Sebagian obat yang dapat mengeksaserbasi atau memperparah kondisi gagal jantung ternyata sering diresepkan pada pasien gagal jantung. Kenali dan waspadai daftar obat yang termasuk dalam kategori ini, misalnya obat antiinflamasi nonsteroid seperti celecoxib dan ibuprofen; antidiabetes seperti pioglitazone dan sitagliptin; dan antihipertensi seperti diltiazem dan verapamil.
Gagal jantung masih menjadi penyakit yang sering didiagnosis pada pasien di atas 65 tahun. Biaya untuk pengobatan gagal jantung di Amerika sebesar 31 juta dolar dan diperkirakan meningkat mencapai 53 juta dolar pada tahun 2030.[1]
Perawatan di rumah sakit untuk gagal jantung merupakan bagian terbesar dari biaya tersebut. Pencegahan terhadap interaksi obat-obatan yang digunakan dan obat-obatan yang dapat menyebabkan toksisitas miokardium akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit dan selanjutnya akan mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Polifarmasi pada Pasien Gagal Jantung
Pasien dengan gagal jantung biasanya memiliki beban pengobatan yang tinggi yang terdiri dari penggunaan beberapa jenis obat dan regimen dosis yang kompleks sehingga rentan terjadi interaksi obat. Rata-rata pasien gagal jantung mendapat 6,8 resep obat-obatan per hari, dengan dosis 10,1 dosis per hari. Estimasi dosis ini belum termasuk penggunaan obat-obatan bebas atau obat-obatan alternatif.[2]
Sindrom gagal jantung diikuti oleh spektrum luas dari komorbid kardiovaskular dan nonkardiovaskular. Penelitian Wong et al. menemukan bahwa proporsi pasien gagal jantung dengan lebih dari 5 komorbid meningkat dari 42,1% pada periode 1988 sampai 1994 menjadi 58% pada periode 2003 sampai 2008. Dari penelitian ini komorbid nonkardiovaskular yang paling sering ditemukan adalah sebagai berikut:
Osteoartritis (62%)
Obesitas (46,8%)
Penyakit ginjal kronis (45,9%)
Diabetes mellitus (38,3%)
Peningkatan komorbid nonkardiovaskular meningkatkan jumlah obat yang dikonsumsi, biaya pengobatan dan kompleksitas juga menjadi meningkat.[2,3]
Risiko Penggunaan Obat pada Gagal Jantung
Obat-obatan yang memiliki efek inotropik negatif, lusitropik, atau kronotropik dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gagal jantung dengan menimbulkan toksisitas secara langsung pada miokardia. Mekanisme lain dapat terjadi melalui eksaserbasi hipertensi, dengan memberikan beban natrium yang tinggi atau akibat interaksi obat yang mencegah efek menguntungkan dari pengobatan gagal jantung.
Hal yang perlu diwaspadai adalah sebagian di antara obat yang dapat menyebabkan toksisitas miokardia ini ternyata umum digunakan pada pasien gagal jantung. Dokter harus mengetahui mengenai obat-obatan sehingga dapat mempertimbangkan alternatif obat lain atau menyesuaikan obat sesuai kondisi pasien.[4]
Antiinflamasi Nonsteroid
Obat antiinflamasi nonsteroid seperti ibuprofen atau diklofenak mempunyai potensi untuk mencetuskan gagal jantung melalui mekanisme retensi air dan natrium, meningkatkan resistensi vaskular dan membuat respons terhadap diuretik menjadi rendah.[5]
Penelitian Rotterdam pada pasien dengan penyakit gagal jantung sebelumnya yang mendapat resep obat anti inflamasi nonsteroid sejak didiagnosis gagal jantung menemukan adanya peningkatan risiko rekurensi hingga 10 kali lipat.[6]
Hal ini didukung oleh studi lainnya yang menemukan adanya peningkatan angka kejadian hospitalisasi untuk pertama kali karena gagal jantung pada pengguna obat antiinflamasi nonsteroid. Hal ini tidak bergantung pada lamanya penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid tetapi bergantung pada besarnya dosis obat yang digunakan.[7]
Penelitian yang dilakukan Gislason et al. mendapatkan adanya peningkatan risiko dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung dan infark miokard, serta peningkatan risiko mortalitas yang berhubungan dengan dosis (dose-dependent) pada penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid. Peningkatan risiko ini terjadi baik pada penggunaan obat antiinflamasi golongan COX-2 selective inhibitor seperti rofecoxib dan celecoxib maupun pada penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid tradisional seperti ibuprofen atau diklofenak.[8]
Berdasarkan studi-studi tersebut, American Heart Association (AHA) merekomendasikan bahwa obat-obatan antiinflamasi nonsteroid harus dihindari ataupun dihentikan pada pasien gagal jantung.[9]
Obat Antidiabetes
Obat antidiabetes yang perlu diwaspadai pada pasien gagal jantung adalah obat golongan thiazolidinedion seperti pioglitazone atau dipeptidyl peptidase-4 inhibitors seperti sitagliptin.
Thiazolidinedion
Thiazolidinedion, misalnya rosiglitazone atau pioglitazone, adalah aktivator proliferator reseptor gamma agonis yang memodulasi transkripsi dari gen sensitif insulin yang terlibat pada kontrol metabolisme glukosa dan lipid pada jaringan adiposa, otot dan hati. Data dari penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan edema dan peningkatan berat badan pada pasien yang mendapatkan thiazolidinedion pada pasien dengan penyakit jantung sebelumnya dan tidak ada riwayat gagal jantung.[14]
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan untuk tidak menggunakan thiazolidinedion pada pasien dengan gejala gagal jantung.[12]
Dipeptidyl Peptidase-4 Inhibitors
Dipeptidyl peptidase-4 inhibitors seperti sitagliptin, saxagliptin, alogliptin, dan linagliptin merupakan generasi terbaru dari obat antidiabetes yang berikatan secara reversibel dengan enzim dipeptidyl peptidase, sehingga mencegah degradasi endogen pelepasan hormon inkretin, isulinotropik polipeptida bergantung glukosa dan peptida 1 seperti glukagon, yang akan meningkatkan pelepasan insulin dan menurunkan glukagon.[15]
Sebuah meta analisis mengenai uji acak dari vildagliptin, sitagliptin, saxagliptin, alogliptin, linagliptin, dan dutogliptin mendapatkan peningkatan risiko gagal jantung akut pada pasien yang menggunakan obat-obatan tersebut.[16]
Metformin Tidak Terbukti Memperparah atau Mengeksaserbasi Gagal Jantung
Metformin dahulu dikontraindikasikan pada gagal jantung karena ketakutan akan terjadinya asidosis laktat. Walau demikian, hal ini dibantah oleh studi yang ada yang menyatakan bahwa risiko asidosis laktat pada penggunaan metformin adalah minimal. Selain itu, penggunaan metformin pada pengguna gagal jantung juga tidak berbahaya dan justru terbukti bermanfaat menurunkan angka mortalitas.[10,11]
ADA pada tahun 2016 merekomendasikan bahwa metformin dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung stabil jika fungsi ginjalnya normal (eGFR >60ml/menit/1,73 m2) tetapi harus dihindarkan pada pasien gagal jantung yang sedang dirawat di rumah sakit atau tidak stabil.[12] FDA pada tahun 2016 mempublikasikan metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan fungsi ginjal < 30 ml/menit/1,73m2.[13]
Obat Antihipertensi
Obat antihipertensi yang dapat memperparah kondisi gagal jantung adalah obat golongan penyekat alfa (α1-blockers), calcium channel blockers, dan agonis α2 adrenergik sentral.
α1-Blockers
Penyekat alfa seperti prazosin dan doxazosin mencegah reseptor α1-adrenergik di post sinaps dan relaksasi dari otot polos yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi. Obat-obatan ini awalnya digunakan untuk manajemen hipertensi tetapi sekarang lebih digunakan untuk pengobatan hipertrofi prostat jinak.
Pada penelitian ALLTHAT (Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial), risiko terjadinya gagal jantung meningkat 2 kali lipat pada pasien yang mendapat doxasozin dibandingkan dengan klortalidon.
Beberapa alasan terjadi peningkatan gagal jantung pada penggunaan doxasozin termasuk kesalahan diagnosis dari edema karena vasodilatasi, penurunan tekanan darah yang hanya sedikit dan efek unmasking dari penghentian obat-obatan antihipertensi lain yang memiliki efek proteksi terhadap gagal jantung.[17,18]
Agonis Penyekat α Adrenergik Sentral
Peningkatan aktivitas adrenergik simpatik pada pasien gagal jantung berhubungan dengan dengan peningkatan angka mortalitas. Agonis α2 adrenergik sentral seperti klonidin dan moxonidin menurunkan aliran simpatetik dan menurunkan konsentrasi norepinefrin plasma dan tekanan darah. Hal ini berhubungan dengan peningkatan tingkat mortalitas pada pasien gagal jantung.
Pada percobaan kecil, klonidin memiliki efek hemodinamik yang menguntungkan. Moxonidin juga diketahui menyebabkan left ventricle reverse remodeling. Walau demikian, manfaat ini tidak melebihi risiko dari penggunaannya sehingga penggunaan agonis α2 adrenergik sentral tetap tidak disarankan untuk pasien gagal jantung. [21]
Calcium Channel Blockers atau Antagonis Kanal Kalsium
Antagonis kanal kalsium merupakan salah satu obat antihipertensi yang umum digunakan dan sering kali lupa dihentikan saat pasien mengalami gagal jantung, terutama pada gagal jantung dengan ejeksi fraksi yang menurun.[19,20]
Antagonis kanal kalsium, baik dihidropiridin seperti nifedipine dan amlodipine maupun nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil, memiliki efek inotropik negatif dan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel kardiak dan otot polos vaskular.[19] Efek negatif tersebut dapat mencetuskan acute decompensated heart failure melalui penurunan cardiac output dan peningkatan mekanisme kompensasi jantung untuk meningkatkan kontraktilitas otot jantung.[20]
Antagonis kanal kalsium dihidropiridin memiliki efek inotropik negatif melalui pengaruhnya pada otot polos vaskular dan dapat memperlambat konduksi kardiak tanpa efek kronotropik. Efek inotropik negatif tersebut dapat memicu eksaserbasi pada gagal jantung kronis.[20]
Antagonis kanal kalsium masih memiliki tempat pada terapi gagal jantung dengan ejeksi fraksi normal atau heart failure with preserved ejection fraction karena pada penyakit tersebut terjadi gangguan pengisian diastolik.[20]
Obat Lainnya
Terdapat juga obat lainnya yang dapat memperparah kondisi gagal jantung, yaitu obat antifungal seperti ketoconazole dan amfoterisin; dan cilostazol.
Antifungal
Penggunaan antifungal dapat memengaruhi fungsi jantung. Obat golongan azole seperti itrakonazole, fluconazole, dan ketokonazole merupakan obat antifungal yang paling sering digunakan pada praktek sehari-hari. Obat golongan azole dapat secara langsung memperpanjang interval QT yang akan meningkatkan risiko terjadinya aritmia kardiak terutama pada pasien dengan gagal jantung.[22]
Amfoterisin, baik dalam bentuk sediaan deoksikolat dan liposomal juga dilaporkan oleh Nix dapat memengaruhi kondisi jantung dengan meningkatnya risiko terjadi aritmia kardiak. Selain aritmia kardiak, amfoterisin juga dapat menyebabkan kardiomiopati dilatatif. Hingga saat ini, belum ada mekanisme yang menjelaskan bagaimana kelainan kardiak itu terjadi. Namun, Nix melaporkan kejadian tersebut erat kaitannya dengan cara pemberian dan dosis pemberian amfoterisin. [22]
Cilostazol
Cilostazol adalah antitrombosit dan vasodilator yang digunakan pada pasien dengan klaudikasio intermiten untuk meningkatkan jarak pasien ketika berjalan. Cilostazol meningkatkan detak jantung 5 sampai 7 detak per menit dan meningkatkan frekuensi terjadinya detak ventrikular prematur. Cilostazol dikontraindikasikan pada semua penderita gagal jantung.[23]
Kesimpulan
Gagal jantung merupakan suatu penyakit jantung tahap akhir yang sering didiagnosis, terutama pada populasi lebih dari 65 tahun. Pada pasien gagal jantung, sering dijumpai penyakit komorbid yang membuat banyaknya jenis pengobatan yang diterima oleh pasien gagal jantung. Berbagai jenis obat seperti obat antidiabetes, obat antihipertensi, obat antiinflamasi nonsteroid, obat antifungal, dan cilostazol dapat memengaruhi fungsi jantung dan beberapa di antaranya dapat meningkatkan episode perawatan di rumah sakit dan dapat menjadi faktor eksaserbasi pada pasien dengan gagal jantung. Hal ini membuat pasien gagal jantung rentan terhadap interaksi obat. Oleh karena itu, diperlukan suatu pemahaman yang komprehensif mengenai interaksi antar obat agar klinisi dapat memberikan pengobatan pada pasien gagal jantung sehingga risiko polifarmasi dapat dikurangi.