Tata laksana ketoasidosis diabetik (KAD) pada pasien gagal jantung dan gagal ginjal boleh dibilang kompleks. Pada pasien KAD tanpa komorbiditas gagal jantung dan gagal ginjal, tata laksana utamanya adalah resusitasi cairan intensif. Tetapi, jika pasien KAD memiliki komorbiditas gagal jantung atau gagal ginjal, risiko overload cairan menjadi meningkat dan bisa memperburuk kondisi pasien.
KAD adalah salah satu komplikasi akut dari diabetes mellitus yang bisa berujung fatal. Sekitar 14% pasien diabetes yang masuk rumah sakit mengalami ketoasidosis diabetik. Angka mortalitas KAD berkisar 0,2-2%. Pasien KAD yang memiliki komorbiditas, termasuk gagal jantung dan gagal ginjal, memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak memiliki komorbiditas ini.[1,2]
Masalah Terkait Tata Laksana Ketoasidosis Diabetik pada Gagal Ginjal dan Gagal Jantung
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut pada pasien diabetes mellitus tipe 1 dan diabetes mellitus tipe 2. KAD didiagnosis apabila pasien mengalami asidosis metabolik, ditemukan benda keton pada darah, dan kadar glukosa darah tinggi, umumnya > 250 mg/dL. Tata laksana KAD mencakup resusitasi cairan, pemberian insulin untuk perbaikan asidosis akibat ketosis, dan koreksi elektrolit terutama kalium.
Resusitasi cairan merupakan tata laksana awal yang paling penting. Tujuan pemberian cairan adalah untuk mengembalikan volume sirkulasi, membuang badan keton, serta untuk mengoreksi gangguan elektrolit.[1-3]
Pada pasien dewasa dengan fungsi ginjal yang normal dan sudah dipastikan tidak mengalami gagal jantung, pemberian cairan salin normal dapat dilakukan secara cepat. Pada 1 jam pertama, biasanya cairan salin normal diberikan sebanyak 1-1,5 L, sembari dilakukan pemantauan tanda vital dan parameter laboratorium pada pasien. Ada juga literatur yang lebih menyarankan cairan Ringer laktat.[1-3]
Sayangnya, protokol tata laksana dengan pemberian cairan secara agresif perlu digunakan secara hati-hati pada pasien dengan gagal ginjal dan gagal jantung. Pada populasi ini, pemberian cairan yang terlalu cepat diduga dapat meningkatkan risiko overload yang bisa memperberat kerja ginjal dan jantung ataupun memperparah ketidakseimbangan elektrolit. [4,5]
Hingga saat ini, belum ada konsensus spesifik terkait tata laksana pasien KAD yang juga memiliki gagal ginjal dan gagal jantung. Beberapa panduan klinis menyarankan pemberian cairan dilakukan secara hati-hati, dan disertai dengan pemberian insulin, koreksi elektrolit, dan perawatan di high care unit.[4]
Manajemen Ketoasidosis Diabetik pada Gagal Jantung
Secara patofisiologi, diabetes mellitus dan gagal jantung memiliki hubungan yang kompleks. Hiperglikemia dapat mempengaruhi fungsi endotel, neuropati diabetik bisa menyebabkan gangguan fungsi autonom jantung, dan gangguan metabolisme glukosa pada otot jantung bisa mengurangi kontraktilitas. Sementara itu, diuretik yang sering diberikan pada gagal jantung telah dilaporkan mempengaruhi kadar gula darah, penggunaan obat penyekat beta juga dilaporkan menurunkan kontrol glikemik, dan berbagai obat antidiabetes dilaporkan dapat meningkatkan retensi cairan. Kesemua hal ini akan berkontribusi pada meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas pasien.[4]
Saat asesmen, dokter perlu menanyakan riwayat penyakit dan pengobatan pasien untuk mengidentifikasi faktor penyebab dan kemungkinan adanya dekompensasi jantung. Dokter juga perlu melakukan pemeriksaan EKG dan echocardiography, serta pemeriksaan laboratorium atau pencitraan lain sesuai indikasi.
Pasien gagal jantung dapat mengalami edema perifer dan hal ini tidak merefleksikan volume intravaskular. Selama kondisi hiperglikemia, pasien biasanya mengalami deplesi cairan intravaskular, sedangkan area perifer mengalami kelebihan. Oleh karena itu, pemeriksaan perlu dilakukan secara seksama, mencakup status hemodinamik, tekanan darah, tekanan arteri rerata, urine output, status mental, capillary refill time, tekanan vena jugularis, dan adanya tanda kongesti paru.[3,4,6]
Penatalaksanaan
Berbeda dengan pasien yang tidak mengalami gangguan fungsi jantung, pasien gagal jantung cenderung meretensi cairan apabila volume yang diberikan berlebihan. Oleh karena itu, pedoman tata laksana ketoasidosis diabetik (KAD) oleh Joint British Diabetes Societies Inpatient Care Group menyarankan terapi cairan dilakukan secara hati-hati, dan sebaiknya dipandu dengan pengukuran tekanan vena sentral jika memungkinkan.
Hingga kini belum ada konsensus terkait jumlah cairan dan kecepatan pemberian yang disarankan untuk kasus KAD pada pasien dengan komorbiditas gagal jantung. Dokter bisa mencoba memberikan cairan salin normal sebanyak 1-1,5 L dalam 1-2 jam, sambil melakukan pemantauan klinis dan laboratorium secara ketat. Pada populasi ini, overload cairan akan meningkatkan risiko terjadinya distres napas dan edema serebri. Sesuaikan jumlah dan kecepatan pemberian cairan dengan respon klinis masing-masing pasien.
Pada pasien dengan gagal jantung kongestif, cairan intravena bisa ditambahkan dengan kalium fosfat sebanyak 20-30 mEq. Hal ini dilakukan karena kadar fosfat sering kali menurun selama tata laksana akibat perpindahan fosfat ke intrasel. Penurunan kadar fosfat darah berhubungan dengan kejadian rhabdomyolisis, hemolisis, dan gagal napas.
Pemberian insulin dilakukan sama dengan protokol tata laksana KAD umumnya, yaitu insulin bolus 0,1 U/kg dan infus insulin berkelanjutan 0,1 U/kg/jam. Lakukan pemantauan kadar glukosa setiap jam, serta pemantauan kadar pH dan (jika tersedia) keton darah setiap 4 jam, untuk menilai apakah perlu penyesuaian dosis insulin. Apabila glukosa darah sudah mencapai target normal namun asidosis belum teratasi, cairan dapat diganti dengan dextrose 10-20%.
Pasien KAD mengalami peningkatan risiko kejadian tromboemboli karena kondisi hiperviskositas darah. Jika pasien memiliki komorbiditas gagal jantung, risiko ini semakin meningkat karena adanya gangguan cardiac output. Profilaksis tromboemboli sebaiknya diberikan pada populasi ini, kecuali jika ada kontraindikasi.[3,4,6-8]
Manajemen Ketoasidosis Diabetik pada Gagal Ginjal
Ketoasidosis diabetik (KAD) pada pasien dengan gagal ginjal sulit didiagnosis. Pasien gagal ginjal sering kali sudah mengalami asidosis metabolik atau gangguan keseimbangan asam-basa, sehingga kriteria diagnosis pada pasien KAD biasa tidak cukup akurat untuk mendeteksi adanya KAD pada pasien dengan komorbiditas gagal ginjal. Pada populasi ini, anion gap > 20 dapat membantu penegakan diagnosis.
Leukositosis dapat ditemukan, tetapi tidak selalu mengindikasikan proses infeksi karena leukositosis pada KAD dapat terjadi akibat peningkatan kortisol dan norepinefrin.
Kadar natrium serum umumnya rendah akibat proses osmotik pada keadaan hiperglikemia. Kadar natrium yang normal atau tinggi sering kali berhubungan dengan dehidrasi berat. Pada pasien dengan gagal ginjal juga dapat terjadi hiperkalemia.[5,9]
Penatalaksanaan
Pasien ketoasidosis diabetik (KAD) dengan end stage renal disease lebih jarang mengalami masalah kekurangan volume. Pada kebanyakan kasus, terjadi ekspansi volume ekstraseluler baseline akibat hiperglikemia. Hal ini bisa menyebabkan dyspnea, mual, muntah, kejang, dan penurunan kesadaran.
Pada pasien yang oliguria, pemberian cairan sesuai protokol tata laksana KAD umum bisa mempresipitasi terjadinya edema paru berat. Oleh karenanya, pemberian resusitasi cairan pada populasi ini harus didasarkan pada bukti klinis dan laboratorium yang memadai. Apabila dilakukan resusitasi cairan, pemantauan respon klinis pasien diperlukan dan sebaiknya menggunakan akses vena sentral. Jika muncul tanda dan gejala overload, segera lakukan hemodialisis.
Resusitasi cairan bisa diberikan dengan bolus 250-500 ml cairan salin normal sambil dilakukan evaluasi berkala. Pengulangan bolus cairan dilakukan berdasarkan status hemodinamik dan respon masing-masing pasien.
Masalah lain yang bisa timbul adalah gagalnya kontrol metabolik. Insulin diekskresikan melalui ginjal dan tidak bisa diekskresikan melalui hemodialisis ataupun dialisis peritoneal. Pada pasien gagal ginjal, degradasi insulin juga menjadi lebih lambat. Semua hal ini meningkatkan risiko terjadinya hiperinsulinemia yang bisa mengakibatkan hipoglikemia yang berat dan berkepanjangan. Berikan insulin secara hati-hati, dapat dimulai dengan dosis 0,05-0,07 U/kg/jam. Target tata laksana adalah penurunan kadar keton plasma 0,5 mmol/jam, bikarbonat 3 mmol/jam, dan glukosa darah 50-75 mg/dl/jam.
Pada pasien anuria, dapat terjadi asidosis metabolik yang berat. Namun, pemberian bikarbonat tidak direkomendasikan untuk mengoreksi asidosis, karena bukti ilmiah menunjukkan tidak ada manfaat yang signifikan. Pada keadaan ini, tata laksana yang direkomendasikan adalah hemodialisis.
Ekskresi kalium juga sering kali terganggu pada kondisi gagal ginjal. Oleh karenanya, pemberian suplementasi kalium pada populasi ini bisa mengakibatkan hiperkalemia yang mengancam nyawa. Bila dibutuhkan, koreksi kalium dapat dilakukan setelah koreksi asidosis dan harus didasarkan pada bukti klinis dan laboratorium yang adekuat.[5,9-11]
Kesimpulan
Penggunaan protokol tata laksana ketoasidosis diabetik (KAD) tidak bisa disamaratakan pada semua pasien, apalagi jika pasien memiliki komorbiditas. Protokol KAD umum dapat berbahaya pada pasien yang memiliki komorbiditas gagal jantung dan gagal ginjal, karena bisa terjadi kelebihan cairan dan berbagai masalah metabolik lain. Pada populasi ini, pemberian cairan, insulin, penggantian kalium, dan manajemen lain harus disesuaikan dengan respon masing-masing pasien (tailored therapy). Apabila memungkinkan, pemantauan kebutuhan cairan sebaiknya dilakukan menggunakan akses sentral.
Pada pasien dengan gagal jantung, cairan intravena sebaiknya ditambahkan fosfat untuk mencegah hipofosfatemia. Insulin dapat diberikan sesuai protokol tata laksana KAD secara umum. Selain itu, perlu juga diberikan profilaksis tromboemboli jika tidak ada kontraindikasi.
Pada pasien gagal ginjal yang mengalami KAD, pemberian insulin berisiko menimbulkan hiperinsulinemia yang dapat berujung pada hipoglikemia berat yang lama. Pemberian bikarbonat tidak direkomendasikan walaupun terjadi asidosis metabolik yang berat. Koreksi kalium juga perlu dilakukan hati-hati karena bisa terjadi hiperkalemia yang mengancam nyawa. Sering kali, hemodialisis adalah cara terbaik menangani asidosis pada populasi pasien ini.