Deteksi henti jantung intraoperatif lebih sulit dibandingkan mendeteksi henti jantung pada umumnya. Hal ini karena pada kondisi intraoperatif pasien berada di bawah sedasi obat anestesi yang akan mempengaruhi pola pernafasan. Selain itu, prosedur operasi tertentu memerlukan posisi yang dapat menyulitkan pemantauan, seperti posisi Trendelenburg, tengkurap, atau kondisi pasien yang tertutup kain drape. [1,2]
The National Anesthesia Clinical Outcomes Registry Amerika Serikat mencatat bahwa insidensi henti jantung intraoperatif mencapai 5,6 kasus per 10.000 tindakan operasi. [2] Studi lain dari University of Pittsburgh memaparkan insidensi henti jantung intraoperatif yang membutuhkan Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah sebesar 1,1 kasus per 10.000 tindakan operasi. [1]
Faktor Pencetus Henti Jantung Intraoperatif
Henti jantung intraoperatif merupakan salah satu risiko proses anestesi dan tindakan operatif, terutama pasien yang menjalani tindakan operasi dengan general anesthesia. Henti jantung intraoperatif memiliki faktor pencetus yang berbeda dengan faktor pencetus henti jantung pada umumnya. Kondisi ini erat kaitannya dengan penyulit praoperasi yang dimiliki penderita misalnya penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, obesitas dan kondisi lain yang dapat menjadi penyulit proses pembedahan dan tindakan anestesi.
Faktor lain yang mempengaruhi adalah prosedur operasi, teknik operator, dan obat yang digunakan saat prosedur anestesi. Beberapa hal yang dapat menyebabkan henti jantung saat operasi misalnya reaksi anafilaksis terhadap obat anestesi, toksisitas akibat obat anestesi, dan kehilangan darah akibat tindakan operasi.
Sebuah studi menyatakan terdapat 16 kondisi mendasar (8T dan 8H) yang menyebabkan henti jantung intraoperatif, yaitu :
- 8 T : toksin, tension pneumothorax, thrombosis atau emboli paru, thrombosis pembuluh darah koroner, tamponade jantung, trauma, pemanjangan interval QT, dan hipertensi pulmonal
- 8 H : Hipoksia, hipovolemia, hiper/hipokalemia, hidrogen meningkat (acidemia), hipotermia, hipoglikemia, hipertermia maligna, dan reaksi hipervagal [3,4]
Manajemen Henti Jantung Intraoperatif
Identifikasi dan penanganan henti jantung intraoperatif lebih sulit dibandingkan henti jantung pada kondisi lain. Meskipun demikian, terdapat beberapa parameter yang dapat menuntun dokter untuk mengenali tanda-tanda awal, yaitu :
- Kelainan EKG dengan pulseless : ventricular tachycardia (VT), ventricular fibrilation (VF), bradikardia, dan asistol
- Hilangnya nadi karotis selama > 10 detik
- Hilangnya end tidal CO2 pada kapnografi
- Hilangnya jalur arteri (arterial line)
- Hilangnya bentukan gelombang pada pulse oximeter [5]
Mengingat hampir seluruh tanda henti jantung intraoperatif dapat diamati pada monitor, maka pemantauan terhadap monitor sejak saat prosedur anestesi dimulai sampai dengan selesai sangat penting. Identifikasi lebih dini krusial agar pasien dapat segera memperoleh tindakan penyelamatan. [2]
Tindakan
Tindakan penyelamatan atau resusitasi pada henti jantung intraoperatif meliputi RJP untuk irama yang unshockable (asistol dan Premature Electrical Activity), defibrilasi untuk irama yang shockable, serta pemberian obat inotropik.
Penilaian terhadap kualitas RJP atau tindakan defibrilasi pada henti jantung intraoperatif tidak dilakukan melalui perabaan nadi karotis seperti henti jantung pada umumnya, melainkan dengan melakukan pengamatan terhadap end tidal CO2 oleh dokter anestesi yang terlibat. [3] Peningkatan end-tidal CO2 hingga mencapai > 20 mmHg meningkatkan kemungkinan terjadinya ROSC (Return of Spontaneous Circulation). [1]
Selain itu, pengamatan pada tekanan darah diastol pada jalur arterial (arterial line/catheter) dan central venous pressure (CVP) juga dapat membantu dokter anestesi untuk menentukan probabilitas ROSC (return of spontaneous circulation). Sebuah studi menyatakan bahwa tekanan darah diastol di jalur arterial yang mencapai 40 mmHg meningkatkan kemungkinan seorang pasien untuk mengalami ROSC. CPP (coronary perfusion pressure) yang dihasilkan dari pengurangan tekanan diastol dari kateter arterial dengan CVP juga dapat menjadi prediktor yang baik. Nilai CPP (coronary perfusion pressure) sebesar 15 mmHg atau lebih merupakan prediktor keberhasilan tindakan resusitasi. [1]
Dalam upaya penyelamatan di ruang operasi, setiap personel baik dokter anestesi, dokter bedah, perawat instrumen, sampai dengan perawat in loop (perawat yang tidak steril) memiliki peran masing-masing dan saling bekerjasama. Dokter anestesi memimpin proses resusitasi dan menginstruksikan pemberian obat-obatan selama proses resusitasi berlangsung dibantu dengan perawat anestesi, sedangkan dokter bedah harus menghentikan seluruh tindakan bedah yang sedang dilakukan. Perawat instrumen bertugas menjaga area operasi tetap steril sedangkan perawat in loop bertugas menyiapkan alat atau obat yang diperlukan selama tindakan penyelamatan. [5]
Sebuah studi menunjukkan bahwa peluang ROSC dan kesintasan pasien pasca resusitasi pada kejadian henti jantung intraoperatif cukup besar bila dibandingkan dengan peluang ROSC pada henti jantung umumnya, yakni berkisar 32-55,7%. [6] Studi lain menyebutkan peluang kesintasan pasien pasca ROSC henti jantung intraoperatif mencapai 34,5% dimana ini lebih tinggi dari persentase peluang hidup pasien pasca ROSC dari kejadian henti jantung pada umumnya. Data di Inggris bahkan menyebutkan bahwa pasien yang mengalami henti jantung intraoperatif dan kemudian berhasil ROSC memiliki peluang hidup berkisar 70-80%. [1]
Kesimpulan
Henti jantung intraoperatif merupakan salah satu risiko proses anestesi dan pembedahan, terutama pasien yang menjalani tindakan operasi dengan general anesthesia. Kondisi ini erat kaitannya dengan penyulit pra-operatif yang dimiliki penderita misalnya penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, obesitas dan beberapa kondisi lainnya yang dapat menjadi penyulit pada proses pembedahan dan tindakan anestesi yang akan dilakukan.
Pengenalan dini terhadap tanda-tanda henti jantung intraoperatif dapat dilakukan dengan pemantauan tanda vital dan beberapa parameter lain seperti end-tidal CO2, CVP (central venous pressure), CPP (coronary perfusion pressure), dan tekanan diastolik pada kateter arterial sejak pemberian anestesi hingga berakhirnya tindakan operasi.
Tindakan penyelamatan berupa resusitasi jantung paru (RJP), defibrilasi, dan pemberian obat inotropik sesuai algoritma resusitasi henti jantung. Kerjasama yang baik antara dokter anestesi, dokter bedah, dan seluruh perawat yang bertugas di ruang operasi juga mendukung terjadinya ROSC (return of spontaneous circulation).