Penanganan hemoptisis atau batuk berdarah di faskes primer umumnya diawali dengan membedakan hemoptisis dan pseudohemoptisis. Setelah itu, untuk pasien yang benar mengalami hemoptisis, langkah tata laksana akan disesuaikan dengan seberapa besar volume darah yang hilang.[1]
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah yang berasal dari saluran trakeobronkial atau parenkim paru. Hemoptisis bisa diklasifikasikan sebagai batuk darah masif atau tidak masif berdasarkan volume darah yang hilang. Hemoptisis masif digambarkan sebagai kehilangan darah berkisar 100–600 mL. Meskipun hemoptisis masif hanya terjadi pada 5% kasus hemoptisis, kasus ini berkaitan dengan angka kematian yang tinggi.[1]
Kondisi batuk berdarah menjadi salah satu hal yang menakutkan terutama bagi pasien, sehingga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi dokter umum di faskes primer dalam menangani sebagai lini pertama yang menghadapi kasus batuk berdarah.[2]
Membedakan Hemoptisis dan Pseudohemoptisis
Ketika menghadapi pasien hemoptisis, dokter di faskes primer perlu memperkirakan sumber perdarahan dan menggali apakah benar hemoptisis atau pseudohemoptisis. Pseudohemoptisis dapat berupa perdarahan dari saluran pencernaan atas dan saluran pernapasan atas.[1,3,4]
Dari pemeriksaan klinis, curigai pseudohemoptisis dari saluran pencernaan atas apabila muntah berwarna coffee ground, ada nyeri epigastrik, ada penyakit liver kronis, maupun ada keluhan tinja hitam. Curigai pseudohemoptisis dari saluran pernapasan atas jika ada riwayat epistaksis, sakit tenggorokan, tanpa batuk dan tanpa sputum. Curigai juga bila ada ulcer oral, gingivitis, dan perdarahan gusi.[1,3,4]
Tabel 1. Gambaran Pseudohemoptisis
Etiologi | Riwayat | Pemeriksaan fisik | Laboratorium |
Saluran cerna atas | Muntah hitam, tinja hitam, mual muntah | Nyeri epigastrik, tanda penyakit kronis liver (spider nevi, palmar eritema) | pH darah asam, darah campur makanan, darah di aspirat nasogastrik |
Saluran napas atas | Gusi berdarah, epistaksis, tidak batuk, tidak ada sputum | Gingivitis, telangiektasis, faringitis, ulserasi | Nasofaringoskopi |
Sumber: Ong ZYT, et al. 2016.
Mempertimbangkan Diagnosis Banding Hemoptisis
Ada berbagai etiologi hemoptisis, yaitu infeksi, keganasan, gangguan vaskular, kondisi autoimun, dan obat-obatan tertentu. Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan sesuai dengan etiologi terlampir pada tabel di bawah.[1]
Tabel 2. Diagnosis Banding Hemoptisis
Infeksi | Pneumonia Bronkiektasis Infeksi jamur Abses paru Tuberkulosis/bakteri non-tuberkulosis |
Keganasan | Kanker paru primer Metastase paru Adenoma bronkial |
Vaskular | Emboli paru Malformasi arteri vena paru |
Autoimun | Lupus eritematosus sistemik Sindrom Goodpasture Wagener granulomatosis Diffuse alveolar hemorrhage |
Berhubungan dengan obat dan lainnya | Antikoagulan Antiplatelet Penyebab iatrogenik Kontusio paru/luka tusuk |
Sumber: Ong ZYT, et al. 2016.
Menentukan Volume Darah yang Hilang dan Stabilitas Hemodinamik
Bila pasien mengalami hemoptisis, hal penting yang harus dilihat adalah volume darah yang hilang. Kondisi yang gawat darurat dan mengancam nyawa adalah apabila pasien batuk darah dengan volume 150 mL/24 jam atau lebih (bila dihitung secara awam adalah setengah cangkir darah dalam 24 jam) atau volume >100 mL/jam. Hemoptisis masif perlu mendapatkan penanganan segera karena bisa mengancam nyawa.[1,2]
Periksa tanda vital dan stabilitas hemodinamik pasien. Apabila tersedia, rontgen toraks sebaiknya turut dilakukan sebagai salah satu pemeriksaan inisial. Kriteria pasien yang perlu segera dimasukkan ke UGD dan segera dirujuk ke faskes lebih lanjut dengan dokter spesialis adalah:
- Risiko tinggi perdarahan masif
- Abnormalitas exchange gas: respiratory rate >30 kali/menit, saturasi oksigen <88% udara ruangan
- Instabilitas hemodinamik
- Komorbiditas sistem respirasi
- Komorbiditas lain seperti penyakit jantung iskemik atau penggunaan obat-obat antikoagulan dan antiplatelet[1,3,4]
Langkah Penanganan Hemoptisis di Faskes Primer
Untuk pasien dengan hemoptisis masif di faskes primer, dokter umum menstabilkan kondisi pasien sebelum merujuk. Pertama, pastikan oksigenasi dan ventilasi pasien terjaga dengan baik. Posisikan pasien lateral dekubitus (sesuai lokasi perdarahan yang dicurigai supaya darah tidak masuk ke paru yang tidak berdarah).[2]
Pasien dengan hemoptisis mengancam jiwa biasanya mengalami takikardia dan juga hipotensi. Dapatkan akses intravena untuk pemberian larutan kristaloid sebagai langkah awal. Nantinya di faskes lebih lanjut yang memiliki fasilitas kontrol perdarahan, pasien yang menerima terapi antikoagulan harus mendapatkan fresh frozen plasma (FFP) atau agen reversal antikoagulan. Pasien dengan trombositopenia sebaiknya mendapatkan transfusi trombosit. Asam traneksamat bisa bermanfaat pada pasien hemoptisis.[2]
Untuk pasien dengan hemoptisis tidak masif, rujukan umumnya tidak bersifat gawat darurat. Bila hasil rontgen toraks tampak normal dan pasien tidak memiliki risiko kanker maupun riwayat yang indikatif infeksi saluran pernapasan bawah, pasien diobservasi 2–6 minggu. Jika perdarahan berhenti, evaluasi lebih lanjut umumnya tidak wajib. Jika hemoptisis tetap terjadi, rujuk pasien ke spesialis paru untuk evaluasi lebih lanjut. Jika pasien memiliki risiko kanker, segera rujuk ke spesialis paru.[4]
Untuk pasien dengan hemoptisis tidak masif yang diketahui mengalami infeksi saluran pernapasan bawah, pemberian antibiotik yang sesuai dapat dilakukan.[4]
Kesimpulan
Dalam faskes primer, penanganan hemoptisis dimulai dengan membedakan kasus true hemoptisis dan kasus pseudohemoptisis. Setelah itu, pertimbangkan juga kemungkinan berbagai etiologi hemoptisis, misalnya infeksi, keganasan paru, penyakit vaskular, atau penggunaan antikoagulan dan antiplatelet. Volume darah yang hilang juga harus dicari tahu karena kehilangan volume yang besar dapat mengancam nyawa.
Pasien dengan hemoptisis masif perlu distabilisasi kondisi hemodinamiknya dan segera dirujuk ke faskes lebih lanjut. Sementara itu, pasien dengan hemoptisis yang tidak masif dan tidak memiliki risiko kanker dapat dinilai kembali apakah memerlukan observasi atau terapi dengan antibiotik jika etiologinya infeksi bakterial. Bila ada indikasi kanker paru, pasien harus segera dirujuk ke faskes lebih lanjut.