemberian seperti pada pasien tanpa riwayat kejang demam. Selain itu, pemberian antipiretik juga ditujukan untuk menurunkan kecemasan dari orang tua.[2]
Obat antipiretik yang direkomendasikan oleh IDAI adalah:
Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali, sampai 4 kali sehari
Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari[1]
Obat Rumatan Golongan Asam Valproat dan Phenobarbital
Obat rumatan dipertimbangkan untuk diberikan kepada grup penderita kejang demam yang memiliki satu atau lebih hal berikut ini.
- Kejang demam kompleks, atau
- Timbulnya kelainan neurologis sebelum atau sesudah kejang (contoh: paresis Todd, hemiparesis, cerebral palsy, hidrosefalus dan retardasi mental), atau
- Kejang lebih dari 2 kali dalam 24 jam, atau kurang usia 12 bulan, atau lebih sama dengan 4 kali kejadian kejang demam dalam 1 tahun[1]
Obat rumatan yang disarankan oleh IDAI untuk kejang demam pada kriteria di atas dan diberikan hingga 1 tahun periode bebas kejang dengan penurunan dosis perlahan atau tapering off selama 1–2 bulan.[1]
Dosis Asam Valproat dan Phenobarbital
Berikut ini adalah dosis asam valproat dan phenobarbital:
Asam Valproat:
Asam valproat diberikan pada dosis 15-40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis. Perhatikan risiko gangguan fungsi hati terutama pada usia di bawah 2 tahun, trombositopenia, gangguan pencernaan dan pankreatitis.[1,6]
Phenobarbital:
Dosis Phenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis. Penggunaan setiap hari meningkatkan risiko terjadinya kesulitan belajar, gangguan perilaku, gangguan tidur dan reaksi hipersensitivitas.[1,6]
Efek Samping Penggunaan Antiepilepsi Jangka Panjang
Sebanyak 30% anak menggunakan antiepilepsi atau benzodiazepine akan mengalami efek samping. Sehingga pertimbangan yang cermat dibutuhkan sebelum meresepkan kedua obat golongan tersebut.[7]
Penggunaan phenobarbital dalam jangka waktu yang lama dipercaya membuat penurunan kualitas intelegensi (IQ)[8], namun dalam sebuah penelitian yang lebih baru, tidak ditemukan perbedaan IQ yang bermakna antara kelompok asam valproat dan fenobarbital pada terapi epilepsi pediatrik sebelum dan setelah masa pengobatan selesai.[9]
Obat rumatan tidak direkomendasikan untuk diberikan pada anak dengan kejang demam sederhana karena risiko efek sampingnya lebih besar dari efek terapeutik. Pada kejang demam kompleks, asam valproat lebih menjadi pilihan dibandingkan dengan phenobarbital.[10]
Terapi Intermiten Obat Clobazam Oral dan Diazepam Oral
Pada episode demam dengan riwayat kejang demam sebelumnya, dapat diberikan terapi intermiten yaitu pemberian anti kejang secara oral saat kejang, dengan dosis dan pilihan sebagai berikut:
Dosis Diazepam dan Clobazam
Diazepam 0.3 mg/kgBB/kali sebanyak 3 kali sehari selama 2 hari, atau
Clobazam selama 2 hari dengan dosis berdasarkan berat badan:
- <5 kg: 5 mg, 1 kali sehari
- 6-10 kg: 5 mg, 2 kali sehari
- 11-15 kg: 7.5 mg, 2 kali sehari
- >15 kg: 10 mg, 2 kali sehari[1,10]
Efek Samping Pemberian Obat Benzodiazepine
Diazepam dan clobazam merupakan obat antikejang golongan benzodiazepine. Efek samping dari pemberian benzodiazepin adalah terjadi efek sedasi, ataksia dan mengantuk. Clobazam memiliki efek samping dari benzodiazepin lebih ringan dibandingkan dengan diazepam.[11]
Keuntungan Pemberian Diazepam Terhadap Kejang Demam Rekuren
Penelitian meta-analisis tahun 2017 oleh Offringa et al. menemukan bahwa pemberian diazepam intermiten dibandingkan dengan plasebo menurunkan rekurensi kejang demam berulang pada anak. Penurunan berulang kejang demam menggunakan diazepam intermiten dibandingkan plasebo adalah 36% pada 6 bulan pertama, 31% pada 12 bulan, 63% pada 18 bulan, 27% pada bulan 24.[7]
Akan tetapi tidak ditemukan keuntungan pemberian diazepam pada bulan 60 - 72. Walaupun secara statistik pemberian diazepam menguntungkan, tetapi penelitian ini membutuhkan metodologi penelitian dengan kualitas yang lebih baik.[7]
Diazepam vs Clobazam
Dalam sebuah meta-analisis,tahun 2013, oleh Masuko et al. angka kejadian bangkitan kejang pada kelompok diazepam (terapi intermiten) lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok plasebo (p<0.01).[12]
Obat pilihan kedua, clobazam, secara statistik dapat menurunkan angka bangkitan kejang saat demam bila dibandingkan dengan pemberian plasebo. Dalam penelitian yang melibatkan 110 sampel ini, angka kejadian kejang demam menurun hingga 7 kali lipat pada kelompok clobazam (p=0.01).[12,13]
Pemberian clobazam dibandingkan dengan diazepam oral memberikan hasil yang tidak berbeda bermakna untuk kejadian bangkitan kejang pada kejang demam. Pada penelitian Khosroshahi et al, bangkitan kejang pada kelompok clobazam dibandingkan diazepam adalah 1.7% vs 3.1% (p=0.474).[10] Sedangkan pada penelitian Gulati S et al. ditemukan kejadian kejang pada grup diazepam lebih tinggi dari grup clobazam (odd ratio: 2.3). [14]
Pemberian obat anti kejang intermiten pada riwayat kejang demam sederhana tetap tidak direkomendasikan karena efek sampingnya yang melebihi efek terapeutik. Meskipun demikian, pada beberapa kondisi khusus seperti: seringnya terjadi kejang demam, riwayat bangkitan kejang pada suhu tubuh yang rendah dan kecemasan orang tua bisa menjadi pertimbangan pemberian obat anti kejang intermiten[15].
Pemilihan Terapi Intermiten atau Terapi Rumatan pada Anak Kejang Demam
Sebuah penelitian Randomized Controlled Trial (RCT) di Iran menemukan bahwa pemberian diazepam intermiten tidak berbeda bermakna dengan pemberian fenobarbital sebagai terapi rumatan (kontinu) pada anak yang memiliki indikasi terapi rumatan dalam mencegah terjadinya bangkitan kejang (p = 0.296). [16]
Belum ada penelitian lain ditemukan yang membandingkan terapi intermiten dibandingkan rumatan. Bila terapi intermiten terbukti tidak berbeda bermakna dengan terapi rumatan, maka kemungkinan besar terapi intermiten lebih direkomendasikan karena dapat mengurangi risiko efek samping dari kedua pengobatan tersebut bila dibandingkan.
Kesimpulan
Berdasarkan bukti ilmiah hingga saat ini, profilaksis kejang demam menggunakan antipiretik seperti paracetamol maupun ibuprofen tidak efektif dalam mengurangi angka kejang demam berulang. Namun, memberikan efek menenangkan untuk orang tua.
Perlu diingat bahwa obat-obatan preventif untuk kejang demam baik terapi rumatan maupun intermiten memiliki efek samping seperti mengantuk, ataksia, dan penurunan kecerdasan pada 30% pasien.
Asam valproat lebih direkomendasikan dibandingkan dengan phenobarbital sebagai terapi rumatan pada kelompok anak kejang demam kompleks yang berisiko tinggi menjadi epilepsi.
Pemberian diazepam intermiten dibandingkan plasebo terbukti menurunkan rekurensi kejang demam pada anak. Namun, beberapa penelitian clobazam oral lebih unggul dibandingkan diazepam oral sebagai terapi intermiten saat demam.
Pemberian terapi rumatan dan intermiten disarankan untuk diberikan pada kelompok di luar kejang demam sederhana. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan efektivitas dari kedua kelompok terapi ini. Oleh karena itu, perlu tetap diingat prinsip pemberian obat: keuntungan terapeutik melebihi risiko efek samping.
Direvisi oleh: Renate Parlene Marsaulina