Estimated average glucose atau estimasi glukosa rata-rata akan mengonversikan poin persentase HbA1c pasien diabetes mellitus ke dalam kadar glukosa rata-rata (mg/dL). Estimated average glucose atau disingkat eAg dianggap lebih mudah dipahami pasien dibandingkan HbA1c dan penggunaannya diharapkan dapat meningkatkan kontrol glikemik pada pasien diabetes mellitus.[1,2]
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defisiensi atau resistensi insulin. Salah satu pemeriksaan untuk mengevaluasi pengendalian glukosa darah jangka panjang pada pasien diabetes adalah pengukuran HbA1c atau glycated hemoglobin. HbA1c dapat memperkirakan glukosa darah selama 2-3 bulan terakhir, serta dapat dipakai untuk memprediksi risiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular pada pasien diabetes.
Penggunaan eAG dianggap lebih memudahkan pasien memahami nilai rata-rata glukosa darah mereka dibandingkan dengan HbA1c karena menggunakan satuan yang sama dengan pemantauan glukosa mandiri yang dilakukan pasien sehari-hari.[1,3,4]
Membandingkan HbA1c dan Estimated Average Glucose (eAG)
Hasil HbA1c tertera dalam satuan persen, menunjukkan persentase glycated hemoglobin dan mencerminkan pengendalian glukosa darah pada pasien diabetes mellitus selama beberapa bulan terakhir. Sementara itu, kadar glukosa darah tertera dalam satuan miligram per desiliter (mg/dL) dan digunakan pasien untuk pemantauan harian.
Perbedaan satuan yang digunakan antara HbA1c dan kadar glukosa darah ini sering menjadi hambatan bagi pasien dalam memahami keberhasilan terapi dan kontrol glikemik. Oleh karena itu, dibuat rumus matematik untuk mengonversi hasil HbA1c menjadi estimated average glucose (eAG).
Dengan menggunakan eAG, hasil HbA1c dapat dilaporkan pada pasien dalam satuan yang sudah familiar bagi mereka, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kontrol glikemik pasien. Pendekatan ini juga telah diadopsi oleh American Diabetes Association (ADA).[1,2,5]
Menghitung Estimated Average Glucose (eAG)
Estimated average glucose (eAG) dihitung menggunakan rumus persamaan regresi yang disusun oleh kelompok studi A1c-derived Average Glucose (ADAG).[6]
Berikut ini rumus yang digunakan untuk menghitung eAG:
EAG = (HbA1c*28.7) - 46,7
Kondisi dimana Estimated Average Glucose (eAG) Tidak Dapat Digunakan
Sebuah studi pada 89 wanita hamil dengan diabetes mellitus tipe 1 dan 28 wanita hamil dengan diabetes mellitus tipe 2 menunjukkan bahwa konversi HbA1c ke estimated average glucose (eAG) terganggu selama kehamilan. Oleh karenanya, penghitungan eAG standar tidak dapat digunakan untuk wanita hamil dan dibutuhkan studi lanjutan untuk menentukan eAG pada populasi ibu hamil. [7]
eAG juga sebaiknya tidak digunakan pada individu yang memiliki kondisi yang dapat mengganggu akurasi dari nilai HbA1c. Kondisi yang dimaksud antara lain anemia hemolitik, gangguan ginjal, dan gangguan hepar.[8]
Bukti Ilmiah Terkait Estimated Average Glucose dan Kegunaannya Secara Klinis
Studi menunjukkan bahwa memahami pengendalian glukosa darah akan meningkatkan kontrol glikemik pada pasien diabetes. Meskipun demikian, masih terdapat perdebatan mengenai estimated average glucose (eAG) karena belum ada cukup bukti untuk merekomendasikan atau melarang penggunaan eAG dalam praktik sehari-hari.[2,5]
Sebuah studi retrospektif meneliti manfaat eAG dalam perbaikan kontrol glikemik dan penurunan risiko kardiovaskular pada pasien diabetes. Studi tersebut mengevaluasi data 838.407 nilai HbA1c dan 612.314 nilai kolesterol LDL di New Brunswick Diabetes Registry Kanada dari 2008 hingga 2014. S
tudi tersebut membandingkan nilai HbA1c dan LDL sebelum dan sesudah konsep eAG mulai diperkenalkan di area tersebut, yakni pada Januari 2010. Hasilnya menunjukkan bahwa implementasi eAG tidak menimbulkan perbedaan signifikan pada kontrol glikemik dan risiko kardiovaskular.[2]
Studi oleh Walia et al menyebutkan bahwa meskipun kegunaan klinis eAG masih belum jelas, eAG tetap disarankan untuk dicantumkan bersama dengan hasil HbA1c pasien. Diharapkan dengan demikian pasien dapat lebih memahami keberhasilan kontrol glikemiknya.[5]
Studi oleh Chalew et al meneliti presisi antara eAG dan mean blood glucose (MBG) pada 150 pasien diabetes anak di New Orleans dan data 1440 partisipan di Diabetes Control and Complications Trial (DCCT). MBG pasien di New Orleans diukur dari rata-rata glukosa darah self monitoring pasien selama 3 bulan sebelum pemeriksaan HbA1c.
Pada partisipan DCCT, MBG dihitung dari 7 set sampel profil glukosa yang diserahkan setiap 3 bulan. Analisis tersebut menunjukkan terdapat selisih cukup signifikan antara MBG dan EAG, yaitu sebesar 28,7 mg/dL, dengan nilai eAG cenderung lebih besar, sehingga manajemen diabetes dengan hanya mengandalkan eAG dapat meningkatkan frekuensi episode hipoglikemia.[6]
Kesimpulan
HbA1c merupakan pemeriksaan penunjang yang menilai persentase glycated hemoglobin dan dapat menunjukkan baik-buruknya kontrol glikemik pada pasien diabetes selama 2-3 bulan terakhir.
Namun, HbA1c dilaporkan dalam satuan persen yang berbeda dengan satuan hasil pengukuran kadar gula darah harian yang banyak digunakan pasien (mg/dl), sehingga dapat menyulitkan pasien memahami makna dari hasil HbA1c. Oleh karena itu, untuk memudahkan pasien, telah dibuat rumus matematik untuk mengonversi nilai HbA1c menjadi estimated average glucose (eAG) dalam mg/dL.
Meski demikian, masih terdapat perdebatan mengenai perlunya pencantuman estimated average glucose (eAG) di samping hasil HbA1c. Terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa eAG tidak memengaruhi kontrol glikemik dan dapat meningkatkan risiko hipoglikemia. Oleh sebab itu, dalam evaluasi pasien diabetes mellitus, HbA1c dan eAG tetap tidak dapat dipisahkan dari laporan kadar glukosa darah self monitoring pasien.