Miopia kontrol merupakan intervensi yang dilakukan untuk mengurangi progresifitas miopia pada anak, di antaranya dengan penggunaan kacamata bifokal dan kacamata progressive addition lens (PAL). Miopia menjadi masalah di masyarakat karena prevalensinya yang tinggi dan semakin meningkat. Saat ini, miopia mengenai hampir 30% populasi dunia dan menjadi gangguan refraksi tersering pada anak dan remaja di seluruh dunia. Diperkirakan terdapat 3,36 miliar orang menderita miopia pada tahun 2030 di seluruh dunia, dengan 15% diantaranya menderita high myopia.[1,2]
Penanganan Miopia Tidak Dapat Disepelekan
Sekitar 25% high myopia dapat berkembang menjadi gangguan refraksi yang patologis dan berpotensi mengakibatkan kebutaan. Selain faktor genetik, peranan lingkungan sangat penting terhadap progresifitas miopia. Maraknya penggunaan gawai pada anak akhir-akhir ini, ditambah berkurangnya kegiatan outdoor, diperkirakan dapat memicu progresifitas miopia.[2,3]
Miopia sudah tidak dapat lagi dianggap sebagai penyakit ringan, penggunaan kacamata saja tidak cukup. Jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan kebutaan ireversibel, sehingga penanganan miopia tidak dapat disepelekan.[2,3]
Sejak 30 tahun silam, peneliti melakukan berbagai macam studi untuk memperlambat progresifitas miopia. Namun, hingga saat ini belum ada suatu intervensi yang secara pasti dapat menghilangkan progresifitas miopia. Beberapa intervensi dikatakan dapat mengurangi progresifitas miopia, walaupun tidak dapat diaplikasikan pada semua pasien, di antaranya adalah penggunaan kacamata bifokal atau progressive addition lens (PAL), lensa kontak multifokal atau orthokeratologi, serta obat tetes mata. Intervensi tersebut harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak.[1,10]
Penyebab Progresifitas Miopia pada Anak
Miopia yang terjadi pada usia anak-anak cenderung mengalami progresifitas hingga usia 15−16 tahun. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan panjang bola mata, atau karena hyperopic defocus.
Pertumbuhan Panjang Bola Mata
Ukuran bola mata secara fungsional akan ikut bertambah setiap tahunnya, mengikuti pertumbuhan tubuh anak. Perpanjangan bola mata ini akan diikuti dengan kenaikan refraktif error (RE) atau ukuran minus pada miopia. Penambahan RE yang di anggap masih dalam batas normal adalah sebesar 1,14 D (dioptri) dalam 2 tahun, atau sekitar 0,5 D per tahun. Bila terdapat kenaikan lebih dari 0,5 D per tahun, maka perlu dilakukan intervensi lebih lanjut.[4,6]
Hyperopic Defocus
Hyperopic defocus adalah kondisi buramnya area retina akibat bayangan konjugat jatuh di belakang retina. Buramnya suatu area retina merupakan stimulus terhadap elongasi/perpanjangan axial length untuk mengikuti jatuhnya bayangan konjugat tersebut, yaitu dibelakang retina. Kondisi ini menyebabkan bola mata menjadi lebih panjang dan terjadi peningkatan RE.[3,7,8]
Kondisi hyperopic defocus terjadi pada pasien miopia yang mengalami akomodasi lensa, misalnya saat banyak melihat dekat. Kondisi sebaliknya terjadi pada myopic defocus, yaitu bayangan konjugat jatuh di depan retina, sehingga dapat menghambat penambahan axial length bola mata.[3,7,8]
Kapan Seorang Anak Memerlukan Miopia Kontrol?
Setiap anak yang memiliki refraksi sikloplegik ≤ -0,50 D harus segera memulai terapi miopia kontrol. Terapi yang dipilih disesuaikan dengan keadaan pasien dan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia. Kacamata single vision lens (SVL) menjadi salah satu pilihan awal dalam terapi miopia, karena penglihatan menjadi lebih jelas dan hampir tidak ada efek samping. Namun, bila pasien mengalami progresifitas miopia lebih dari 0,5 D per tahun, maka seharusnya kacamata SVL tidak lagi menjadi pilihan.[2,6,9]
Studi terdahulu menyatakan bahwa penggunaan kacamata SVL pada anak tidak dapat mengurangi progresivitas miopia. Wildsoet et al melaporkan bahwa terdapat sejumlah studi yang menunjukkan adanya peripheral hyperopia defocus pada mata miopia yang menggunakan kacamata SVL. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, hyperopia defocus merupakan salah satu faktor terjadinya progresifitas miopia.[3,5-7]
Pilihan Intervensi Miopia Kontrol pada Anak
Hingga saat ini, tidak ada satu cara/instrumen terbaik yang dapat mengurangi progresivitas miopia pada anak. Selain itu, belum ada konsensus universal mengenai miopia kontrol. Miopia kontrol disesuaikan dengan kebutuhan anak berdasarkan usia, baseline miopia, tingkat progresifitas miopia berdasarkan riwayat 1 tahun sebelumnya, serta riwayat keluarga dengan miopia.[2,3]
Studi meta analisis Cochrane pada tahun 2020, melibatkan 6.772 anak dengan miopia, menunjukkan beberapa intervensi yang dapat memperlambat progresifitas miopia. Jika dibandingkan dengan penggunaan kacamata biasa, maka intervensi yang lebih baik dan memiliki moderate evidence adalah:
- Pemberian obat tetes mata antimuskarinik, seperti atropin, pirenzepine, dan cyclopentolate
- Penggunaan kacamata multifokal, baik lensa bifokal ataupun progressive addition lens (PAL)
- Penggunaan lensa kontak orthokeratologi
- Kombinasi tetes mata dan kacamata multifokal[6]
Sedangkan penggunaan lensa kontak bifokal memiliki low evidence dalam memperlambat progresifitas miopia pada anak.[6]
Obat Tetes Mata Atropin
Diantara semua intervensi yang pernah dilakukan, obat tetes mata atropin diketahui memiliki efek yang paling signifikan untuk mengurangi progresifitas miopia, yaitu sampai mencapai 70%. Intervensi ini masih jarang digunakan karena atropin memiliki efek samping berupa reaksi hipersensitivitas, fotofobia, buram saat melihat dekat, rasa perih saat digunakan, dan memiliki efek rebound myopic bila dihentikan.[2-4]
Efek samping di atas biasanya terjadi pada penggunaan atropin 1%. Jika konsentrasi atropin diturunkan menjadi 0,01%, akan mengurangi efek samping fotofobia dan buram saat melihat dekat, dengan tidak mengurangi efek miopia kontrol. Akan tetapi, atropin 0,01% masih sulit didapat, belum tersedia di Indonesia. Setelah terapi, pasien masih tetap harus menggunakan kacamata sesuai dengan kebutuhan refraksinya, tidak 100% lepas dari kacamata.[2-4]
Kacamata Bifokal dan Progressive Addition Lens (PAL)
Selain untuk gangguan presbiopi, kacamata bifokal dan PAL juga dapat digunakan untuk miopia kontrol pada anak. Kacamata bifokal adalah kacamata yang menggunakan lensa negatif pada bagian atas untuk melihat jauh, dan lensa positif pada bagian bawah untuk melihat dekat. Sedangkan kacamata PAL memiliki prinsip yang serupa dengan kacamata bifokal, tetapi zona transisinya tidak terlihat sehingga secara estetika lebih baik.[5,7,8]
Kacamata bifokal dan PAL merupakan salah satu pilihan yang aman dan banyak tersedia di Indonesia, tetapi kelemahannya adalah distorsi penglihatan saat awal pemakaian, harga yang cukup mahal, dan tingkat efektifitasnya tidak setinggi penggunaan tetes mata atropin.[2,3]
Lensa Kontak Orthokeratology
Lensa kontak orthokeratology (OK) adalah lensa kontak dengan desain khusus yang hanya dipakai saat malam hari (overnight/semalaman). Lensa OK membuat sentral kornea menjadi flat, dan dapat mengurangi miopia secara sementara. Pada pagi hari setelah pemakaian lensa OK semalaman, kornea menjadi lebih flat sehingga pasien tidak perlu menggunakan alat bantu kacamata saat beraktivitas di siang hari.[2,3]
Lensa OK memiliki efek yang cukup baik dalam memperlambat progresifitas miopia, yaitu sekitar 40−50%. Selain itu, lensa OK dapat memperlambat penambahan axial length dibandingkan dengan lensa kontak rigid gas permeable (RGP), lensa kontak single vision, dan kacamata SVL. Kelemahan dari pemakaian lensa OK adalah risiko keratitis karena digunakan semalaman, efektivitas berkurang setelah 4−5 tahun, risiko myopic rebound setelah dihentikan, serta belum banyak tersedia di Indonesia.[2,3]
Mekanisme Kacamata Bifokal dan PAL Sebagai Miopia Kontrol pada Anak
Penambahan lensa positif pada kacamata bifokal atau PAL menggunakan prinsip myopic defocus, sehingga dapat membatasi perpanjangan bola mata dan progresifitas miopia. Penggunaan kacamata bifokal pada kasus miopia progresif berdasarkan rasional mengurangi lag akomodasi. Lag akomodasi adalah respons akomodasi lensa mata yang terjadi saat pasien miopia melihat dekat.[5,7,8]
Beberapa penelitian menghubungkan lag akomodasi dengan progresifitas miopia. Wildsoet menyatakan bahwa lag akomodasi menjadi salah satu sumber hiperopic defocus. Penggunaan lensa positif akan mengurangi terjadinya lag akomodasi pada pasien miopia.[5,7,8]
Efektifitas Kacamata Bifokal
Penelitian Houston myopia Control pada tahun 1987 merupakan uji acak terkontrol pertama yang meneliti efikasi kacamata bifokal terhadap kacamata SVL pada juvenile myopia. Penelitian tersebut menyatakan bahwa setelah follow up 30 bulan, rerata progresifitas miopia pada kelompok bifokal sebesar 0,99 D dan pada kelompok SVL sebesar 1,24 D.[8,10]
Cheng et al melakukan uji acak terkontrol terhadap 135 pasien miopia anak. Uji ini membandingkan penggunaan kacamata bifokal, prisma bifokal, dan SVL terhadap progresivitas miopia. Hasil yang diperoleh adalah kelompok yang mendapat kacamata bifokal dan bifokal prisma mengalami progresifitas lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok SVL, saat follow up setelah 3 tahun.[2,11]
Hasil uji menyebutkan rata-rata progresivitas pada kelompok bifokal sebesar -1,25 D, prisma bifokal -1,15 D, sedangkan SVL -2,06 D. Kacamata bifokal dapat menurunkan progresifitas miopia sebesar 39%. Selain itu, uji ini juga mendapatkan kelompok bifokal mengalami lebih sedikit penambahan axial length dibandingkan dengan kelompok SVL pada follow up tahun ketiga.[2,11]
Efektifitas Kacamata PAL
Prousali et al menyatakan penggunaan kacamata PAL dapat mengurangi perubahan refractive error sebesar -0,26 D, dan perubahan axial length sebesar -0,10 mm. Kacamata PAL dapat mengurangi progresifitas miopia sebanyak 20%.[2,3]
Kesimpulan
Tata laksana miopia sebaiknya segera dilakukan setelah seorang anak didiagnosis miopia. Penggunaan kacamata SVL dapat digunakan sebagai tata laksana awal, tetapi perlu dipertimbangkan terapi lain apabila miopia mengalami progresifitas >0,5 D per tahun, atau terdapat faktor risiko lain pada anak.
Untuk saat ini, tampaknya kacamata bifokal dan progressive addition lens (PAL) masih menjadi pilihan untuk miopia kontrol di Indonesia. Hal ini karena intervensi lain, termasuk penggunaan tetes mata atropin 0,01% dan lensa kontak orthokeratology (OK) memiliki efek samping yang lebih berdampak buruk, dan ketersediaannya yang terbatas di Indonesia. Diperlukan suatu studi lebih lanjut mengenai efektifitas dan keamanan terapi kombinasi antara tetes mata atropin dan penggunaan kacamata bifokal/PAL, ataupun lensa kontak OK dalam miopia kontrol.
Keputusan intervensi apa yang akan digunakan sebaiknya melibatkan anak dan keluarga. Keputusan harus disesuaikan dengan efikasi alat/obat, biaya, dan kelengkapan fasilitas yang ada, karena miopia kontrol memerlukan waktu yang tidak sebentar.[2,3]