Pemberian kortikosteroid untuk keratitis bakterial diharapkan dapat mengurangi komplikasi akibat inflamasi. Akan tetapi, masih terdapat pro dan kontra terkait pemberian kortikosteroid. Di satu sisi memiliki efek antiinflamasi serta mengurangi risiko scaring dan neovaskularisasi pada kornea. Disisi lain, kortikosteroid juga merupakan imunosupresan, sehingga dapat mendukung replikasi bakteri, menambah infeksi jamur dan Acanthamoeba baru, dan memperlama proses penyembuhan.[1-3,12]
Keratitis bakteri merupakan inflamasi pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat pada stroma disertai dengan defek pada epitel kornea akibat infeksi bakteri. Keratitis bakterial merupakan salah satu penyebab utama morbiditas pada mata, seperti gangguan penglihatan monokular, yaitu best corrected visual acuity (BCVA) <20/60 akibat komplikasi ulserasi kornea.[1,2,10,11]
Angka kebutaan unilateral di dunia akibat keratitis mikrobial mencapai 1,5 sampai 2 juta per tahun. Di India, angka kejadian keratitis mikrobial mencapai 113 per 100000. Diperkirakan insidensi keratitis bakterial di negara berkembang dan iklim tropis 10 kali lebih tinggi dibanding negara maju.[1,2,10,13]
Penatalaksanaan keratitis bakteri yang disarankan adalah memberikan antibiotik empiris sambil menunggu hasil kultur apusan kornea. Pemberian antibiotik yang sesuai dan memiliki kemampuan penetrasi yang baik pada mata, terkadang tidak cukup untuk mencegah komplikasi. Komplikasi yang sering terjadi adalah pembentukan skar pada stroma yang mengganggu opasitas kornea, astigmatisma, neovaskularisasi kornea dan perforasi kornea, sampai katarak dan glaukoma akibat reaksi inflamasi.[1,3,10,11]
Akibat hal inilah, dilakukan kombinasi pemberian kortikosteroid dengan antibiotik dengan harapan agar reaksi inflamasi yang terjadi dapat ditekan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi komplikasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Respon Inflamasi pada Kornea akibat Infeksi Bakteri
Infeksi bakteri menyebabkan kerusakan epitel kornea yang diperparah dengan respon inflamasi host terhadap infeksi. Proses inflamasi melibatkan sel-sel seperti sel polimorfonuklear (PMN), sel T, dan makrofag. Selain itu, proses ini juga menstimulasi produksi sitokin proinflamasi, serta pelepasan reactive oxygen species (ROS) dan enzim lisosomal.[1,3,11]
Proses ini kemudian berlanjut terus dengan tujuan agar bakteri yang dianggap tubuh sebagai benda asing berhasil dieradikasi. Akan tetapi, proses ini juga menyebabkan gangguan struktural pada kornea, dengan cara degradasi kolagen kornea, matriks ekstrasel, dan apoptosis keratosit. Akhirnya, terjadi kerusakan jaringan, nekrosis, dan kehilangan jaringan kornea sampai perforasi kornea.[1,3,4,11]
Keratosit yang masih berfungsi dengan baik kemudian mengkompensasi proses ini dengan berubah menjadi fibroblas aktif untuk mengembalikan jaringan yang hilang. Fibroblas ini kemudian membentuk kolagen baru yang susunannya berbeda dari kolagen normal. Kolagen baru yang terbentuk ini, susunannya irregular, sehingga kornea menjadi lebih keruh dan membentuk skar.[1,3,4]
Peran Kortikosteroid dalam Penatalaksanaan Keratitis Bakterial
Peran kombinasi kortikosteroid sebagai antiinflamasi pada penatalaksanaan keratitis bakterial dengan antibiotik adalah untuk eradikasi bakteri (oleh antibiotik) sambil membatasi reaksi inflamasi host yang berlebihan (oleh kortikosteroid). Kortikosteroid topikal diketahui dapat menghambat kemotaksis neutrofil sehingga dapat mengurangi kolagenase dan produksi sitokin yang berperan dalam pembentukan skar kornea.[1,3-6,11,12]
Pemberian steroid dapat menurunkan faktor inflamasi seperti prostaglandin, menginduksi vasokonstriksi dan mengurangi neovaskularisasi kornea. Akan tetapi, efek imunosupresifnya mendukung replikasi bakteri yang dapat mengeksaserbasi infeksi dan memperlambat penyembuhan luka, terutama bila pemberian antibiotik tidak adekuat.[1-5]
Selain itu, steroid menyebabkan penipisan kornea dan corneal melting di daerah stroma sehingga dapat mempercepat terjadinya perforasi kornea. Oleh karena itu, pemberian steroid pada kasus infeksi, dalam hal ini keratitis bakteri, masih diperdebatkan.[1,2,5]
Penelitian tentang Kortikosteroid pada Keratitis Infeksi
Beberapa studi randomized controlled trial (RCT) telah dilakukan untuk menilai peran kortikosteroid pada keratitis bakterial yang telah minimal 24 sampai 48 jam di tata laksana dengan antibiotik. Outcome studi yang dinilai adalah menilai visus koreksi dengan kacamata (best spectacle corrected visual acuity/BSCVA), tingkat perbaikan lesi dan waktu reepitelisasi, serta efek samping yang terjadi.[1,4,7,8,11,12]
The Steroids for Corneal Ulcers Trial (SCUT)
Beberapa studi menunjukkan bahwa, outcome perbaikan BSCVA lebih baik pada pasien yang telah diberikan kortikosteroid dibanding plasebo, setelah sebelumnya mendapat terapi antibiotik empiris, seperti moxifloxacin 0,5%, dan definitif sesuai hasil kultur bakteri. Studi yang menggunakan antibiotik empiris menunjukkan perbaikan visus setelah jangka waktu lama, seperti 12 bulan. Hal ini karena efek delayed reepithelization pada penggunaan kortikosteroid.[1,4,7,8,12]
Akan tetapi, outcome perbaikan BSCVA pada 3 bulan pertama, ukuran infiltrat/skar, dan kejadian perforasi kornea tidak berbeda secara signifikan dengan plasebo.[1,4,7,12]
Studi RCT terbesar sampai saat ini, yaitu the Steroids for Corneal Ulcers Trial (SCUT) yang dilakukan oleh Srinivasan M, et al. juga menemukan bahwa outcome BSCVA pada pasien yang diterapi empiris dengan moxifloxacin 0,5% untuk infeksi Nocardia memiliki tajam penglihatan akhir yang lebih buruk dan ukuran skar yang membesar dengan terapi kortikosteroid dibandingkan dengan keratitis bakteri lain.[1,4,7,11,12]
Akan tetapi, moxifloxacin sebagai terapi empiris, yang memiliki minimum inhibitory concentration (MIC) lebih tinggi pada infeksi Nocardia, sehingga mungkin akan mempengaruhi outcome.[7,8]
Studi lain yang Tidak Menemukan Perbaikan Visus pada Penggunaan Kortikosteroid
Beberapa studi retrospektif lain justru tidak menemukan perbaikan visus pada penggunaan kortikosteroid. Penggunaan antibiotik sesuai kultur dengan dikombinasi kortikosteroid topikal, seperti dexamethasone, malah tidak mempengaruhi outcome BCVA dan durasi perawatan. Namun, ditemukan adanya durasi reepitelisasi yang lebih lama yang signifikan secara statistik.[2,4]
Keratitis yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa, Coagulase-negative staphylococci (CoNS), Acanthamoeba, fungal, viral, atau penyebab yang belum diketahui juga memiliki outcome yang lebih buruk pada pemberian kortikosteroid. Hal ini perlu diperhatikan, karena terutama P. aeruginosa merupakan patogen yang paling sering ditemukan pada penggunaan kontak lens, dan kontak lens merupakan faktor risiko terbanyak dalam kasus keratitis.[2,4,9]
Outcome ini juga dinilai berdasarkan perbaikan visus, waktu reepitelisasi, perburukan lesi, dan kejadian perforasi. Berbagai studi menyatakan bahwa pemberian kortikosteroid baru dapat dipertimbangkan bila pasien sudah mendapat terapi definitif yang sesuai. Apabila terjadi perburukan klinis karena terapi empiris, maka tidak ada tempat untuk pemberian kortikosteroid.[2,4,9]
Perhatian dalam Penggunaan Kortikosteroid pada Keratitis Bakteri
Penggunaan kortikosteroid pada keratitis yang belum diketahui penyebabnya tidak direkomendasikan. Menurut Bacterial Keratitis Preferred Practice Pattern 2018, pemberian steroid topikal dapat dipertimbangkan 24 sampai 48 jam setelah ditemukan kuman penyebab keratitis bakteri melalui kultur dan/atau infeksi memiliki respon baik bila sebelumnya mendapat terapi definitif yang tepat. Selain itu, follow up ketat harus dilakukan oleh dokter spesialis mata.[6,9]
Kortikosteroid harus dihindari pada kondisi keratitis bakteri yang disebabkan oleh bakteri dengan periode inkubasi lamban, seperti Nocardia spp, dan dikontraindikasikan pada keratitis fungal. Sedangkan pada keratitis Acanthamoeba, pemberian steroid dapat dilakukan selama terapi antiamoeba adekuat. Kortikosteroid tidak disarankan pada keratitis yang belum dikultur dan tidak mengalami perbaikan pada pemberian antibiotik empiris atau keratitis atipikal.[6,9]
Efek samping penggunaan kortikosteroid dini yang tidak pada tempatnya dapat memperburuk infeksi hingga menyebabkan gangguan penglihatan sampai kebutaan. Selain itu, sebaiknya hati-hati dalam melakukan pemberian tetes mata kombinasi antibiotik-steroid seperti yang banyak terdapat di pasaran karena risk dan benefit-nya belum tentu sepadan.[1,3]
Kesimpulan
Pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis bakteri masih menjadi kontroversi. Efek samping yang ada dan benefit yang didapat dari terapi kortikosteroid tetes mata pada keratitis bakterial berdasarkan beberapa studi dapat disimpulkan tidak sepadan.
Selain itu, pemberian kortikosteroid topikal tidak diindikasikan pada keratitis yang disebabkan oleh infeksi jamur, Nocardia ataupun Acanthamoeba, serta keratitis atipikal. Hal ini karena perburukan lesi infeksi dan outcome, sehingga sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur sebelum kortikosteroid diberikan.
Studi yang ada saat ini telah mengevaluasi pemberian kortikosteroid pada pasien dengan keratitis bakterial, tapi sampel yang digunakan belum sebanyak SCUT, sehingga belum representatif untuk populasi yang luas. Studi multicenter lebih lanjut mengenai penggunaan kortikosteroid tetes dengan populasi yang lebih besar dapat dilakukan, karena banyaknya hasil studi yang cukup kontroversial. Maka dari itu, pemberian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak diberikan, kecuali terdapat diagnosis yang jelas dengan hasil kultur dan dilakukan follow up ketat pada pasien.
Penulisan pertama oleh: dr. Alexandra Francesca Chandra