Salah satu hal yang memengaruhi luaran neurologis pada kasus henti jantung di luar rumah sakit adalah manajemen jalan napas (airway management). Beberapa studi memperlihatkan hasil yang lebih baik pada penggunaan ventilasi bag-valve-mask (BVM) dibandingkan intubasi endotrakea.
American Heart Association (AHA) memperkenalkan Chain of Survival untuk kasus henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit (Out of Hospital Cardiac Arrest / OHCA). Tiga tahap dari chain of survival yang dapat dilakukan di luar rumah sakit tersebut adalah mengenali kondisi henti jantung dan aktivasi respon emergensi, melakukan resusitasi jantung paru (RJP) dengan minimal interupsi, dan melakukan defibrilasi.[1–3]
Bantuan Jalan Napas pada Saat Henti Jantung
Penatalaksanaan jalan napas yang dapat dilakukan saat RJP, meliputi bantuan mouth-to-mouth, bag-valve-mask (BVM), jalur napas supraglotis dan intubasi endotrakea. Saat terjadi henti jantung, tubuh hanya memiliki waktu 4 menit untuk memanfaatkan kandungan oksigen cadangan dalam mensuplai kebutuhan metabolisme.[4]
Dalam beberapa tahun terakhir, peranan manajemen jalan napas pada RJP di luar rumah sakit banyak dipertanyakan karena dianggap memiliki lebih banyak risiko dibandingkan keuntungan. Kurangnya keuntungan yang didapat mungkin karena tenaga yang kurang terlatih dan tingginya interupsi kompresi dada.
Interupsi kompresi dada dapat terjadi karena terlalu banyaknya usaha untuk mempertahankan jalan napas saat tindakan intubasi. Maka dari itu, manajemen jalan napas lanjutan, seperti intubasi trakea pada kondisi di luar rumah sakit dapat ditunda kecuali dirasa sangat diperlukan.[5]
Ventilasi Bag-Valve-Mask
Ventilasi menggunakan bag-valve-mask (BVM) lebih mudah dan cepat dilakukan dibandingkan dengan intubasi endotrakea. Hal ini karena dapat dilakukan tanpa interupsi kompresi dada atau dengan ritme 30:2, di mana keduanya dalam uji acak terkontrol tidak memiliki perbedaan outcome yang signifikan. Oropharyngeal airway (OPA) dan nasopharyngeal airway (NPA) dapat digunakan dengan BVM.[4,13]
Meskipun ventilasi BVM relatif lebih mudah daripada intubasi endotrakea, BVM memiliki beberapa kelemahan yaitu adanya risiko barotrauma akibat inflasi paru yang besar, serta masuknya udara ke gaster yang berisiko muntah dan aspirasi.[8]
Intubasi Endotrakea
Keuntungan intubasi endotrakea adalah bantuan napas tanpa interupsi pada saat kompresi dada, menghindari udara untuk masuk ke gaster dan melindungi paru dari aspirasi cairan gaster. Akan tetapi, waktu yang diperlukan untuk melakukan intubasi trakea relatif lebih lama.[4]
Panduan dari European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015 merekomendasikan penghentian kompresi dada hanya boleh kurang dari 5 detik untuk melakukan intubasi endotrakea.
Kegagalan intubasi endotrakea lebih dari 2 kali percobaan, meningkatkan risiko komplikasi, seperti desaturasi oksigen, aritmia, henti jantung, kerusakan otak dan kematian. Kegagalan intubasi pada percobaan pertama berhubungan dengan penurunan signifikan kemungkinan untuk return of spontaneous circulation (ROSC).[5,14,15]
Pertimbangan Intubasi Endotrakea dan Ventilasi
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan bantuan napas pasien dewasa adalah pemberian oksigen dengan volume tidal 7–10 mL/kgBB untuk mengatasi anatomical dead space. Hal ini relatif lebih mudah diatur pada bantuan jalan napas yang menggunakan intubasi endotrakea dan terhubung dengan ventilator sehingga volume tidal nya dapat diatur.
Pada pemberian ventilasi bag-valve-mask (BVM), apabila prosedur dan tekniknya tidak dilakukan dengan benar, dapat terjadi kebocoran udara sehingga volume tidal tidak mencapai target.[6–8]
Studi Perbandingan Ventilasi BVM dan Intubasi Endotrakea oleh Jabre, et al.
Studi uji klinis acak oleh Jabre, et al menemukan bahwa pemberian manajemen jalan napas dengan ventilasi BVM tidak lebih buruk dibandingkan intubasi endotrakea. Fungsi neurologis pada hari ke-28 pada kelompok ventilasi BVM dan intubasi endotrakea tidak memiliki perbedaan yang bermakna (4,3% vs 4,2%, p untuk non inferioritas=0,11).
Akan tetapi, dalam analisis intention to treat, ditemukan bahwa intubasi endotrakea memiliki angka ROSC yang signifikan lebih besar dibandingkan ventilasi BVM (38,9% vs 34,2%, p=0,03). Meskipun terjadi perbedaan tingkat ROSC, sintasan 28 hari pada kedua kelompok tidak ada perbedaan yang bermakna.
Hal ini kemungkinan karena adanya bias akibat komplikasi terkait ventilasi. Sulitnya intubasi trakea menyebabkan interupsi kompresi dada semakin bertambah, di sisi lain kompresi dada merupakan salah satu aspek penting pada RJP. Hal ini mungkin menurunkan efektivitas dari RJP.[17]
Studi Perbandingan Ventilasi BVM dan Intubasi Endotrakea oleh Lupton, et al.
Lupton, et al. berdasarkan studinya menyimpulkan bahwa ventilasi BVM dalam manajemen jalan napas pada RJP di luar rumah sakit memiliki kemungkinan ROSC yang sama dengan manajemen jalan napas lanjutan. Pada studi, bantuan jalan napas lanjutan yang digunakan seperti intubasi endotrakea dan/atau jalur napas supraglotis.
Pada kelompok yang hanya mendapat ventilasi BVM memiliki survival 72 jam, saat pemulangan, dan luaran neurologis yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok manajemen jalan napas lanjutan.[19]
Dari segi luaran neurologis dinilai dengan modified ranking scale (MRS), di mana skor <3 berkaitan dengan luaran neurologis dinilai yang baik. Luaran neurologis yang baik ditemukan 7 kali lipat lebih banyak pada kelompok ventilasi BVM dibandingkan manajemen jalan napas lanjutan pada RJP di luar rumah sakit (OR=7,05, 95%CI=4,40–11,3).
Bila terjadi kegagalan pemberian jalan napas lanjut saat percobaan pertama, jika dilanjutkan dengan ventilasi BVM, luaran neurologis yang baik meningkat 2 kali lipat. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan manajemen jalan napas lanjut (OR=2,64, 95%CI=1,20–581).[19]
Rekomendasi AHA untuk Bantuan Jalan Napas
Panduan AHA pada pembaharuan panduannya, tetap merekomendasikan manajemen jalan napas dengan ventilasi BVM atau manajemen jalan napas lanjutan pada RJP di luar rumah sakit. Manajemen jalan napas lanjut seperti intubasi endotrakea dipilih apabila diperkirakan memiliki kesuksesan yang tinggi, misalnya dilakukan oleh tenaga berpengalaman. Pelatihan ulang sebaiknya dilakukan untuk tenaga kesehatan yang akan melakukan intubasi endotrakea.[18,20]
Kesimpulan
Pada RJP yang dilakukan di luar rumah sakit, intubasi endotrakeal dipertimbangkan apabila dapat dilakukan sesegera mungkin dan memiliki kesuksesan yang tinggi. Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi atau terjadi kegagalan intubasi pada percobaan pertama, sebaiknya dilakukan ventilasi bag-valve-mask. Interupsi kompresi dada untuk percobaan pemberian intubasi berulang kali sangat tidak disarankan. Hal ini agar angka ROSC meningkat, dan luaran neurologis pasien lebih baik.
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli